“Nonton apa?” Alvin bertanya sembari merangkul pundak Nala, sementara Adrian sejak tadi melirik sebal pada pria itu karena merangkul Nala seenak jidatnya.
“Tangan lo ganjen banget. Nggak usah pakai ngerangkul pundak kakak gue juga,” sindir Adrian dengan nada ketidaksukaan yang kental di dalam suaranya. Namun, sindiran lelaki itu malah dibalas dengan tawa oleh Alvin.
“Lo ada masalah apa, sih, sama gue, Dri?” tanya Alvin dengan nada jenaka. “Dulu gue godain Elmira, lo marah. Ini gue godain Nala, lo juga marah,” lanjut pria itu.
“Atau jangan-jangan lo cemburu? Sebenarnya lo pengen gue godain juga?” tambah Alvin sambil mengedipkan sebelah matanya.
Adrian bergidik ngeri kemudian mengacungkan jari tengahnya pada Alvin. “Najis banget lo! Lo kira gue jeruk makan jeruk, hah?”
Adrian hanya mendengus setelahnya. Lelaki itu kemudian menepis tangan Alvin yang sedari tadi bertengger di pundak Nala. “Nggak suka gue lihat orang ganjen dekat-dekat kakak gue.” Setelah berkata demikian, Adrian langsung menarik pergelangan Nala hingga gadis itu berpindah posisi menjadi di antaranya dan Devgan.
“Kamu salah makan obat hari ini?” tanya Nala. Pertanyaan gadis itu justru membuat Adrian melayangkan tatapan sangar padanya.
“Aku aduin ke Om Edgar kalau kamu di-grepe om-om ini.” Alvin mendelik lalu terkekeh sedetik kemudian setelah mendengar ancaman yang Adrian tujukan pada Nala. Memang usia Alvin sudah 28 tahun, sama seperti Devgan, tetapi bukan berarti pria itu pantas dijuluki om-om seperti yang dikatakan oleh Adrian tadi.
“Enak aja om-om. Mana ada om-om seganteng gue. Ini bukan tua, tapi matang. Jadi, jangan lo hina-hina ciptaan Tuhan yang suci ini,” balas Alvin dengan ekspresi seolah minta dikasihani.
“Udah, udah! Kalian ini buat malu aja! Ribut banget dari tadi!” Mendengar teguran Devgan, tiga anak manusia di dekatnya lantas terdiam. Nala memutar kepalanya beberapa derajat untuk melirik pria yang berada di sebelahnya. Namun, lirikan itu tidak bertahan lama karena jantung gadis itu kembali berdetak cepat, apalagi ketika aroma maskulin yang menguar dari tubuh Devgan tertangkap oleh indra penciumannya.
Mereka memasuki area bioskop dengan Adrian yang berajalan beberapa langkah di depan. Lelaki itu langsung menuju ke konter pencetakan karena sudah membeli tiket secara online sebelumnya.
Tidak butuh waktu lama sampai Adrian sudah kembali dengan empat lembar tiket di tangannya. “Anjir, film horor?” pekik Nala ketika matanya menangkap sederet tulisan yang merupakan judul film yang akan mereka tonton setelah ini. “Kok nggak dikasih tau, sih, kita nonton horor?” lanjut gadis itu menambahkan.
“Kenapa? Penakut banget, sih,” ledek Adrian lalu menarik pergelangan tangan Nala untuk memasuki ruangan studio.
“Nggak! Aku mau pulang! Sialan banget kalian. Aku nggak mau nonton film hantu. Kalian aja yang nonton,” tandas Nala kemudian hendak berlari menjauhi ketiga laki-laki yang berada di dekatnya. Namun, Adrian refleks mencekal tangannya.
“Aku udah baca review-nya. Banyak yang bilang seru,” kata Adrian mempersuasif. “Nggak usah cemen banget, deh,” tambahnya.
Nala menggeleng. “Terserah. Mau sedunia bilang aku cemen juga biarin. Bodoh amat. Intinya aku nggak mau nonton film hantu. Aku mau pulang sekarang!”
Adrian tidak mempedulikan omelan Nala. Ia malah semakin mendorong pundak gadis itu untuk mulai menaiki satu per satu anak tangga untuk menuju ke kursi yang akan mereka tempati.
“Please, aku mau pulang aja.” Nala menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca.
“Naik apa?” tanya Adrian.
“Taksilah atau apapun yang bisa bawa aku pulang,” jawab Nala cepat dan membuat Adrian menoleh ke arahnya lalu menghela napas.
“Kamu tahu ‘kan taksi sekarang nggak bisa dipercaya? Kalau di jalan kamu diapa-apain gimana? Apalagi kalau udah malam begini? Kalau kamu diperkodok gimana?” Adrian menatap Nala dengan serius. Namun, ucapan lelaki itu sukses membuat Nala menginjak kakinya dengan kesal.
“Ah, akal-akalanmu aja itu mau nakutin aku, ‘kan? Dulu aku naik taksi sampai ojek juga nggak ada ada diperkodok segala!” omela Nala.
Adrian menghela napas. Bujukannya sepertinya tidak mempan pada Nala. “Udah, nonton aja. Merem, deh, kalau kamu takut,” usul lelaki itu pada akhirnya.
“Pret!” Makian Nala sukses membuat Alvin yang duduk di sebelah Adrian terkekeh. Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa pasrah dan merilekskan punggungnya ke sandaran kursi bioskop yang empuk sembari menatap tayangan iklan yang muncul di layar sebelum film dimulai.
Kurang dari lima belas menit Nala bersantai, punggung gadis itu tersentak kecil setelah mendengar suara pembuka film horor yang hampir membuat jantungnya melompat keluar dari rongga d**a saking kagetnya.
Nala benci film horor. Titik!
Tanpa sadar, Nala sudah mencengkram erat lengan kursi yang berada di sisinya sambil memejamkan mata karena takut setengah mati. Belum ada lima menit film itu diputar, Nala sudah mendengar suara teriakan melengking yang menakutkan dari layar di depan sana.
Kekagetan Nala bertambah ketika merasakan ada kehangatan yang tiba-tiba melingkupi tangan kanannya. Mau tak mau, ia pun perlahan membuka mata untuk menatap tangannya yang sedang digenggam oleh seseorang.
Nala tahu siapa pemilik tangan itu. Devgan.
Dengan gerakan yang sangat perlahan, Nala menoleh ke sisi kanan untuk menatap pada Devgan yang sedang menonton film di depan sana dengan santai. Pria itu sama sekali tidak terlihat ketakutan, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nala.
Rasanya atmosfer di sekeliling Nala mendadak seperti sirna semua. Suara-suara menakutkan yang berkumandang dari speaker di seluruh bagian ruang studio mendadak tidak tertangkap suaranya oleh indra pendengaran gadis itu. Ketakutan yang sempat menyelimutinya pun entah ke mana perginya sekarang.
Nala hanya bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya dalam sejarah Devgan menyentuhnya. Pertama kalinya pria itu menggenggam tangannya. Indra penglihatan Nala masih terpaku pada tangannya yang berada di dalam genggaman Devgan.
Nala rasanya ingin pingsan di tempat sekarang juga. Gadis itu perlahan menarik tangannya dari genggaman Devgan. Aksi tersebut sukses membuat pria itu menoleh ke arahnya. Namun, Nala segera meluruskan pandangannya ke layar di depan sana dengan mata yang mulai terasa panas.
Nala berusaha menahan tangis saat ini. Ia tidak akan membiarkan bulir bening menetes dari kedua matanya sekarang, tapi ulah Devgan sukses membuatnya bertanya-tanya apa maksud dari genggaman pria itu.
Nala menarik napas perlahan. Dadanya yang bukan lagi berdebar kencang sebelumnya, melainkan malah terasa menyesakkan seperti ada dua batu yang menghimpit pada kedua sisinya.
Berada di sekitar Devgan selalu menyakitkan untuk Nala. Ia tidak ingin terjatuh lagi ke dalam pesona pria itu untuk kesekian kalinya karena sama saja dengan melukai dirinya sendiri.
Nala tidak mau memupuk harapan lagi. Ia sudah lelah berharap selama ini. Hatinya sudah remuk redam mengharapkan apa yang seharusnya tidak pantas untuk diharapkan dan rasanya sudah cukup untuk membuat luka di hatinya sendiri.
Bertahun-tahun lamanya Nala berharap. Namun, sampai detik ini semuanya hanya sia-sia saja.