Bab 2. Suara D3sahan di Kamar Sebelah

1092 Words
======= “Darfan! Gak boleh, gitu!” teriak ibu mertuaku. “Maaf, Ma! Besok aja, mudah-mudahan besok aku bisa selera sama dia!” sahut Mas Dar datar. “Jangan sampai dia curiga, Dar! Bisa gagal semua rencana kita!” Mbak Dina ikut berkomentar. “Enggak akan, aku udah kasih alasan yang masuk akal. Tenang, saja. Dia itu putri malu yang gak pernah mengenal laki-laki. Ketemu pemuda gagah seperti adikmu ini, langsung dia bucin tingkat dewa, hehehehe …. Dia akan takluk, tenang saja! Aku pergi, ya!” “Eh, kamu bawa mobil dia juga?” Itu suara Mbak Dinda. Kakak iparku yang nomor dua. “Iya, dong! Mulai sekarang, kita punya mobil. Kalau mau ngerasai naik mobil mewah, besok aja, ya! Aku pergi dulu!” pamit suamiku lagi. “Hati-hati!” “Tenang!” Suara Mas Dar makin menjauh, lalu hilang bersama deru mesin mobilku. Tinggalkan tanda tanya besar di benak. Apa maksudnya tak selera? Tak selera pada apa? Padaku? Atau apa? Lalu apa maksudnya Yati mengancam? Apa maksud semua pembicaraan mereka? Kulanjutkan langkah kaki menuju kamar mandi. Meski pikiran mulai tak karuan, aku harus berusaha untuk tetap tenang. Nanti aku akan tanyakan semua ini saat Mas Dar sudah pulang. Begitu tekatku. ** “Auw, tolong!” jeritku, buru-buru beringsut turun dari kasur langsung menuju pintu kamar. Terburu kuputar anak kunci yang tergantung. Segera berlari keluar, begitu pintu berhasil kubuka. “Ada apa?” Tiga orang perempuan dewasa setengah berlari menyongsongku. “Tikus! Besar! Saya takut!” teriakku. Lutut masih gemetar tak sanggup menahan bobot tubuh, aku terduduk di lantai dengan lemas. “Hemh! Kirain mau diperkosa! Rupanya cuma tikus!” Mbak Dina langsung berbalik lalu pergi. “Nggak pernah liat tikus, ya? Holang kaya … iya lah, takut tikus! Lebay!” Mbak Dinda mengikuti kakaknya. Tinggal ibu mertuku, semoga dia tak seperti kedua putrinya. Wanita paruh baya itu menatapku dengan tatapan aneh. Tak apalah, yang penting dia tak ikut mengataiku. “Kami orang miskin, Mel. Rumah ini banyak lubangnya. Jadi tikus-tikus bebas keluar masuk dengan bebasnya. Apalagi di malam hari. Beda dengan rumah kamu. Temboknya megah dan kokoh. Jadi gak bakal ada tikus yang lolos kalau menyusup,” paparnya dengan raut wajah sedih. Sekilas terbit rasa iba. Keluarga suamiku ini memang tergolong miskin. Rumah sederhana ini jauh dari kata layak. Kuingat kandang burung papa di rumahku. Letaknya di halaman samping, tepat di sisi kolam renang. Ukurannya lima kali enam meter. Pagarnya terbuat dari besi ulir. Kalau dibandingkan, masih lebih bagus kandang burung Papa dari pada rumah ini. “Maaf, Mel! Mama harap kamu bisa maklum, ya! Kami tidak bisa menyediakan kamu kamar yang lebih layak,” lirih ibu mertuaku lagi. “Gak apa-apa, Ma. Mas Dar belum pulang, ya? Saya takut tidur sendirian,” tanyaku masih ketakutan. “Sebentar lagi mungkin, kamu masuklah ke kamar! Mulailah membiasakan diri dengan situasi di rumah ini!” titahnya dengan nada lembut. Aku ragu. Bayangan tikus-tikus besar berlarian di kayu broti kamar kembali melintas. Kubayangkan mereka merambat turun lalu menggerogoti jemari kaki saat aku tertidur. Ketakutan makin mencekik. “Kalau memang kamu gak bisa tidur di rumah papan dan reot seperti ini, kamu boleh bawa suami kamu untuk tinggal di rumah mewah kamu. Sesekali, kami boleh juga berkunjung dan nginap di sana, nanti? Iya, kan?” usul Ibu mertuaku kemudian. “Emh, iya, Ma.” sahutku cepat. “Kabarnya kalian punya rumah mewah dan besar di Medan Tuntungan, kan? Siapa yang nempati rumah itu? Kenapa tidak kalian saja yang nempati?” Aku hanya melongo. Bayangan tikus masih menguasai otak dan pikiran. Aku tak bisa mencerna kalimat Mama dengan jelas. “Kamu dengar tidak, Mel!” “Oh, iya, Ma, dengar!” “Sebenarnya, kami juga risih tinggal di rumah jelek dan tak layak huni seperti ini. Tapi gimana, gak ada yang lain. Kalau kamu gak keberatan, kami ikut tinggal sama kamu dan Darfan nanti, ya?” “I-iya,” jawabku spontan. Pikiranku masih sangat kalut. Sungguh aku tak bisa berfikir dengan jernih. “Kamu setuju, Mel? Syukurlah. Kamu memang menantu yang baik dan sangat pengertian. Sekarang kamu tidur ke kamar, ya! Kalau kamu masih takut, mama akan menemani kamu sampai Darfan pulang.” usulnya bersemangat. “Makasih, Ma!” ucapku semringah. Tentu saja aku sangat lega. Mama membantuku bangkit, lalu membimbingku kembali menuju kamar. Dia kemudian berbaring di sampingku, di ranjang pengantin yang mereka siapkan untukku. Ranjang yang belum sempat digunakan, sebab suamiku keburu meninggalkanku. Tak mengapa, mungkin hanya tertunda. Bukankah malam ini masih sangat panjang. Saat Mas Dar nanti pulang, Ibu mertuaku akan kembali ke kamarnya. Mas Dar pasti akan menemaniku, menuntaskan yang sempat terhenti beberapa saat yang lalu. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sepasang pengantin baru. Begitu pikirku. “Ma, kalau boleh Amel tahu, kenapa Mas Dar berpisah dengan istri pertamanya?” tanyaku ingin tahu masa lalu suamiku. “Hem, kamu belum menanyakan langsung pada suami kamu?” Mama mertua menoleh ke arahku. “Belum. Kami belum sempat berbicara banyak, bukan? Kenal juga baru beberapa hari, langsung nikah aja. Padahal Amel belum kenal betul gimana watak dan masa lalunya.” “Hem, tidak apa-apa. Yang pasti, Darfan itu orangnya baik dan penyayang. Kamu tidak perlu ragu, ya!” “Iya, Ma. Amel cuma mau tahu, kenapa Mas Dar menalak istri pertamanya. Semoga surat cerainya cepat keluar, ya, Ma. Amel pengen dinikahi secara sah, bukan hanya nikah siri seperti tadi pagi.” “Ya, semoga lancar sidang gugatannya! Sekarang tidur saja, udah malam!” Waktu berlalu, malam kian larut. Suami yang kutunggu tak juga pulang. Suasana sudah begitu hening, tak ada lagi suara apa-apa, selain cicit tikus yang berlarian di kayu broti dan langit langit rumah. Sepertinya Mbak Dina dan Mbak Dinda sudah lelap beserta anak-anak mereka. Begitupun Yati dan kedua anaknya. Hemh, ada yang terasa janggal. Mertuaku bilang perekonomian mereka sulit. Tetapi mereka sanggup menggaji seorang pembantu. Mungkinkah Mbak Dina dan Mbak Dinda gotong-royong membayar gajinya. Ya, bisa jadi. Tetapi, kenapa Yati bawa anak dua? Suaminya ke mana? Ah, sudahlah! Aku baru beberapa jam di sini. Tak perlu kucampuri semua urusan keluarga ini. Kulirik wanita paruh baya di sampingku, suara dengkurnya terdengar halus. Kupaksa pejam mata ini. Kupaksa angan menerawang jauh dan aku terlelap bersama khayalanku. ** “Gak mau pokoknya!” “Aku gak sentuh dia! Aku gak napsu sama, dia, Sayang! Ayolah!” “Tapi tadi Mas udah sempat bersamanya, kan?” “Iya, tapi aku belum sempat sentuh dia!” Aku terjaga demi mendengar suara berisik itu. Arahnya dari kamar samping. Suara laki-laki dan perempuan. Suara si lelaki mirif dengan suara Mas Darfan. Kenapa suamiku ada di kamar sebelah? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD