HAPPY READING
***
Ocha melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 15.45 menit. Oh God, saat-saat seperti ini kenapa waktu berlalu begitu cepat. Ia tahu, sebenarnya tidak ada bukti yang konkrit bahwa waktu berubah menjadi lebih cepat, alasannya karena dilakukan tiap hari itu sama saja dan tidak ada perubahan makannya waktu terasa lebih cepat.
Ocha juga tahu dalam bukti ilmiahpun tidak ada yang bisa membuktikan bahwa waktu semakin cepat kecuali kita terlalu sibuk. Mungkin banyak penanya ada baiknya membaca teori Einstein. Teori relativitas umumnya menyatakan bahwa waktu semakin lambat apabila mendekati sumber gravitasi yang dalam (dilatasi gravitasi). Fenomena ini menyatakan bahwa gaya gaya gravitasi berperan penting dalam manipulasi ruang dan waktu. Fenomena ini benar terjadi, namun untuk orang berada dipermukaan bumi vs orang yang diluar angkasa.
Ocha bingung antara pulang atau tidak, karena ia takut kalau Damian menunggunya di basemen. Firasatnya mengatakan bahwa pria itu pasti ada di basemen menunggunya. Ia juga masih menunggu kabar dari Feli tentang prihal Damian. Ocha bolak balik menscroll ponselnya, ia bingung akan berbuat apa.
Ocha menarik nafas panjang, ia menyelipkan rambutnya di telinga, tiba-tiba terdengar suara getaran dari ponselnya. Ocha melihat ke arah layar ponsel.
“Felicia Calling,”
Ocha dengan cepat menggeser tombol hijau pada layar, ia meletakan ponsel itu di telinga kirinya.
“Iya Fel,” ucap Ocha.
“Gue udah tau siapa om Damian,” ucap Feli to the point.
“Terus, dia siapa?” Tanya Ocha penasaran.
Feli menarik nafas, ia harus memberitahu tentang kabar kebenaran ini, “Nama om gue itu nama lengkapnya Damian Ashton.”
Alis Ocha terangkat, “Wih, kayak nama hotel aja, Aston,” timpal Ocha.
Feli lalu tertawa geli, “Ah, lo, gua mau cerita nih, ngomongin Aston segala.”
“Habisnya namanya Ashton. Terus apa?”
“Nama om gue namanya Damian Ashton, doi pengusaha batu bara nasional. Om Damian itu terbilang senior di inddustri tambang batu bara. Doi juga ikut menjadi pendiri Adaro.”
“Adaro itu apa?” Tanya Ocha lagi.
“Adaro itu perusahaan Energy yang fokusnya penambangan batu bara, coba lo searching di google nanti ketemu kok. Kalau nggak salah Adaro itu perusahaan public terbesar di Indonesia.”
“Wow, hebat juga ya om lo.”
“Kan udah dibilang, hebat banget. Terus nih, om Damian mantan CEO astra Internasional, lepas dari itu dia diriin lagi nih perusahaan Triputra Group. Triputra Group itu perusahaan batu bara juga, Cha.”
“Perusahaan om Damian itu ada di Kalimantan Selatan, kapasitas produksinya sampai 15 juta ton per tahun. Lo tau nggak itu, tuh perusahaan raksasa di Indonesia. Majalah forbes menempati om Damian orang terkaya di Indonesia ke 20. Kekayaan bersihnya 1,6 miliar dollar AS sekitar 22,7 triliun.”
“Gila, parah banget. Terus-terus.”
“Mantannya dulu dokter Rose, cuma nggak tau putusnya karena apa. Om Damian itu tipe setia kok, terakhir pacaran sama dokter Rose, selebihnya nggak ada.”
“Lo pernah liat dokter Rose?”
“Enggak.”
“Lo dapat informasi ini dari siapa?” Tanya Ocha penasaran.
Feli menarik nafas, “Dari google lah, dari mana lagi coba.”
“Ya ampun, kirain sumber terpercaya dari sekretarisnya dia. Taunya dari google,” dengus Ocha.
“Iya lah gue nanya siapa lagi. Kalau nanyain nyokap sama bokap, pasti nggak bakalan tau juga soal om Damian. Om Damian rada misterius gitu. Apalagi soal asmara, tertutup sekali.”
“Lo searching sendiri deh kalau kepo. Ketik aja Damian Ashton, pakek H tengahnya.”
“Oiya, om Damian ada WA lo nggak?” Tanya Feli lagi.
“Enggak ada nih.”
“Yaudah berarti lo aman dong. Enggak mungkin lah om Damian ngejer lo, dia kan banyak kerjaan juga.”
“Iya juga sih. Kantornya emang di mana?”
“Di Mega Kuningan.”
“Deket dong dari sini.”
“Iya head office nya di sana. Cuma ya tambangnya di Kalimantan. Lo belum balik?”
“Ini mau balik sih, cuma takut sama om lo, tiba-tiba nongol di basemen, terus nyulik gua. Bahaya tau!”
“Ah, nggak mungkinlah sampe segitunya, Cha,” Feli mencoba menenangkan sahabatnya.
“Lo minta kawal aja sama security.”
“Security pasti sibuk lah, itu basement gede banget, gue aja nyari parkir muter-muter.”
“Iya sih.”
“Lo nanti malam ke mana?” Tanya Ocha.
“Gua mau ngedate sih sama Brian.”
Alis Ocha terangkat, “Brian yang di Jerman itu.”
“Iya.”
“Wah, temu kangen dong. Kapan dia ke Jakarta?”
“Nyampe hari ini. Nginep di Four Season.”
“Awas lo ya, bilang sama Brian jangan lupa pakek kondom,” Ocha cekikikan.
“Lama nggak, dia ke sini?”
“Enggak, palingan seminggu doang. Habis itu balik ke Jerman.”
“Jadi ke sini ngapain?”
“Liburan. Gua sih oke aja.”
“Seru dong.”
“Seminggu doang. Gue udah minta izin gitu sama nyokap juga, katanya oke, sebelum masuk dunia kerja, liburan aja ke mana.”
“Jadi lo mau kerja di mana?”
“Ngelanjutin perusahaan papa lah. Walau usahanya kecil tapi perusahaan sendiri.”
“Iya, bener banget.”
“Yaudah deh kalau gitu, gua siap-siap dulu, mau jemput Brian di hotel.”
“Bilang aja kangen ranjang, dasar lo,” Ocha lalu tertawa,
Feli juga ikut tertawa, “Lo tau aja kalau gue lagi kangen. Emang lo nggak pengen?”
“Ih, lo.”
“Coba aja sama om Damian, siapa tau dia hot.”
“Ih, dasar lo.”
“Kayaknya dia hot banget kan.”
“Ih, Feli.”
“Enak tau, cobain aja.”
“Awas lo, ya.”
Ocha mendengar Feli tertawa geli, ia lalu mematikan sambungan telfonnya. Ocha melirik jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 16.20 menit. Ocha memasukan ponselnya di tas, ia melihat meja kerjanya sudah tidak ada berkas lagi, karena ia sudah menandatangani semua laporan yang ada. Ocha beranjak dari duduknya. Ia mengambil kunci mobilnya di meja, lalu melangkah keluar dari office, tidak lupa ia menutup ruangan dan menguncinya.
Ocha melangkah menuju koridor, ia melihat masih banyak karyawan masih stay di kubikel mengerjakan pekerjaanya. Ada beberapa karyawan menyapanya dengan ramah. Ocha berjalan menuju lift, ia masuk ke dalam dan menekan tombol basemen.
Elevator membawa Ocha ke basemen, beberapa detik berlalu pintu lift terbuka, Ocha melangkah keluar menuju basemen. Ia melihat banyak mobil yang terparkir di sana. Suasana basement terlihat sepi, hanya ada satu security yang berjaga di dekat pintu lift, mengecek siapa aja masuk dan berkepentingan apa. Semua akan diperiksa identitasnya kecuali yang mengenakan lanyard, otomatis karyawan yang bekerja di sini.
Ocha melangkahkan kakinya menuju basemen, ia ingat betul di mana ia menyimpan mobilnya. Ia memastikan lagi bahwa ia aman dari Damian. Ocha menepuk kepalanya, sialnya tadi pagi ia menyimpan mobilnya jauh hingga ke blok D4 di ujung sana, karena kehabisan tempat parkir.
Ocha dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju mobilnya yang berada di ujung sana, ia menoleh ke belakang memastikan tidak ada mobil yang menghampirinya dari belakang. Ia harus extra waspada dalam situasi seperti ini. Sekian menit berlalu Ocha merasa lega bahwa ia tidak menemukan tanda-tanda mobil menghampirinya.
Oh Tuhan, kenapa ia merasa parno sekali berhadapan dengan Damian. Ia seperti seorang wanita yang terperangkap berselingkuh. Ocha melihat mobil putihnya sudah hampir dekat. Ia setengah berlari menuju mobilnya, karena ia merasa aman ketika sudah berada di dalam mobil.
Ocha menghentikan langkahnya karena ia sudah berada tepat di depan mobilnya, ia mengatur nafasnya yang sulit diatur, karena efek adrenalin yang waspada. “Huftttt, akhirnya nyampe juga”
Seketika Ocha bergeming, ia memandang seorang pria mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada tepat di samping mobilnya. Tatapan mereka seketika bertemu, Ocha menelan ludah, orang yang paling ia hindari di dunia ini, kini malah tepat di hadapannya. Pria itu melangkah mendekati dan menarik pergelangan tangannya.
“Kamu …” ucap Ocha dengan suara bergetar, kini tangannya sudah digenggam erat.
“Hai,” ucap Damian tenang, ia mendekati Ocha. Ia merasakan kulitnya putih dan halus dari tubuh Ocha. Damian yakin Ocha menjaga tubuhnya dengan baik.
Damian berikan senyum terbaiknya pada wanita itu, namun ekpresi wanita itu terlihat cemas dan takut.
“Saya sudah mengatakan kepada kamu, kalau saya akan menjemputmu.”
Ocha menelan ludah, kini pria itu jaraknya sudah sangat dekat dengannya. Ia melihat ke arah samping tidak ada orang yang lewat satupun untuk diminta pertolongan.
“Tapi aku bawa mobil loh,” ucap Ocha, ia menunjuk mobilnya, agar Damian tahu bahwa ia tidak pulang tanpa mobilnya.
“Simpan di basemen aja, aman, dan sekarang kamu pulang naik mobil saya.”
“HAH! Enggak enggak,” protes Ocha, namun tatapannya berlih ke arah Damian.
“Nanti nyokap bokap gua nyariin, harus pulang gua.”
“Kamu udahh dewasa, nggak dicariin juga nggak apa-apa. Kamu bisa menentukan hidup kamu tanpa bergantung dengan orang tua.”
“Tapi beneran nyokap nyariin biasanya.”
“Ini masih jam empat sore Ocha, nggak mungkin dicariin.”
“Tapi kan.”
“Kamu kemarin sama Feli pulang dari club aja subuh, aman-aman aja nggak dicariin. Masa masih sore, logika saja seperti itu.”
“Tapi beneran. Eh, gua mau nemenin nyokap ke salon, enggak bisa ikut lo. Beneran,” tolak Ocha.
“Banyak sekali alasan kamu.”
“Beneran.”
Damian tidak memperdulikan aksi protes Ocha, ia tetap menarik jemari lentik itu dan mendekati mobil Rolls Royce berwarna hitam miliknya. Damian membuka hendel pintu mobil, dan menyuruh Ocha masuk ke dalam.
Ocha menelan ludah ia tidak tahu akan berbuat apa. Mau tidak mau Ocha lalu mendaratkan pantatnya di kursi. Ocha memperhatikan Damian menutup pintu mobilnya. Ia butuh beberapa detik untuk kabur dari mobil ini, sebelum pria itu masuk dan menguncinya dengan central lock. Ocha melihat Damian melewati depan mobil, ia lalu bergegas membuka hendel pintu dengan cepat dan keluar.
Ocha bersyukur bahwa ia dapat meloloskan diri dari jeratan Damian, ia berlari dengan sekuat tenaga. Damian tidak percaya melihat aksi Ocha yang keluar dari mobilnya dengan cepat. Damian melihat Ocha berlari terseok-seok meninggalkannya. Damian menutup pintu mobilnya lagi dan ia mengejar Ocha yang sudah melesat meninggalkannya.
Oh Jesus, bisa-bisanya wanita itu kabur dengan berlari menggunakan high heels seperti itu. Jika ingin mengajak dirinya melakukan adegan kejar-kejaran bukan seperti ini caranya. Ocha harus latihan sebulan penuh di stadion Gelora Bung Karno.
Ocha dengan cepat berlari menuju lobby karena akan ada security yang menolongnya, itu satu-satunya cara dirinya untuk menghindari Damian. Sial! ia menggunakan rok pensil dan high heels, membuatnya susah bergerak. Harusnya ia mengunakan celana kulot dan sepatu flat agar mudah bergerak. Ocha tidak akan menoleh ke belakang, ia terus berlari ke depan. Ia tahu bahwa ini adalah tindakan nekat yang ia lakukan untuk menghindari Damian, namun ia tahu juga ini merupakan cara yang salah. Seorang Damian pasti larinya seperti atlit nasional, yang bisa menangkapnya kapan saja.
Beberapa detik ia berlari, pinggangnya seketika ditarik oleh sebuah lengan otomatis tubuhnya terhenti dan ia kini sudah berada di dalam dekapan seorang bernama Damian. Benar dugaanya bahwa ia dengan mudahnya tertangkap. Nafas Ocha ngos-ngosan, jujur baru beberapa meter ia berlari ia sudah lelah luar biasa. Jujur ia bukan wanita yang aktif beraolah raga.
“Kamu mau ke mana?” Bisik Damian tepat di telinga Ocha.
“Mau kabur?”
“Eh, itu,” Ocha semakin gugup, ia merasa terintimidasi oleh Damian.
“Bisa nggak, kalau kamu sikapnya lebih manis kepada saya.”
“Saya hanya ingin berduaan dengan kamu. Bersikaplah sedikit kooperatif kepada saya,” ucap Damian diplomatis
Ocha memandang Damian, tatapan itu membuatnya takut, “Please, biarin gue pergi,” rengek Ocha.
“Tolong, jangan gue yang lo incer,” rengek Ocha lagi.
Damian menarik nafas, “Kamu ini kenapa?”
“Gue yang tanya lo kenapa, ngejer gue?” Ocha mencoba berontak, melepaskan diri dari dekapan Damian. Namun tenaga pria itu jauh lebih kuat darinya.
“Saya kan udah bilang mau berduaan dengan dengan kamu.”
“Gue nggak mau deket-deket lo,” rengek Ocha.
“Kenapa?”
“Takut.”
“Saya nggak apa-apain kamu, Ocha.”
“Tapi lo itu udah buat gua ngeri, tiba-tiba nongol depan gue. Jantung gue mau copot, mau pingsan,” desis Ocha.
Damian menahan tawa, ia meraih jemari Ocha, “Kan saya tadi udah ngasih tau kamu, kalau saya akan jemput kamu. Kalau saya sudah ngomong seperti itu, kamu harusnya sudah tahu, dan ikutin saja. Kamu akan aman bersama saya,” ucap Damian.
“Tapi kan.”
“Tapi apa?”
“Mau ke mana?” Ucap Ocha pelan, memandang wajah Damian.
“Pokoknya berdua dengan kamu. Kita ngobrol sampai malam.”
“HAH!”
Damian menyungging senyum, ia menarik Ocha menuju mobilnya, “Saya hanya mau jemput calon kekasih saya, ngobrol dan mulai pendekatan.”
“Tapikan, nggak perlu tarik-tarik gini.”
“Kalau nggak di tarik, kamunya kabur.”
“Ih.”
Damian membuka hendel pintunya lagi, ia menyuruh Ocha masuk ke dalam mobilnya. Ocha menarik nafas dan ia memandang Damian, tatapan itu menyuruhnya masuk. Jika ingin selamat maka mau tidak mau, ia masuk ke dalam mobil ini.
Ocha kembali mendaratkan pantatnya dikursi mobil ini, ia memandang Damian masih berada di sampingnya. Pria itu menunduk otomatis tubuhnya ke belakang. Jarak mereka sangat dekat dan saling menatap. Damian dapat merasakan aroma bunga peoni yang segar, aroma tubuh Ocha sangat khas menurutnya.
“Kalau kamu kabur lagi, saya nggak segan-segan cium kamu saat ini juga,” ancam Damian.
Ocha lalu bergidik ngeri, ia dapat melihat secara jelas wajah tampan itu dari jarak dekat. Oh Tuhan, kenapa kamu memahat wajah tampan itu sangat sempurna, teriak Ocha dalam hati. Ocha merasakan hembusan nafas Damian dipermukaan wajahnya. Jantung Ocha maraton ketika Damian menyentuh rambutnya sekilas, tanpa mengucapkan sepatah katapun, namun membuatnya merinding. Setelah itu ia menjauhi diri dari Ocha.
Ocha merasa lega luar biasa ketika pria menjauh, ia memandang Damian sudah berada dikemudi setir, semenit kemudian mobil meninggalkan area tower office. Ocha tidak tahu Damian akan membawanya ke mana.
“Mau ke mana sih?” Tanya Ocha, ia memandang Damian memanuver mobil, sementara tangan kirinya menghidupkan audio mobil.
Damian menyungging senyum, “Mau ke hotel Fairmont.”
“HAH!” Mata Ocha tiba-tiba terbelalak kaget.
“Ngapain ke hotel Fairmont?”
Damian menyungging senyum, “Ke restorannya, bukan ke roomnya. Kalau kamu mau ke room nya boleh aja kita langsung chek in.”
“HAH!”
“Kamu mau langsung chek in? Biar lebih privasi berdua, ngobrol sambil tiduran,” ucap Damian.
“Ih, enggak-enggak, enak aja. Asal main chek in.”
“Namanya juga pacaran kan, check in hal biasa.”
“Siapa pacaran sama lo?” Ocha semakin terkaget-kaget.
“Kamu.”
“Sttt, bisa nggak kalau ngomong sama saya itu pakek Aku-Kamu.”
“Enggak bisa.”
“Bisa.”
“Enggak bisa.”
“Bisa.”
“Enggak.”
“Atau mau saya cium.”
Ocha dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan, “Jangan-jangan,” Ocha protes keras dengan ancaman Damian yang asal menciumnya begitu saja.
“Coba ngomong aku.”
Ocha menarik nafas, ia merasa jengah dengan tindakan Damian yang banyak maunya, “Aku nggak mau.”
Damian tersenyum mendengar konotasi aku, “Kamu itu mesti diancam dulu ya, baru bisa nurut.”
“Ih, ngebetein.”
****