Pengobatan

1040 Words
Pagi itu Jelita terlihat sudah siap ke kantor, ia berencana untuk pulang cepat karena hari itu adalah jadwal ayahnya untuk melakukan tindakan kemoterapi. Perasaannya bercampur aduk antara senang , khawatir, dan lega. Untuk tindakan pengobatan pertama kali ayahnya itu, ia berhasil mengumpulkan biaya sebanyak 20 juta. Akan tetapi, ia tidak bisa menjamin lagi untuk tindakan selanjutnya. Karena uangnya sudah benar-benar habis. Ia sudah melakukan usaha maksimal untuk itu, mengambil pinjaman dari kantor dengan cicilan gajianya setiap bulan di tambah dengan tabungannya yang ia sudah kumpulkan. Ia pun bersyukur karena pengobatan ayahnya akan dilakukan. Semua pekerjaan kantor yang seharusnya dikerjakan hingga sore, ia selesaikan dengan cepat. Ia tidak mau kerjaan hari itu bertumpuk sampai besok. “Wah, udah selesai aja nih kerjaanmu. Tumben?” ujar salah satu temannya. “Iya, aku mau pulang lebih awal.” Jawab jelita. “Loh, kenapa?” “Hari ini jadwal ayahku kemoterapi, jadi aku harus mendampinginya.” Jawabnya. “Oh, semoga ayahmu cepat sembuh ya.” “Terima kasih,” Setelah mendapatkan izin dari kepala ruangannya, Jelita berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai motornya. Tanpa menyadari sebuah mobil mewah mengikutinya diam-diam. Wanita berkaca mata hitam itu terus mengawasi jelita dari dalam mobil. Ia lalu menelpon seseorang. “Apakah data-data yang kau kirim tentang gadis itu sudah lengkap?” ucapnya lewat sambungan telepon. “Sudah nyonya,” jawab seseorang di seberang sana. Wanita itu mematikan sambungan telepon dan terus mengikuti jelita hingga tiba di rumah sakit. Jelita memarkirkan motornya lalu bergegas masuk. Jelita berjalan menuju ruangan ayahnya di rawat, terlihat dua orang perawat sudah mempersiapkan segala sesuatunya di dalam sana. Jelita menghampiri ayahnya yang sudah siap di beri suntikan obat. “Ayah harus kuat , tidak boleh banyak pikiran. Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Jelita menyemangati sang ayah. Ayahnya hanya tersenyum dan mengangguk. “Iya sayang, ayah harus kuat demi dirimu, kan?” ujar sang ayah. Jelita mengangguk. Bulir air mata tiba-tiba saja jatuh, buru-buru Jelita menghapusnya. “Ayah pasti kuat. Aku sayang ayah,” ucap Jelita. Kedua perawat itu menghampiri ayah Jelita. “Pak Yadi, sudah waktunya memasukkan obatnya. Kami periksa dulu kondisinya sekali lagi Pak, ya?” ucap salah seorang perawat itu. Jelita menggeser tubuhnya ke samping, memberi ruang untuk kedua perawat itu untuk memeriksa ayahnya. Setelah semuanya siap, perawat itu pun mulai menyuntikkan obat kemoterapi ke dalam selang infus ayah Jelita. Semua proses itu Jelita saksikan dengan perasaan sedih. Ia sudah banyak membaca tentang dampak yang akan di derita pasien setelah pemberian obat tersebut dan mengingat itu semua, hati jelita sedikit tidak tenang. Namun, ia tidak punya pilihan lain, ia ingin hidup ayahnya lebih lama. Jelita bahkan rela mengorbankan apa pun untuk kesehatan ayahnya . Setelah beberapa saat, proses penyuntikan selesai. Ayah jelita tampak baik-baik saja awalnya. Akan tetapi beberapa saat setelah pemberian obat, pak Yadi mulai merasakan gejalanya. Perawat sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi sehingga pada saat ayah jelita mengeluh sakit , perawat itu dengan cekatan memberikan penanganan sehingga bisa mengurangi reaksi yang terasa dari pemberian obat. Air mata jelita tidak berhenti mengalir melihat ayahnya merasa tidak nyaman. Ia hanya bisa menggenggam tangan ayahnya dan mengelus di bagian-bagian tubuh ayahnya yang terasa kurang nyaman. Andai penyakit ayahnya berpindah padanya saja, ia tidak perlu melihat penderitaan ayahnya seperti ini. “Ayah yang sabar ya, semuanya pasti akan berlalu. Ayah pasti akan sehat seperti sedia kala,” ucapnya mencoba terus menyemangati ayahnya. “Oh iya mbak, setelah 2 minggu. Bapak harus diberi suntikan lagi, pemberian obat harus sesuai dengan jadwal yang sudah di tentukan oleh dokter, jadi tidak boleh terlambat. Pak Yadi akan tertidur setelah ini, kalau begitu kami permisi dulu,” ucap perawat itu lalu meninggalkan ruangan. Jelita kembali menatap ayahnya dengan tatapan sendu, pria yang terbaring lemah di hadapannya ini terlihat jauh lebih tua dari umurnya karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya . Andai ayahnya masih sehat, andai cobaan yang menimpa mereka cepat berlalu. Pikiran Jelita melayang sampai akhirnya ia tertidur. Wanita yang sejak tadi mengikutinya itu masih mengintip dari balik kaca jendela ruangan perawatan pak Yadi. Selama proses Kemoterapi tadi, ia menyaksikan semuanya. Menatap ke arah Jelita yang sedang tertidur di samping ayahnya. Bibirnya tersungging senyum misterius lalu meninggalkan tempat itu. Beberapa hari berlalu, Jelita sudah kembali bekerja. Ia tampak sibuk dengan kegiatannya sehari penuh di dua tempat. Pagi hingga sore ia bekerja di perusahaan dan setelahnya ia harus berada di sebuah swalayan besar menjadi kasir di sana hingga malam hari. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan tekun untuk mendapatkan uang demi ayahnya. Akan tetapi, waktu 2 minggu itu sangat singkat untuk mengumpulkan uang biaya pengobatan ke dua ayahnya. Di mana lagi ia harus mencari dana untuk pengobatan? Ia sudah mengambil gajinya selama beberapa bulan di swalayan tempatnya bekerja, dan ia juga sudah pernah meminjam uang di perusahaan tempatnya bekerja. Ia tidak ada keberanian lagi untuk meminta pada pihak kantor untuk meminjamkannya uang. Apa yang ia harus lakukan sekarang? Ia tertunduk memikirkan bagaimana lagi ia harus mendapatkan uang itu. Ini benar-benar sangat berat untuk ia pikul sendiri. Kenapa Tuhan memberinya ujian seperti ini untuknya? hatinya mulai mengeluh dengan kehidupannya. Keningnya berkerut melihat sepasang sepatu cantik dengan kaki jenjang ada di hadapannya. Jelita mengangkat wajahnya untuk melihat pemilik kaki itu. ia langsung terlonjak kaget karena ternyata wanita yang ada di hadapannya adalah istri dari CEO tempat ia bekerja. Buru-buru Jelita berdiri dan membungkuk hormat. “Ah, selamat siang , Bu,” sapanya dengan canggung. Jelita merasa sedikit gugup melihat wanita cantik dan hebat ini berada di hadapannya. “Oh, santai saja, jangan tegang begitu, Jelita. Namamu Jelita, kan?” ucap Jovanka. Senyumnya tersungging, ia menatap gadis cantik dan lugu yang ada di hadapannya ini. Ia merasa pencariannya sudah berakhir. Dengan informasi yang ia peroleh tentang gadis ini, Jovanka yakin jika wanita yang akan mengandung anak dari suaminya kelak sudah di temukan. “I…iya, Bu.” Jelita menunduk. “Apa bisa kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan serius,” tanya Jovanka. “Boleh, Bu,” Jawab Jelita, ia merasa was-was. Kenapa istri bosnya itu tiba-tiba ingin berbicara hal serius dengannya. Apakah ini menyangkut pekerjaannya di kantor? Tapi ia merasa tidak pernah melakukan kesalahan apapun. “Terima kasih, kalau begitu ayo ikut aku ke mobil,” ajak Jova lalu berjalan menuju parkiran. Sedangkan Jelita mengikutinya sambil bertanya-tanya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD