Bab 5

2416 Words
HAPPY READING *** Sepanjang perjalanan Ocha melihat ke arah jendela mereka melewati plaza Senayan dan museum nasional. Derah ini merupakan daerah central bisnis. Beberapa menit berlalu mobil Damian masuk ke area hotel Fairmont Jakarta. Damian menghentikan mobilnya tepat di lobby. Ocha tahu bahwa ini adalah salah satu hotel bintang lima di Jakarta, yang letaknya di Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat. Ocha melirik Damian melepas sabuk pengaman, begitu juga dengan dirinya. Ocha menyelipkan rambutnya di telinga, ia melihat Damian membuka hendel pintu dan lalu keluar. Damian tersenyum kepada security, agar jangan membuka pintu Ocha biarkan dirinya saja yang membuka hendel pintu itu untuk kekasihnya. Oh Tuhan, jujur ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah hidupnya dibukakan pintu oleh seorang pria. Ini merupakan tindakan aksi yang dianggap kuno bagi sebagaian orang. Namun ini sebuah percakapan non-terstruktur, pria yang melakukan ini yang terlihat seksi dan murah hati. Banyak orang sensitive pada seksisme secara verbal, namun ia juga tidak menolak dengan mudah mengasosiasikan seksisme yang terbungkus kehangatan dan keramahan. Rasanya seperti “Tuan putri ayo silahkan masuk.” Ocha berdiri di sampping Damian, ia melihat jemarinya di genggam erat oleh pria itu. Damian menyerahkan kunci mobil mewahnya kepada security yang berjaga. “Selamat sore pak,” ucap billboy ramah. “Selamat sore juga,” Damian melirik Ocha yang masih berada di sampingnya. “Mau kemana pak?” “Ke Spectrum.” “Sudah tau pak tempatnya di mana?” “Iya sudah,” ucap Damian tenang. Damian tahu betul di mana letak restoran spectrum, letaknya berada di lantai dua. Ocha dan Damian masuk ke dalam lift, lalu lift membawa mereka menuju lantai dua. “Kamu sering ke sini, ya?” Tanya Ocha menyelidiki. “Enggak terlalu sering sih, cuma pernah beberapa kali ketemu klien di sini. Kamu pernah ke sini?” Tanya Damian. “Enggak, baru pertama kali.” “Mau nyobain room nya nggak? Kamarnya bagus juga,” ucap Damian. Alis Ocha terangkat, “Emang ngapain sampe nyobaik roomnya?” “Beri ruang privasi buat kita berdua.” “No,” tolak Ocha. “Ok.” Beberapa detik berlalu pintu lift terbuka. Damian dan Ocha melangkahkan kakinya menuju restoran. Di dekat pintu masuk restoran terdapat seorang pramuniaga yang berjaga. Ocha dan Damian masuk ke dalam. Restoran sangat elegan, areanya lumayan besar, memiliki lampu gantung di setiap table dan pencahayaan yang baik. Suasana restoran seperti restoran mewah pada umumnya, tempatnya elegan, sangat cozy dan indah. Dekorasi restorannya simple namun tidak tampak berkelas. Damian dan Ocha memilih duduk di dekat jendela, ia melihat ada beberapa teble kosong yang belum terisi, mereka memandang server membawa table menu berbahan kulit. Damian melihat buku menu, memesan steak, sushi dan dessert, tidak lupa bir dingin. Sedangkan Ocha memesan sushi, chicken satay dan dessertnya ice cream. Setelah memesan server meninggalkan mereka. Service di restoran ini tidak perlu diragukan lagi, service nya sangat baik sesuai standar Indonesia. Ocha melihat ke arah jendela, menatap langit yang masih terang. “Hobi kamu berkuda?” Tanya Damian, ia membuka topik pembicaraan. “Ih kok tau?” Damian menyungging senyum, “Tau lah. Sejak kapan suka berkuda?” Tanya Damian, ia ingin membuat Sorcha nyaman berada di dekatnya. Namun ekpresi wanita itu tetap terlihat cemas. “Aku diajarin naik kuda itu dari kecil sih, diajarin papa. Dulu berkudanya nggak di sini tapi di London, tempat berkuda gitu. Udah lama nggak berkuda, apalagi kemarin kuliahnya di Jerman. Udah tiga tahun nggak main,” Ocha menjelaskan. Ia tidak tahu kenapa ia bisa lugas menceritakan kehidupannya dengan pria menyeramkan itu. Baginya berkuda itu merupakan salah satu olahraga yang efektif membakar kalori dalam jumlah banyak karena termasuk latihan kardio. Olah raga ini memerlukan tehnik-tehnik yang benar. Ia sudah lama tidak berkuda, ah, membuatnya jadi ingin pergi bermain dan menyapa kuda-kuda. “Mau berkuda nggak?” “Kamu suka berkuda juga?” “Iya suka banget malah. Aku sering berkuda, setiap Senin sama Maikel dan Wiga.” Alis Ocha terangkat, “Really?” “Yes. Kamu mau ikut nggak?” “Maikel dan Wiga itu siapa?” “Sahabat aku.” “Biasa kamu berkuda di mana?” Tanya Ocha. “Di Arthayasa Stables and Country Club di Depok. Biasa kalau mau jauhan main, kita ke Sentul” ucap Damian. “Kamu nggak sendiri kok, nanti Maikel bawa istrinya,” ucap Damian. “Istrinya Maikel itu siapa?” “Rara, dia penyanyi.” “Artis?” “Iya.” “Senin ini ke berkuda ya.” “Hemmm,” Ocha masih mempertimbangkan ucapan Damian yang mengajaknya berkuda Senin ini. Damian dan Ocha melihat server membawa pesanan mereka dan lalu menyajikannya di atas meja. Damian tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada server. Damian menatap Ocha meneguk air mineralnya dan sedangkan dirinya menuangkan bir hitam Guinnes ke dalam gelas. “Mau bir?” Tanya Damian menatap Ocha yang memperhatikannya ia menwarkan calon kekasihnya itu bir. Ocha mengangguk, “Iya, mau. Itu kelihatan lebih segar daripada air mineral aku.” Damian menyungging senyum dan ia memanggil server meminta satu gelas kosong untuk calon kekasihnya itu. “Kamu suka minum alkohol,” tanya Damian. “Kadang-kadang. Kalau aku di luar negri sih sering minum ini, mungkin minum bir diluar negri itu hal biasa,” ucap Ocha. “Aku pernah minum bir dari setiap negara Eropa. Seperti di Italia, aku suka bir Peroni, kemasannya botol-botol besar. Kalau di Irlandia orang sana sangat menyukai bir Guinnes ini. Aku pernah ke Belanda juga, Grolsch bir di sana sangat enak menurut saya, lebih enak dari bir Jerman dan Belgia. Kemarin aku pernah ke Ceko aku nyobaik bir Pilsner Urquell, itu bener-bener sebuah bir fantastis dan begitu pula Budweiser Budvar, pokoknya jangan disamakan dengan buatan Amerika yang hambar itu. Paling enak bir Ceko.” “Tapi aku juga suka Guinnes ini, warnanya pekat dan rasanya sedikit keras. Bir ini biasa yang aku beli waktu tinggal di Eropa. Rasanya masih juara dibanding dengan bir lainnya. Pahit bertemu manis rasanya sangat menyegarkan.” “Kalau kamu apa?” Tanya Ocha, setelah ia bercerita banyak tentang bir. Damian melihat server memberikan gelas untuk dirinya, ia lalu menuangkan bir itu ke dalam gelas dan ia menaruhnya di depan Ocha. “Aku akhir-akhir ini aku suka Heineken atau Guinness. Aku nggak nyangka loh kamu suka minum bir.” “Aku kan lama di Eropa, jadi ya gitu deh. Di sana minum seperti ini udah biasa.” Ocha lalu berpikir,, “Kenapa ya budaya barat dipandang sangat buruk oleh masyarakat Indonesia? Padahal aku pikir budaya barat banyak membawa dampak positif bagi masyarakat di sini,” ucap Ocha, ia meneguk bir nya. Damian lalu berpikir, ia mengambil gelasnya dan meneguk bir itu sebelum memulai makan steaknya. “Analoginya seperti w*********h yang diperlakukan buruk dan divalidasi sendiri oleh masyarakat Indonesia. Mungkin yang mereka lihat banyak bule-bule kere yang suka bikin rusuh di negara orang, nerjunin motor ke danau, pesta narkoba, pamer dan bangga nyogok polisi dan kelakukan buruk lainnya. Padahal mereka can't afford betingkah ilegal di negaranya sendiri karena dendanya jauuuuuh lebih besar dan hukumannya lebih keras.” “Iya bener banget,” ucap Ocha, ia mengambil sushi dan memasukan ke dalam mulutnya. “Maka dari itu, mereka perlu terbang ke negara lain dulu yang mereka anggap lebih rendah dan orang tidak mempermasalahkan kelakukan mereka.” “Aku sendiri lebih suka bergaul dengan teman-teman dari negara lain, yang sopan, baik dan berpikiran terbuka. Tapi ada juga yang berpikiran sempit. Kalau ngomongin dosa misalnya melakukan s*x dengan lawan jenis sebelum nikah. Budaya timur juga nggak lebih suci, rata-rata mereka jago menyembunyikan saja.” “Aku awalnya mengira orang Indonesia paling pintar dalam bersopan santun, namun dugaan aku salah. Sebenarnya tata karma paling aku suka itu orang Prancis, kata sapaan, tolong, maaf dan terima kasih, sangat diperhatikan oleh orang tua Prancis. Mereka tidak jarang ngotot meminta anak mereka yang balita menyapa supir atau kasir menjadi tontonan umum. Kata mereka bahwa empat password itu adalah kunci menjadi manusia yang baik.” “Kamu pasti sering melihat orang Prancis menyapa orang asing saat menunggu di halte bis, mengucapkan selamat makan, mereka memiliki etika yang baik dalam makan yang ribet, menghargai setiap makanan. Tata cara itu tertulis secara resmi dan diwariskan hingga sekarang, sehingga mereka mempunyai derajat refinement keeleganan yang sama.” “Aku tidak merendahkan kebiasaan makan dengan tangan, hanya saya lebih sreg jika makan dengan peralatan makan, meskipun hanya lauk sambal. Tata krama lainnya misalnya menaruh siku di atas meja, menawarkan yang lain sebelum mengambil makanan. Menuangkan air untuk diri sendiri, tanpa dilayani. Atau makan dengan hidangan sesuai urutan, yakni mulai dari salad, hidangan pertama dan dessert.” “Satu hal yang paling aku sukai dari orang Prancis yaitu membicarakan uang dan pamer kekayaan. Jika mengobrol soal gaji atau menunjukan mobil mewah. Bukan semakin kagum tapi malah membuat prilaku tersebut sangat tidak sopan.” “Aku juga suka dengan budaya Prancis, tentang hal membaca. Prancis adalah satu bangsa yang paling suka membaca menurut saya. Di bis, di pesawat, sambil menunggu antrian, saat liburan, sebelum tidur mereka gemar membaca. Mereka membiasakan anak mencintai buku sejak masih bayi. Anak Indonesia mengenal TV, namun anak Prancis lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan buku.” Ocha speechless apa yang diucapkan oleh Damian, satu hal yang ia tahu tentang Damian, dia memiliki ppengetahuan yang luas. Dirinya saja yang sudah lama hidup di Eropa, belum mengetahui soal seluk beluk orang Prancis seperti apa. “Wah, aku nggak nyangka loh, kamu tahu sedetail itu tentang orang Prancis.” Damian menyungging senyum, “Dulu aku pernah dekat sama wanita Prancis, enggak pacaran cuma deket. Aku jadi banyak tau dari dia.” “Sekarang dia di mana?” “Di Paris dan sudah menikah dengan pria pilihannya.” “Masih banyak sih yang aku suka dari budaya Barat.” “Aku juga.” Ocha melirik Damian, “Kamu free s*x?” “No, aku hanya melakukan s*x dengan pasangan aku saja. Kamu?” “Aku nggak melakukan sex.” “No, kamu bohong.” Ocha lalu tertawa, Damian menyungging senyum, “Kamu menuduh saya melakukan free s*x?” “Siapa yang nuduh, cuma tanya doang,” Ocha lalu meraih gelas yang berisi bir dan lalu meneguknya. Damian memasukan daging ke dalam mulutnya, ia melirik Ocha, “Nanti kita tidur bareng ya?” Mendengar itu Ocha lalu terbatuk-batuk. Damian dengan cepat beranjak dari duduknya, ia mendekati Ocha, ia mengelus tengkuk wanitanya agar batuknya reda. Ocha menutup mulutnya dengan tisu, bisa-bisanya Damian dengan mudahnya mengatakan kepadanya bahwa mereka akan tidur bersama. Sumpah, itu pernyataan paling konyol yang pernah ia dengar. “Ih, apaan sih, jangan pegang-pegang,” ucap Ocha menepis tangan Damian dari tengkuknya, bukannya malah lebih baik, tangan hangat Damian membuatnya merinding. “Aku cuma nolong kamu, biar kamu nggak batuk-batuk,” ucap Damian lagi. “Tapi itu buat gua merinding, tau. Lepasin!” “Ngomong apa tadi?” Tanya Damian yang masih berada di belakang Ocha. Ocha terdiam beberapa detik. “Tangan kamu buat aku merinding, lepasin,” ucap Ocha. Damian menyungging senyum dan ia menjauhi diri dari Ocha. Ia pikir tadi Ocha udah luluh setelah mereka ngobrol banyak tentang kehidupan. Damian memakan makanannya, ia makan dengan tenang begitu juga Ocha. Beberapa menit berlalu Ocha dan Damian sudah menyelesaikan makannya. Damian meraih gelas berisi bir itu dan meneguknya. Ia melirik Ocha yang menyesap bir itu. Damian melirik jam di tangannya menunjukan pukul 17.20 menit, “Ke Puncak ya?” “HAH!” “Jalan ke Puncak, nggak nginep cuma jalan aja.” “Enggak-enggak,” tolak Ocha. “Come on, cuma jalan aja. Ngobrol di jalan, liat hujan, makan jagung, aku udah lama loh nggak ke sana.” “Enggak, enggak, bahaya tau sama kamu.” “Bahayanya di mana.” “Pokoknya bahaya banget. Enggak bisa dipercaya.” “Emang aku pernah bohongin kamu?” “Ya, nggak. Cuma bahaya, ngapain ke puncak? Udah mau malam, aku ada kursus malam ini.” Damian mengerutkan dahi, “Kursus apaan malam-malam, Cha?” “Kursus menjahit.” Damian menahan tawa, “Jahit apa malam-malam.” “Ya, jahit baju lah, buat baju. Kamu pergi sendiri aja ya, maaf nih nggak bisa pergi, nggak bisa ikut.” “Kamu nggak ada kegiatan apa-apa selain ngantor.” “Ih, kamu kok ngotot gitu sih, ngajakin aku pergi-pergi.” “Kan lagi PDKT.” “Tapi PDKT nya, enggak kayak gini lah, masa ke Puncak.” “Emang PDKT nya kamu seperti apa?” “Hemm.” “Atau mau ke rumah aku? Kita bisa ngobrol secara privasi di sana. Biasa kalau aku udah ngajak kamu ke rumah, lebih bahaya loh, dari pada ngajak jalan ke Puncak.” “Kalau di rumah nggak bakalan aku lepas pulang.” “HAH!” “Ini masih untung aku ajak kamu ke Puncak, muter-muter lihat embun.” “HAH!” Ocha masih terkaget-kaget. “Enggak, enggak jangan di rumah kamu.” “Jadi ke Puncak.” “Kamu nggak apa-apain aku kan?” “Kalau aku apa-apain kamu, mungkin kamu sekarang udah tidur di atas tempat tidur aku karena puas.” “Sangat mengerikan.” Damian seketika tertawa, “Enggak mengerikan kok. Kamu pacaran sama aku, kamu bakalan aku service habis-habisan.” “Ih.” “Kamu belum aku apa-apain udah takut banget. Aku cuma mau PDKT, sama calon pacar aku.” “Tapi kan.” “Tapi apa?” “Bahaya tau di Puncak.” “Kecuali aku bilang, ngajak kamu nginep di sana, baru deh kamu takut.” “Macet enggak?” “Enggak lah, weekday, nggak macet. Kita lewat tol.” Damian memanggil server dan ia meminta bil. Setelah membayar bil Damian dan Ocha meningggalkan area restoran. Damian menggenggam jemari Ocha, sambil masuk ke dalam lift. Mereka melangkah menuju lobby. Ocha melirik Damian yang terus melangkah, ia melihat billboy berada di depan pintu tersenyum ke arahnya. Ocha juga melihat mobil mewah Damian ternyata diparkir di depan lobby. Begitu spesialnya mobil itu hingga tidak diperkir di depan basement. “Kamu nggak apa-apain aku kan?” Tanya Ocha sekali lagi. Damian tersenyum, “Enggak.” Damian membuka hendel pintu mobil untuk Ocha dan Ocha mendaratkan pantatnya di kursi. Damian menundukan wajahnya menatap Ocha. “Bisa nggak kalau kamu itu lebih rileks dan santai, kalau sama aku?” Tanya Damian. “Iya, bisa,” ucap Ocha pelan. “Bener?” “Gimana mau santai, kamu suka ngancem-ngacem.” “Kalau nggak diancem, kamu nggak nurut sama aku.” “Mau aku rilexksin?” “Gimana caranya?” “Orgasme.” “Ih, kamu.” Damian mendengar itu lalu tertawa, ia mengelus kepala Ocha lembut, “Jangan kabur,” bisik Damian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD