Pertimbangan

2043 Words
"Apakah ini akan menjadi pilihan yang tepat disaat perkenalan yang cukup singkat." *** Veni sedang bercengkerama dengan Azalea sahabatnya yang baru pulang dari Australi. Untung saja sahabatnya ini datang di saat memang sedang butuh petunjuk untuk keputusannya ini. "Gimana kabar kamu di sana, Le? Mentang-mentang di luar negri jarang banget pulang," sindir Veni saat mereka sedang berada di cafe langganan mereka saat kuliah dulu. "Aduh bukan gitu namanya kerjaan, Ven. Tapi, gue punya kabar bagus loh," ucap Azalea atau yang sering dipanggil Lea oleh Veni. "Kabar bagus apa? Kamu udah dapet cowo bule kayak cita-cita kamu dulu itu?" tanya Veni lagi. Azalea atau Lea malah terkekeh mendengarnya. Ya, dulu memang dia sempat tertarik dengan bule. Tapi, seiring waktu saat dia harus terjun kerja bersama para bule dia jadi berfikir lagi untuk bersama dengan bule. Produk lokal lebih menarik saat ini menurutnya. "Enggak juga. Lagian ya gue udah enggak tertarik sama bule juga." Veni mengerutkan keningnya. "Kenapa? Bukannya dulu kamu gencer banget dapetin beasiswa ke sana sampe akhirnya diterima kerja di sana?" "Iyasih, dulu emang gue ambis banget sama bule. Tapi, pas kerja bareng, terus juga kuliah bareng enggak lagi deh. Produk lokal keknya lebih bagus," ucap Lea sambil tertawa. "Tapi, nanti kalau dapet anaknya enggak bule gimana? 'Kan genetik bule lebih dominan." "Ya udah enggak papa yang penting anak gue entar jadi soleh dan solehah itu udah cukup kok buat orang tuanya." "Masyallah ternyata kamu di sana dapet hidayah ya, Le kelihatannya," ucap Veni sambil tertawa. "Haha ... ya mungkin. Soalnya ya, Ven di sana itu cowonya kayak terlalu tegas gue jadi kayak agak ngeri juga. Terus kalau kelamaan di sana juga gue enggak bisa. Orang tua gue diajak pindah ke sana enggak mau katanya udah nyaman. Yaudahlah, akhirnya gue ngalah buat ngajuin pemindahan kerja di sini dan untungnya di acc walaupun lama banget...." oceh Lea. Gadis berambut lurus itu pun masih belum berubah, termasuk cerewetnya itu. "Oh gitu. Iya juga sih. Jauh dari orang tua emang enggak enak. Tapi, ada untungnya sih kamu pulang juga pas aku lagi bingung," ucap Veni. "Bingung kenapa?" tanya Lea memandang Veni serius. "Aku dilamar, Le." 1.... 2.... 3.... "WHATTT ... DILAMAR? SAMA SIAPA?!" ucap Lea sontak. Sangat telat sebenernya untuk dirinya terkejut. Beberapa orang melihat ke arah Veni dan Lea karena Lea yang tiba-tiba teriak. "Le malu dilihatin orang-orang," ucap Veni kepada Lea saat orang-orang melihat ke arah mereka. Lea pun meminta maaf kepada mereka dengan kikuk. "Lo? Lo beneran mau dilamar? Sama siapa? Bukannya selama ini lo enggak pernah cerita tentang cowo yang deket sama lo. Kenapa tiba-tiba lo cerita ada yang ngelamar?" tanya Lea beruntun. "Itu dia masalahnya. Orang yang ngelamar aku itu juga, aku enggak terlalu kenal sama dia." Lea semakin dibuat bingung dengan ucapan Veni itu, "Maksudnya gimana sih, Ven? Lo enggak kenal tapi lo mau nikah sama dia? Gimana bisa? Lo dijodohin? Tapi, setahu gue orang tua lo bukan tipikal yang suka jodohin anaknya ah. Gue kenal banget sama mereka." Veni pun mengangguk. Memang orang tuanya tidak menjodohkannya memang dia yang ketemu dengan Mario itu sendiri dan konyolnya Mario tiba-tiba bertemu dengan orang tuanya dan malah melamar dirinya. "Umi sama Abi emang enggak jodohin, Le. Padahal, tuh ya aku ketemu dia pun juga cuma karena tabrakan doang masa iya dia langsung bilang cinta sama aku. Gila 'kan?!" Seperti biasa perempuan kalau sudah cerita pasti seperti itu. "Gila sih, terus-terus pas dia bilang kayak gitu lonya juga langsung terima?" "Ya enggak lah! Gila aja lo. Gue aja sebenernya males banget kenal sama tuh cowo. Apalagi kata Mamanya sama Kakaknya dia itu playboy." "Wait ... wait. Lo sampe udah ketemu Mamanya?" tanya Lea. Veni mengangguk. "Artinya lo udah lama kenal ama dia?" "Iiih ... enggak, Le. Sebulan aja belom. Dia tuh ya bahkan sampe minta restu duluan sama Umi, Abi tanpa aku tahu. Aku aja kaget dia sampe ngelakuin itu cepet banget padahal ya. Aku kenal dia aja boro-boro ngobrol. Ya kamu tahu sikap aku gimana." Lea menganggukan kepalanya. Ya, dia tahu sikap Veni yang tidak mudah menerima orang baru. Apalagi, laki-laki ini benar-benar sampai niat untuk melamarnya. "Dia baik 'kan?" "Enggak tahu. Kalau aku pribadi sih enggak suka. Tapi, kata Umi sama Abi anaknya sopan. Bahkan minta izin langsung." "Iya, sih menurut gue juga bagus juga caranya dia. Tapi, lo serius beneran nerima dia?" "Ya itu dia sampe sekarang masih bingung padahal aku udah kasih jawaban." "Jawabannya?" "Ya jalanin aja dulu. Tapi, dia selalu neror kapan mulu. Terus bilang gini, "Kamu mau kalau jalanin aja lama-lama nanti zinanya makin lama." Dia ngomong gitu terus, Le." "Whoaaa ... Daebak. Tadi lo bilang dia banyak mantannya. Mungkin itu artinya dia udah tobat kali, Ven," ucap Lea lagi. "Tapi, mana mungkin, Le. Bahkan keluarganya aja pas dia ngenalin aku buat nikah aja kelihatan syok banget dengernya." "Ya buktinya dia langsung nemuin orang tua lo buat nikahin lo ya bisa aja sih dia beneran tobat siapa yang tahu 'kan?" "Ahhh ... tapi tetep aja aku masih ragu, Le. Lagian tumben banget kamu belain cowo yang mau deket aku biasanya kamu juga nolak-nolak dulu." "Ya soalnya kelihatan orangnya sopan dan langsung sat set sat sek nok." Veni menggelengkan kepalanya sudah beberapa tahun di Australia tetap saja medok jawa gadis itu tidak hilang juga. "Jadi, menurut kamu laki-laki ini beneran udah serius?" "Ya enggak tahu juga sih, solat istikharah lo jawabannya apa?" tanya Lea lagi. Dia tidak mau sahabatnya salah pilih tapi dia juga belum tahu harus menjawab apa. "Belum tahu bingung juga." "Yaudah kalau lo ketemu sama dia ajak aja gue. Jadi, penasaran gue sama orangnya. Sebagus apa sih sampe rela nikahin lo dadakan dan buat sahabat gue bingung kayak gini." Veni memajukan bibirnya dan menghela napasnya. Dia benar-benar bimbang kali ini. "Besok kayaknya dia ketemu aku di kantor." "Kok tahu? Dia udah sering jemput lo?" "Maksa lebih tepatnya. Padahal, gue juga enggak nyuruh tuh cecengguk jemput gue. Enggak nyaman tahu enggak sih rasanya. Tapi, dia pasti pagi-pagi udah di rumah. Mau debat pun dia pasti kekeh anterin jadi dari pada telat yaudah aku iyain aja." Lea pun menganggukan kepalanya, "Yaudah kalau gitu lo atur aja biar ketemu gue gimana." Veni mengangguk setelah itu mereka mengobrol hal lain dan Lea mengajak Veni untuk pindah restaurant karena dirinya sudah mulai bosan. *** Keesokan harinya, Veni berharap Mario jemput dirinya. Bukan karena apa karena memang dia ingin mempertemukan Alea dengan Mario. Karena Alea sahabatnya dia yakin Alea pasti tahu apa yang harus dipilihnya. Setelah selesai make up ringan dia lantas ke luar dari kamarnya. Sampai ke ruang keluarga tumben sekali belum ada Mario di sana. Ke mana laki-laki itu biasanya pagi-pagi sekali sudah ada dia di sini. "Nyari siapa, Ven?" tanya Abinya melewati belakang Veni. Dia memang tadi celingak-celinguk mencari Mario. "Nyari ... em ... nyari Umi, Bi." "Nyari Umi atau nyari Mario?" goda Abinya. "Nyari Umi, Bi. Lagian aku ngapain nyari dia kurang kerjaan banget. Bagus dia enggak ada," saut Veni mengikuti Abinya. Abinya terkekeh mendengar ucapan anak semata wayangnya itu. "Ada di ruang makan nyiapin makan kayak biasanya." Veni pun mengangguk dan berlalu lebih dulu ke ruang makan. Sampai di ruang makan memang ada Uminya yang sedang menata makanan di meja makan, "Pagi, Mi...." "Pagi, nak. Udah siap kamu mau berangkat?" "Udah, Mi." "Yaudah ayo kita sarapan. Nanti kamu dianter sama Umi, Abi sekalian Umi mau ke pasar soalnya." "Loh kenapa, Umi sama Abi yang anter?" tanya Veni. "Soalnya Mario ada rapat di kantornya dia bilang sama Umi. Kamu enggak dikasih tahu emang?" tanya Uminya. Harapan Veni pupus berarti untuk mengajak Lea bertemu dengan Mario. "Muka kamu kok sedih gitu? Tenang aja, Ven nanti kamu dijemput sama dia kok." "Ih, Umi apaan deh aku malah seneng kalau dia enggak muncul. Lagian kenapa Umi sama Abi harus anter 'kan aku bisa bawa motor sendiri, Mi. Aku juga enggak bakal kenapa-kenapa kok orang biasanya juga bawa motor sebelum dia muncul." "Iya, Umi tahu tapi Mario bilang bakal jemput kamu jadi ya sekalian aja kamu berangkat kerja sama Abi dan Umi." "Tapi 'kan jauh kalau Umi sama Abi harus anter Veni dulu." "Enggak papa lagian kita mau jalan-jalan juga kok." Veni pun menghembuskan napas pasrah saja. Setelah mereka selesai makan seperti kata mereka Veni diantar oleh Umi dan Abinya ke kantor menggunakan mobil. Padahal, dia sudah lama tidak membawa motornya dan ingin menggunakan motornya walaupun dalam satu sisi juga dia memang ingin bertemu dengan Mario agar dia bisa bertemu dengan Alea atau Azalea. *** Sore hari tiba. Veni sudah waktunya pulang kerja. Dia pamit kepada teman-temannya dan berjalan menuju luar kantor. Termyata di lobby Mario sudah menunggu di sana. Seperti biasa Veni hanya menatap Mario datar. "Sore calon istri." "Gausah basa-basi," jawab Veni. Mario tersenyum sudah biasa seperti itu tapi entah kenapa dirinya malah semakin suka dengan Veni. Seketika Mario menggelengkan kepalanya. Tidak. Dia tidak boleh menyukai Veni ingat rencananya hanya untuk balas dendam kepada Bhiya. Bukan jatuh cinta kepada Veni. Mereka sudah masuk ke dalam mobil saat ini. Veni sebenernya ragu akan mengatakan ini yang ada nanti Mario ke geeran. "Aku mau ke cafe dulu ketemu temen kalau kamu mau pulang, pulang aja," saut Veni tanpa melihat ke arah Mario. Pandangannya masih fokus ke samping jendela. "Oh yaudah kalau gitu aku ikut aja. Lagian ketemu cewe apa cowo?" "Bukan urusan kamu." "Yaudah kalau gitu aku ikut aja." "Serah." Veni tersenyum senang tanpa harus mengkode akhirnya Mario tetap ikut. Dia mengambil ponselnya dan mengabari Lea kalau dia menuju ke sana. "Di mana caffenya?" "Beercafe." "Isinya minuman beer?" "Gausah sotoy." "Wkwkw ... kamu kapan si enggak jutek, Ven perasaan deket udah lama masih aja jutek." "Karena kamu pantes dijutekin." "Enggak baik sama calon suami kayak gitu." "Pede banget." Mario sangat senang menggoda Veni yang selalu jutek dengannya. *** Mereka sampai di cafe yang sudah Veni janjikan. Di sana ternyata sudah ada Lea yang menunggu. "Maaf ya, Le lama." "Enggak kok gue juga baru sampe," jawab Lea. "Kenalin, temen aku Mario." Veni mengenalkan Mario hanya sebagai teman, Lea pun tersenyum karena sebenernya dia sudah tahu. "Bukan temen, calon suami lebih tepatnya," ucap Mario mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Veni. "Calon suami?" tanya Lea sok tidak tahu. "Iyadong, emang Veni suka kayak gitu enggak ngakuin calon suaminya." "Diem kamu. Aku ke sini buat ngobrol sama temen aku mending pulang sana." "Gak. Aku mau nemenin kamu di sini." Lea terkekeh ternyata alay juga calon suami sahabatnya itu. "Beruntung ya, Ven dapet suami perhatian." "Enggak juga." "Emang suka gitu, Veni mah enggak mau ngakuin kalau calon suaminya emang perhatian sebenernya." "Ck." Veni berdecak. Bisa-bisanya tidak ada malunya laki-laki itu. "Kenal, Veni udah lama?" tanya Lea kepada Mario. "Enggak sih. Baru juga." "Kok udah calon suami aja? Emang beneran mau nikah?" "Iyadong, lagian ngapain kelamaan zina. Lagian saya juga udah izin sama keluarganya buat nikahin dia kok." Lea menganggukan kepalanya. "Yakin banget sama Veni? Dia sahabat saya loh. Selama ini banyak laki-laki yang mau sama dia yang bahkan kenal lebih lama aja dia tolak. Belum tentu dia nerima kamu." "Yaudah tinggal saya tikung disepertiga malam. Kalau Allah emang nentuin dia buat saya ya mereka yang enggak setuju bisa apa?" "Emmm ... percaya diri banget jadi orang. Emang Sebelumnya enggak punya cewe? Kok milih sama Veni." "Punya sih, cuma enggak ada yang cocok." Mario merasa kalau dirinya saat ini sedang di wawancara bukan Veni yang mengobrol dengan Lea tapi dirinya yang diwawancara. "Gimana mau cocok orang cuma dimainin doang," sahut Veni kali ini. "Calon suami lo playboy, Ven? Kok lo mau kalau dia playboy." "Ralat ya udah enggak lagi. Itu dulu lagian sekarang udah tobat. Udah mau serius sama Veni." "Halah, buaya kalau ngomong 'kan emang manis." Lea terkekeh sahabatnya itu sepertinya memang tidak terlalu suka dengan laki-laki ini tapi laki-laki ini memang sepertinya terlihat serius dengannya. "Hmmm...." "Kenapa, Le?" "Bingung juga. Kok lo enggak suka tapi Marionya ngejar-ngejar banget." "Emang. Udah gue bilang enggak suka tetep aja dia ngejar saya." "Namanya cinta. Apapun akan saya perjuangankan. Toh, perjuangan saya caranya bener kan kamunya aja diajak buruan nikah malah ngulur terus. Dosa tahu, Ven kelamaan." Veni hanya memutar kedua bola matanya malas. Lea memperhatikan Mario seksama sepertinya memang serius laki-laki itu meminang sahabatnya. Setelah itu hanya ada obrolan ringan di antara mereka walaupun entah kenapa dalam hati Veni setuju dan melihat kode Lea yang mengangguk secara perlahan pun membuat Veni yakin kalau Mario memang benar serius dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD