Bab 32

1176 Words
Justin duduk bersila di bawah sinar rembulan yang terang. Seekor burung berwarna biru datang kepadanya. Hewan itu adalah hewan pembawa pesan dari Planet Aques. Jika ada dia, maka mata-mata yang dikirim pasti memiliki kabar penting. Begitu burung sampai di tangan, dia mulai bicara. Kabar itu cukup mengejutkan ditelinga Justin. Pria itu tak mengira kalau Amerta telah kehilangan kekuatannya. “Awasi dia dengan baik. Jangan sampai musuh tahu. Kabari aku jika ada sesuatu yang penting.” Burung itu merekam ucapan Justin, lalu terbang menuju ke angkasa. Setelah burung pergi, Justin menoleh ke arah jendela kaca. Ia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Betul saja, Zack yang hampir saja ketahuan langsung menuju ke sofa, pura-pura membaca buku. “Apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau tidak langsung pergi ke rumah Emma?” tanya Justin tiba-tiba membuat Zack tersentak kaget. Memang terkadang suara langkah kakinya tak terdengar, sampai-sampai rasa waspda pria itu berkurang. “Kau sudah melihatnya sendiri kalau aku sedang membaca buku,” jawab Zack cukup tenang. “Pergilah ke rumah Emma sekarang. Bukankah kau sudah berjanji akan datang malam ini?” Justin merebut buku tersebut. “Oke... aku berangkat.” Secepat kilat Zack masuk ke dalam kamar untuk mengambil tasnya. Tanpa pamit ia langsung bergegas pergi begitu saja. “Aneh,” gumam Zack selama berjalan keluar hotel. Bahkan sampai masuk ke dalam mobil dan sampai ke tempat tujuan pikirannya tak lepas dari Justin. “Selamat datang kembali, Zack,” sapa seorang pelayan dengan wajah tersenyum. Zack hanya diam saja, terbengong karena pikirannya masih melayang. “Zack,” panggil pelayan itu hingga membuatnya kaget. “Ada apa?” nadanya lumayan tinggi sampai pelayan itu mundur ke belakang beberapa langkah. “Maaf, aku tak sengaja. Hanya saja kau diam saja dari tadi.” Ah, hanya itulah kata yang keluar dari mulut Zack. Sang pelayan langsung menggiringnya masuk ke dalam rumah. Saat pintu utama dibuka, Niken sudah menunggu dengan senyum lebarnya. “Aku tahu kau akan datang lagi.” “Karena terpaksa.” Meski enggan, Zack tetap duduk di depan Niken. “Mana kontraknya.” Niken tersenyum lagi dan lagi, langsung mneyerahkan kontrak yang sudah dirubahnya. “Untuk Hans, dia boleh berkunjung ke rumah ini. Tapi, dia juga harus bekerja di tempatku untuk menggantikanmu.” “Itu sudah cukup.” Zack melihat pasal-pasal yang tertera di berkas dengan teliti. “Aku tak ingin dibayar sekarang.” “Aku tahu. Maaf sudah melukai harga dirimu, Zack.” Niken memberikan dua kunci untuknya. “Kunci ini untuk kamar Emma dan kamarmu.” Niken mengeluarkan berkas lagi. “ Dan ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang harus kau lakukan.” Zack mengangguk, kali ini ia tak memberontak lagi, malah patuh seperti anjing penurut. Niken tampak puas sekali. “Aku akan mengantarmu ke kamar Emma.” Hari pertama, Zack harus berhadapan dengan bocah yang bernama Emma itu. Mau tak mau, pria tersebut mengikutinya saja. Saat pintu dibuka, Emma tampak menatap ke arah jendela dengan pandangan kosong. “Hai, Emma. Apa yang kau lakukan?” tanya Niken sambil mendekat. Emma hanya menoleh sekilas, membuat wanita itu gencar mendekatinya. “Dia adalah Zack, pengasuhmu yang baru. Aku akan meninggalkan kalian berdua untuk saling berkenalan.” Niken menarik lengan Zack agar mendekat. “Bicaralah dengannya. Apapun itu untuk membangun pertemanan.” “Aku...” Zack merasa tak nyaman kalau ditinggal oleh Nike begitu saja. “Percayalah... dia gadis yang baik.” Niken pun pergi meningglakan mereka berdua. “Apa yang harus aku lakukan?” gumam Zack tak mengerti sama sekali. Pria itu mendesah ringan, memilih duduk di sofa tak jauh dari Emma berdiri. “Hey, bocah! Aku bukan pria baik hati.” Emma tetap cuek dan tak peduli sama sekali. Tentu saja Zack geram setengah mati, tapi ia hanya bisa memendam kekesalan di dalam hati. “Aku tahu kau bisa bicara. Dan aku juga tak memaksamu untuk bicara.” Suasana menjadi hening karena Emma tak membalas perkataan Zack. Dalam keheningan itu, pikiran pria tersebut melayang ke kejadian beberapa jam silam. Saat Justin menerima burung pembawa pesan. Dia membicarakan tentang Amerta, bahwa sanya pengkhianat itu masih hidup dan kehilangan kekuatan. Ada sisi kesenangan dan kesedihan yang tidak dapat digambarkan. Tapi tetap saja, banyak kekecewaaan yang diterima. Amerta mungkin punya tujuan lain, tapi apa itu? jelas Zack tak tahu sama sekali. Karena selama ini, dia bersikap biasa, layaknya manusia yang dekat dengan sahabatnya sendiri. “Apa rencanamu, Amerta?” gumam Zack menatap Emma yang sudah berada di atas ranjang dalam posisi terlentang. Ternyata gadis itu sudah tidur duluan. “Dasar gadis tengil!” Zack bangkit menghampiri Emma untuk membenahi selimutnya. Malam ini, ia akan berjaga untuk memastikan kondisi gadis itu. “Aku sendiri tak mengerti apa yang namanya kasih sayangd an cinta itu. Mari kita belajar bersama-sama, Bocah.” Zack bangkit menatap bulan yang bersinar dengan sangat terang. Suara deru mobil yang berhenti membuat telinganya memasang wajah waspada. Dahi pria itu berkerut ketika dua orang pria sedang memantau rumah keluarga Geraldin. “Bos, apakah kau yakin kalau bocah itu tinggal disini?” tanya pria botak yang sedang merokok itu. “Aku sudah memantaunya beberapa hari. Dia sangat kaya bukan? Aku dnegar orang tuanya meninggal.” Si bos yang berambut gondrong itu terus menatap rumah megah tersebut. “Kita cari waktu yang pas, Bos. Bukan malam ini.” “Kau benar. Sebaiknya kita pergi. Aku hanya memastikannya saja.” Mereka berdua pun pergi meninggalkan tempat itu. Zack yang sedang membuka gorden melihat mobil melaju cukup cepat. “Bocah itu, kenapa aku baru saja masuk ke rumah ini dia malah mendapatkan masalah?” Zack mengeluh, mengacak rambutnya dnegan kasar. Tak ada yang banyak dilakuakn kecuali berdiri sambil menatap bulan. Sesekali ia menggunakan kekuatan yang dimiliki. Karena lelah berdiri, pria tersebut mengambil kursi, hingga akhirnya duduk tanpa sadar tidur dengan lelap. *** Burung berkicauan saling menyahut satu sama lain, pertanda mentari mulai muncul. Karena suara burung yang sedang asik bercanda ria, Emma pun membuka kedua matanya. Hal pertama yang dilihat adalah sebuah sofa yang berada di depan cendela. Gadis itu bangkit, jelas untuk menghampiri Zack yang tengah tidur. Cukup lama ia menatap si pria yang sedang mendengkur tersebut. Dasar tukang tidur Emma tak mengerti, kenapa Niken bersikeras memperkerjakan Zack yang jelas hanya seorang pria besar saja. Jari gadis itupun saling berutan satu sama lain, memikirkan rencana demi rencana yang telah dilakukan oleh Emely. Sejujurnya, Emely bukanlah gadis jahat, malah dia terlalu baik sehingga Emma kebingungan sendiri. Meskipun mereka saling kenal, tapi keduanya tidak dekat sama sekali. Emely selalu berada di luar negri untuk melanjutkan karir modelnya. Begitu mendengar kabar sang kakak meninggal, dia meninggalkan semuanya. Dan Emma hanya bisa menangis dalam diam, bingung mau memualinya dari mana. Frustasi karena kehilangan orang tua, sekaligus frustasi ada orang baru yang tinggal bersamanya. Lambat laut juga, para pelayan tak pernah mengajaknya bicara, seperti menganggapnya tidak ada. Intinya gadis itu benar-benar terpuruk. Merasa ada yang mendekat, mata Zack terbuka lebar dengan cepat. Emma langsung menarik kepalanya, bersikap dengan canggung. “Apa bocah? Kau mandi sana?” titah Zack dengan kesal. Emma menatap Zack dengan dingin. Pria kasar yang ada di depannya tak cocok sama sekali menjadi pengasuh. Dasar menyebalkan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD