Elmira tiba-tiba masuk ke dalam kamar Nala ketika ia sedang mengerjakan tugas kuliah di atas tempat tidur. “Aku dengar dari Adrian, kemarin kamu nonton bareng Mas Devgan, ya?” berondong gadis itu sambil merebahkan diri di sisi tempat tidur yang masih kosong.
“Hmn ….” Nala hanya menjawab pertanyaan itu dengan gumaman tanpa melepaskan tatapannya dari layar laptop.
“La,” panggil Elmira sambil menyenggol pundak Nala. Ulahnya sukses membuat sang pemilik kamar menoleh.
“Apa, sih, Mir? Daripada kamu gangguin aku, mending jalan sana sama gebetan barumu yang siapa itu namanya? Ini malam minggu loh.”
Bibir Elmira mengerucut. “Ih, siapa, sih? Orang aku nggak punya gebetan. Sembarangan!” Gadis itu kembali menyenggol pundak Nala lalu melanjutkan, “Sensi banget, sih. Lagi dapet, ya?”
Nala mendengus kemudian menjawab, “Iya, dapet sakit kepala gara-gara tugasku bejibun kayak gunung.” Ucapan gadis itu sukses membuat Elmira terbahak kencang.
Nala kembali melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan Elmira tertawa sampai puas. “Kenapa manyun terus, sih, itu bibir? Udah kayak bibir Donald Bebek tau nggak? Dari kemarin bawaannya sensi mulu perasaan,” ujar Elmira begitu tawanya berhenti.
“Hamil aku,” balas Nala kesal, sementara Elmira memasang ekspresi pura-pura terkejut.
“Udah berapa bulan, La? Siapa bapaknya? Mas Devgan, ya?” berondong Elmira bertanya, seolah menanggapi ucapan Nala dengan serius. Sedetik kemudian, gadis itu kembali terbahak ketika melihat Nala yang sudah bersiap-siap untuk melemparkan sebuah boneka ke arahnya.
“Orang diajakin bercanda juga. Habisnya galau mulu, sih,” kata Elmira dengan nada jenaka sambil beringsut untuk mendekat pada Nala.
Jari tangan Nala perlahan berhenti menari-nari di atas keyboard laptop. Ia bergeming selama beberapa saat kemudian menghela napas dan mematikan laptopnya sebelum meletakkan benda itu ke atas meja nakas. “Kacau, Mir,” kata Nala pada akhirnya. Seketika ekspresi kocak yang tadinya bertengger di wajah Elmira langsung berganti menjadi serius.
“Cerita sama aku, jangan dipendam sendiri mulu. Kamu udah dua tahun mendam perasaan sendiri. Kenapa, sih? Nggak percaya, ya, sama aku?”
Nala menggeleng lalu ikut berbaring di sebelah Elmira sambil menatap langit-langit kamarnya. “Aku belum bisa move on,” aku gadis itu akhirnya. Elmira tersenyum miris, tangannya spontan terangkat untuk mengusap surai sahabatnya.
“Udah ketebak, sih,” balas Elmira pelan lalu tersenyum sangat lebar saat Nala mendelik padanya. “Habisnya kalau diperhatiin, kamu selalu menghindar gitu dari Mas Devgan. Kalau orang yang udah move on pasti bakalan biasa aja, tapi kamu nggak gitu. Kelihatan kalau kamu selalu sok sibuk sendiri waktu kita lagi ngumpul bareng Mas Devgan,” terang Elmira menjelaskan.
Nala dan Elmira menghela napas bersamaan. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan pandangan sedih. Namun, tidak butuh waktu lama sampai sepasang sahabat itu mulai tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak, padahal mereka sendiri tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.
“Ngenes banget, sih, hidupmu,” kata Elmira membuka suara sambil tertawa, sementara Nala melayangkan sebuah boneka kecil pada kepala gadis itu.
Nala terkekeh. “Sialan banget, sih, ngatain aku ngenes!” omel gadis itu. Setelah tawa keduanya mereda, mereka kembali tersenyum sedih.
“Beneran, deh, kamu harus move on. Walaupun Mas Devgan abangku sendiri, tapi kasihan kamunya diginiin terus.”
Nala tersenyum miris lalu membalas, “Nggak segampang itu, Mir. Aku suka sama dia dari SMP dan kamu berekspektasi aku bisa move on secepat itu? Nggak bisa, Elmira Cantik.”
Elmira tersenyum lalu memeluk sahabatnya. “Coba buka hatimu untuk orang lain. Selama ini kamu nggak bisa move on karena hatimu terus tertutup sama nama Devgan. Nah, sekarang waktunya kamu coba buka lowongan buat cowok lain untuk mendaftar masuk.”
Nala mendengus sambil melayangkan jitakan kecil pada kepala Elmira. “Ngomong mah gampang. Praktiknya yang susah setengah mati, Dodol!” ujar gadis itu.
Elmira tertawa kecil sambil menepuk-nepuk puncak kepala Nala. “Cup, cup, cup … sahabatku kasihan banget, sih,” kata Elmira dengan nada meledek yang kental dalam suaranya. “Atau kamu mau aku bantu cariin cowok, La? Biar nggak ngenes-ngenes banget hidupmu,” tambah gadis itu memberikan tawaran.
“Alah, sok-sokan mau bantu cariin cowok. Makasih, tapi nggak perlu. Mending kamu cariin untuk diri sendiri dulu, deh, Mir,” saran Nala.
Elmira menggeleng, menolak saran sahabatnya. “Eh, astaga! Aku baru sadar kalau kamu belum pernah pacaran sama sekali. Dekat gitu aja sama cowok, tapi nggak pernah jadian,” ledek gadis itu kemudian terbahak keras setelahnya.
“Pulang sana. Balik ke rumahmu,” geram Nala.
Elmira masih tertawa di samping Nala, sementara sang pemilik kamar sudah bersiap untuk melayangkan kembali boneka ke kepala gadis itu.
Elmira segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya sambil memekik, “Ampun, Ndoro. Jangan sakiti saya!” Setelah berkata demikian, gadis itu buru-buru keluar dari kamar Nala, membawa serta selimut yang membungkus hampir seluruh tubuhnya.
“Heh, selimutku mau dibawa ke mana?!” pekik Nala sebelum Elmira benar-benar keluar dari kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.
*
Nala meraih ponselnya kemudian membuka aplikasi galeri yang berisi ribuan foto di dalamnya. Ia menatap salah satu foto Devgan yang diam-diam di-screenshot dari akun sosial media pria itu. Di dalam foto itu, Devgan tampak tersenyum cukup lebar ke arah kamera.
“Kok kamu nggak mau sama aku, sih, Dev?” tanya Nala bermonolog sendiri sambil mengusap layar ponselnya. “Aku cinta mati sama kamu, Bego!” umpat gadis itu dengan nada kesal lalu mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan ganas, seolah-olah sedang melakukan hal yang sama pada kepala Devgan.
“Kamu itu sebenarnya buta, pura-pura nggak tahu, atau memang nggak punya hati, sih?” Suara Nala kembali melembut, tidak setinggi sebelumnya. Jari telunjuknya pun kembali mengusap layar ponsel. Tingkahnya saat ini persis seperti orang dengan gangguan jiwa, alias gila.
“Harusnya kamu lihat perjuanganku selama ini dong. Dasar, manusia kulkas. Nggak peka banget,” omel Nala lagi-lagi bermonolog pada dirinya sendiri.
Lelah dengan aksinya yang tidak jauh berbeda dengan orang gila, Nala akhirnya menghempaskan benda pipih yang ada di tangannya ke sisi tempat tidur yang kosong. Kedua tungkai gadis itu menendang selimut hingga teronggok berserakan di ujung tempat tidur, sementara tangannya mengacak-acak rambut.
“Ah, lama-lama masuk rumah sakit jiwa juga aku kalau begini ceritanya. Ck! Nasib orang cantik, ya, begini,” gumam Nala sambil bangkit dari tempat tidur lalu menuju ke lemari pakaiannya.
Indra penglihatan Nala meneliti satu per satu pakaian yang tergantung di dalam lemari. “Mending aku me time. Butuh banget udara segar,” kata gadis itu sebelum mulai mengacak-acak isi lemari pakaiannya.
Setelah berganti pakaian, Nala melirik jam yang tergantung di atas lemari. Benda itu menunjukkan pukul lima sore.
“Meskipun jomblo, tapi harus tetap dibawa happy biar nggak kelihatan banget ngenes-nya,” ujar Nala pada dirinya sendiri ketika mematut diri di depan cermin.
Sebelum meninggalkan rumah, Nala tidak lupa menyambar tas dan kunci mobil yang berada di atas meja ruang tamu kemudian memastikan seluruh pintu rumah sudah terkunci dengan benar. Setelah itu, barulah ia tancap gas menuju destinasi yang ingin ditujunya.