PART 9

1501 Words
LuXa (Lucas bertubuh Alexa) Alecas (Alexa bertubuh Lucas)   "Apa yang kau lihat?" Devon menggertak, dia berbalik dan berhadapan langsung dengan Alecas dengan tubuh telanjangnya. "Ti.. tidak" jawab Alecas terbata-bata, namun jantungnya berdegub semakin cepat. Dia menggerakan kakinya tidak nyaman, "Ya ampun." Alecas berlari melesat, menutupi milik Lucas yang menegang di balik handuk kecil itu. Kaki Alecas terseok-seok melangkah selebar mungkin mencari keberadaan Lucas. Alecas membuka pintu ruangan wanita dengan kasar, mengedarkan pandangannya mencari keberadaan LuXa, dan menghiraukan jeritan wanita  yang terkejut melihat kedatangannya ke ruangan khusus wanita, yang hampir semuanya telanjang. "Lucas" panggilannya begitu melihat orang yang di carinya ketemu. LuXa tengah memijat bahu wanita telanjang dan berkumpul dengan para model seksi. Sepertinya mereka satu angensi dengan Devon. Menyadari keberadaan Alecas dengan raut wajah yang mengkhawatirkan, LuXa langsung bangkit dan menghampirinya. "Kemarilah cepat!" LuXa menarik lengan Alecas dan membawa dia pergi ke depan bilik toilet. Belum sempat mereka berbicara Shwan datang dengan tas berisi pakaian Alexa juga Lucas. LuXa bersedekap dengan tegak "Ada apa?." "Anda harus segera berpakaian.  Rafael ada di sini, bawah tanah" jawab Shwan hati-hati, sesekali dia melihat ke sekitar dan memastikan sesuatu. "Ini menarik" LuXa tersenyum sinis. "Cepat berpakaian!"Perintahnya pada Alecas, LuXa melangkah dengan cepat ke arah toilet, sementara Alecas mengekorinya dengan raut wajah kebingungan. "Siapa Rafael?" Alecas mulai penasaran. "Anak Joe" jawabnya santai, sambil sibuk  berpakaian. "Cepat berpakaian Alexa" perintahnya sedikit menaikan nada suaranya, karena sejak tadi Alexa diam. Kini LuXa memakai celana dan jaket trening hitam dengan nyaman di padukan sneaker putih. Itulah pakaian yang membuat Lucas nyaman. Alecas melepaskan handuknya dan menutupi wajahnya yang memerah, "Sejak tadi milikmu berdiri. Aku umm.. tadi melihat pria tampan telanjang" ucap Alecas setengah malu. Alexa enggan menyebut dan memberitahukan soal kekasihnya yang ada di sauna juga, Devon harus aman dan jauh dari jangkauan Lucas. LuXa menganga dengan ekspresi paling jijik. "Sialan Alexa. Kau membuat senjataku menegang karena pria!," bentaknya tidak terima. Alexa tertunduk dan mengangguk malu. LuXa memejamkan matanya menahan frustasi. Ketukan dan panggilan Shwan di luar membuat LuXa mengalihkan kekesalan dan rasa jijiknya sejenak. "Pakai pakaianmu. Dan kita keluar. Kau tetap diam di belakang dan bersikap sedingin mungkin, jangan merengek dan menangis!.  Atau kekasihmu mati sekarang juga." LuXa mengambil jaket kulitnyadan melemparkannya pada Alecas. Mata LuXa menatap tajam dan bersuara dengan nada dingin mematikan. "Aku akan membunuh kekasihmu dengan tubuhmu Alexa. Aku tidak main-main" ucapnya sekali lagi. Lucas sudah tahu Devon kekasih Alexa, dan Lucas tahu Devon ada disini. Fantastis!. Tubuh Alecas menegang seketika. Peringatan Lucas tidak main-main, sorot matanya menunjukkan seberapa bahayannya dia. Dengan sedih Alecas mengangguk patuh, dan segera berpakaian juga. "Saat keluar, tegakan bahumu. Tetap diam di belakang dengan ekspresi sedingin mungkin. Kau mengerti?." Alecas mengangguk gemetar, dia mengekori langkah LuXa dan Shwan yang mulai berjalan keluar. Armin sudah menunggu mereka di ujung lorong, dia memegang sendok di tangan kirinya. "Sepertinya kalian akan berkelahi" sahut Armin dengan santai, "Aku akan menonton" sambungnya lagi. ***   Shwan memegang sebuah tongkat baseball di tangannya, dia berjalan lebih dulu untuk memimpin. Sebagian anak buahnya  sudah siaga di luar, berdiri di balik mobil dan menodongkan pistol ke arah sauna. Seorang pria berambut sebahu muncul, wajahnya di hiasi bekas tebasan dan jahitan berdiri paling depan, dia memimpin anak buahnya di belakang. LuXa memberi isyarat, Shwan mundur perlahan untuk melindungi Alecas dan Armin. LuXa berjalan dengan berani menghadapi mereka sendirian dengan tangan yang menyeret tongkat baseball, tatapannya tajam seperti elang, melihat pria botak yang berdiri di belakang bosnya. "Aku hanya ingin bicara dengan Rafael." "Ini wilayahku. Urusan anak buahku, urusanku juga" jawab Ted dengan sangar, dagunya terangkat angkuh melihat Alecas yang berlindung di belakang Shwan. "Kita bisa bernegosiasi, dengan begitu, semuanya tidak membuang waktu" suara LuXa tetap tenang, menatap sorot mata tajam Ted. "Tujuanku adalah bosmu, menyingkirlah." "Akulah bosnya." "Kenapa kau berlindung disana?, apa nyalimu sudah tidak sebesar dulu lagi?. Sampai-sampai gadis kecil ini yang menjadi juru bicaramu juga" hina Ted melihat ke arah Alecas yang berlindung di belakang Armin dan Shwan. Ted tidak tahu, jika sebenarnya orang yang di hadapannya dengan tubuh kecil dan wajah cantik itu adalah Lucas yang sebenarnya. LuXa tersenyum sinis, tanpa fikir panjang lagi dia melompat ke meja, mengayunkan kakinya tepat di wajah Ted, hingga pria itu terhuyung ke belakang. Ted kembali bangun dengan cepat, belum sempat Ted balas memukul LuXa kembali menghajarnya dengan kuat dan mengayunkan tongkatnya di d**a Ted. "Jaga dia" perintah Shwan pada Armin. Pria itu mengayunkan tongkat baseballnya dan berlari ikut bergabung dengan tuannya, untuk menghajar sekelompok gangster. Alecas gemetar ketakutan, dia tidak tahan untuk menjerit melihat seorang gangster terjatuh dengan pukulan keras di kepalanya oleh LuXa.   Brukk   Dinding sauna rubuh, LuXa menghajar Ted dan melemparkannya ke kolam. Tidak sampai disitu, dia mengayunkan tongkat baseball dan memukul kepala Ted seperti bola. Alecas langsung tertunduk di belakang tubuh Armin dengan tubuh gemetar ketakutan. Gadis itu tidak tahan melihat tubuhnya bersikap sangat kejam seperti psikopat. "Calon suamimu memang pandai berkelahi Lex. Sayang cukup bodoh" Armin terkekeh geli, dia berbalik dan meremas bahu Alecas mencoba menenangkan. "Pakai ini" Armin memberikan alat penyetrum pada Alecas. "Aku harus menyelesaikan kekacauan ini." Armin memegang tongkat kecil penyetrum dia kedua tangannya, dia mulai bergerak dan menyetrum satu persatu gangster. Shwan dan LuXa berhenti berkelahi, ketika melihat para gangster satu persatu mengejang karena setruman dan terkapar pingsan. "Kenapa kau tidak melakukannya sejak tadi?" LuXa melotot pada Armin, dia menyeret Rafael yang tidak berdaya. Armin kembali memasukan senjatanya ke saku coatnya, dia tersenyum menawan "Sudah aku bilang kan tadi, aku ingin menonton." LuXa mendengus dengan senyum kesalnya, perhatiannya kembali pada Rafael. LuXa menginjak d**a Rafael, membuat pria itu tidak berharga di bawah kakinya. Shwan membungkuk meneliti Rafael yang masih sadar. "Kita tidak memiliki urusan dengannya" peringat Armin. "Aku ingin mengajarinya sebentar" LuXa menghentakan kakinya lebih keras lagi tepat di jantung Rafael. "Katakan padaku, kau ingin mati dengan cara seperti apa?" Tanya LuXa mendesis. Rafael meringis, merasakan tekanan yang sangat mengintimidasinya, "Maafkan aku." Ucapnya kepada Alecas yang berdiri di samping Armin. "Aku tidak bermaksud la ah....!" Rafael menjerit bersamaan dengan suara patahan tulang di tangannya. Shwan telah memelintir buku-buku jari telunjuknya ke arah berlawanan. "Memenggal kepalamu saja tidak setimpal membayar hutang dan petaka yang kau buat" kata LuXa. Rafael terengah-engah, merasakan aura mematikan wanita kecil yang menginjaknya, bulu luduknya terasa merinding dan familiar dia rasakan. "Jangan sakiti keluargaku aku mohon, aku berjanji akan me ah...." Krek Buku-buku jarinya yang lain di pelintir ke arah yang berlawanan. LuXa mengangkat sebelah alisnya, "Ayahmu sudah mati." "Jangan, jangan membunuhnya! Aku mohon" Rafael terisak memohon di bawah kaki LuXa. LuXa dan Armin saling berpandangan merasa heran. Armin berlari meninggalkan Alecas yang mematung dalam kegetiran. Pria itu membungkuk dan meyentuh wajah Rafael sejenak, Armin menegang. "Dia masih hidup. Dan kau tidak pernah mendatanginya, tempat ini sudah menjadi sauna sejak sepuluh tahun yang lalu" ucap Armin berbisik. Wajah LuXa pucat seketika. Jelas-jelas dia sudah pernah menemui Joe ayah Rafael, bahkan Shwan menjadi saksi utama dan pria itu yang membuang mayatnya. "Bawa seekor burung biru di bawah tanah. Kita harus segera pergi, polisi datang dalam lima menit" perintah Armin, Shwan mengangguk patuh dan segera pergi. Armin berbisik sesuatu pada LuXa lalu pergi menuntun Alecas yang masih shock keluar.   ***   "Dia disana, pergilah dan jaga sikapmu." Tunjuk Armin pada seorang gadis cantik yang tengah melukis di taman sendirian. "Kenapa tidak kau saja?" LuXa membentak frustasi, dia masih di buat pusing memikirkan kebenaran jika sebenarnya Joe masih hidup.   Lalu siapa pria yang dia bunuhnya?.   "Aku tidak ingin dia berfikir aku memanfa'atkannya karena ini." LuXa tersenyum sinis, "Bagus, kau mencintai gadis di bawah umur. Kejahatan moral," ucapnya menekankan. "Ayo Alexa" LuXa menarik Alecas lebih lembut kali ini. Mereka berjalan mendekati gadis yang di tunjuk Armin untuk mencari sebuah jawaban. "Kau Yura?" Ucap LuXa sedikit tegang. Gadis itu menengok, dia meletakan kuasnya di atas bangku dan mengangguk. "Bisakah kau membantu kami?" Tanya LuXa was-was. "Membantu apa?" Jawabnya tenang. Tidak berapa lama Shwan datang menyusul, pria itu membawa seekor burung dalam sangkarnya, meletakannya di depan Yura. Shwan melangkah mundur dan berdiri di belakang. "Apa yang dia katakan?" Tanya Alecas. "Aku tidak tahu apa-apa paman" jawab Yura dengan senyuman polosnya. Alecas tertunduk sedih, bahunya bergetar mulai menangis, "Tubuh kami tertukar, aku mohon bantu kami." Yura menggerakan kepalanya ke satu sisi, melihat LuXa dan alecas bergantian dengan tatapan dingin menusuk. Ada kewaspadaan besar di mata gadis itu. "Aku tidak bisa." Tolak Yura lagi. "Thomas mengutus kami kemari." Sela LuXa. "Zuyura Alexandra Franklin. Kau bisa menundukan hewan juga tumbuhan, dan kau dapat berbicara dengan mereka, karena kau keturunan Alexander Franklin." Sambung LuXa, menjelaskan. Yura mengangguk mengerti. Tanpa penolakan lagi, gadis itu mulai membuka sangkar burungnya,  membuat LuXa dan Alecas bernafas lega, karena gadis di hadapannya itu mudah di ajak berkompromi. Yura menerbangkannya, burung itu berputar di langit dengan cepat, beberapa saat kemudian burung-burung lain berdatangan dalam jumlah yang sangat banyak seperti bermigrasi. Mereka mulai turun mengelilingi Yura dan berkicau. Seekor burung biru hinggap di tangan Yura dan mengerakan kepalanya dengan lincah. "Kau penjahat" ucap Yura pada LuXa. "Ya. Aku memang jahat, dan aku ingin memperbaiki semuanya" jawab LuXa dalam keputus asaan. "Kau membunuh seekor kucing hitam dengan pelurumu" Yura bangkit, para burung terbang lagi mengelilinginya. Yura tersenyum kepada kawanan burung dan berbisik, para burung itu langsung berhamburan kembali pergi, begitu pula burung biru yang di bawa Shwan. "Aku tidak pernah membunuh kucing" LuXa semakin bingung. "Kucing hitam, yang kau tebas dengan belati dan pelurumu. Dia kucing, bukan manusia" jawab Yura menegaskan. LuXa menegang lemah semakin pusing. Yura mendekati Alecas, dan menelitinya sejenak. "Bagaimana agar tubuh kami bisa kembali?" Tanya Alecas gemetar. "Katakan kau mencintainya, dan cium dia."   ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD