Aroma laut menjejali rongga hidung Danisa tiga kali lebih kencang dibanding sebelumnya, berasal dari tubuh laki-laki berkacamata hitam yang duduk di hadapan Kristo.
"Hallo Pak Adrian, saya Danisa. Apa khabar?" Danisa langsung mengulurkan tangannya, mengajak Adrian kenalan lebih dulu sebelum ia ikut duduk bersama mereka. Senyum hangat terus tersungging di wajahnya. Sesekali ia merapikan rambut yang tertiup angin.
Laki-laki itu menyambut uluran tangannya, melepas kacamata hitamnya, menyampirkannya di atas kepala. "Boleh hilangkan kata 'Pak', supaya lebih akrab?" Dia mengedipkan sebelah matanya.
"Ehm!" Kristo menyela tiba-tiba, kedua orang yang masih berjabat tangan itu sontak menengok ke arahnya."Too fast, Yan, too fast," ujarnya tertawa.
"The faster the better. Benar, Danisa?" Adrian kembali mengedipkan matanya.
Danisa yang semula terkejut dengan sikap Adrian—terlalu ramah menuju genit—berhasil menguasai dirinya. Kata-kata Kristo yang ditujukan untuk Adrian tadi memberikan isyarat, pembawaan laki-laki berpostur tegap dan kekar itu senang menggoda lawan jenisnya.
"Baik Pak, eh maksud saya, Adrian. Kalau Kristo memanggil anda demikian, saya ikut saja." Danisa menarik tangannya, namun di ujung jemarinya dia merasa Adrian masih menahannya agar tak lepas dari genggaman laki-laki itu.
Kristo segera memandu pembicaraan mereka, sesuai kebutuhan proyek memerlukan tenaga kerja tambahan yang dikontrak dalam.batas waktu sepanjang proyek dilaksanakan. Adrian mengajukan tiga orang stafnya, dua arsitek junior dan satu orang drafter guna membantu kebutuhan Danisa mengakomodir pekerjaan di lapangan. Sesekali dia mengedipkan matanya ke arah Danisa, membuat perempuan itu merasa jengah.
"Kalau tiga orang belum cukup support Danisa, aku bersedia lho, membantu. Jelek-jelek gini juga lulusan sipil. Walau IPK mepet, tapi masih bisa kalau disuruh buat gambar detail pondasi," candanya.
Melihat gelagat Danisa yang tidak nyaman terus menerus digoda Adrian, Kristo berusaha membuat perlindungan dengan caranya sendiri. "Masih ingat caranya gambar, Yan?" ejeknya.
Di dunia ini, ada orang-orang, laki-laki atau perempuan, yang ditakdirkan senang menggoda. Sudah bawaan lahir, mungkin juga diwariskan secara genetika. Orang-orang seperti ini gemar menggoda siapa saja yang ada di dekat mereka. Bila bertemu dengan salah satunya, tidak perlu membawa perasaan hingga ke dalam hati. Bisa-bisa bikin sakit hati. Mereka tidak memiliki perhatian khusus, tertarik secara fisik atau emosi, dengan lawan jenis yang digodanya. Mereka menggoda karena senang menggoda. Tidak lebih dari itu. Dan menurut pengamatan Danisa, setelah lebih dari tiga puluh menit mereka ngobrol, Adrian termasuk dalam kelompok itu.
Gawai Danisa bergetar. Dia melihat notifikasinya, pesan dari Kristo.
Ngapain Kristo kirim pesan segala? Apa ada yang tidak mau dia sampaikan di depan Adrian? Danisa bertanya-tanya dalam hatinya. Dengan heran dibukanya pesan itu.
Kristo : [Rileks. Dia memang Don Juan.]
Danisa : [Sip!]
Nah kan, benar apa yang tadi aku pikirkan. Nggak perlu bawa perasaan. Ikuti aja permaianan Adrian.
Tibalah mereka di ujung pembicaraan pekerjaan. Adrian akan mengatur keberangkatan calon anggota tim perancangan, maksimal hingga empat minggu dari sekarang. Sebenarnya Danisa berpendapat itu terlalu lama, mengingat informasi yang didapat Kristo tadi pagi, akan ada perubahan besar terkait izin bangunan yang masih tertahan. Kelengkapan gambar The Premier pun belum komplit. Pihak owner yang ingin segera mewujudkan fisik The Premier, sehingga bisa dibilang, proyek itu mirip dengan pekerjaan Badung Bondowoso. Gambar perancangan dan gambar kerja masih berjalan alias gambar hidup, sementara pekerjaan lapangan harus langsung dimulai, atas tekanan pihak owner. Idealnya memang, semua gambar sudah komplit selesai dibuat oleh tim perancangan, baru pekerjaan lapangan dijalankan.
"Wine di sini enak, lho. Sudah pernah coba? tanya Adrian pada Danisa tiba-tiba.
Danisa mengubah posisi duduknya, agak mundur ke belakang kursi, telapak tangannya tegak menghadap Adrian. "I don't drink. Maaf," jawabnya.
Kristo tersenyum bangga melirik Danisa. Sahabatnya itu sudah kembali ke jati dirinya semula. Tidak lagi merasa terganggu dengan godaan yang terus dilancarkan Don Juan versi Indonesia itu. "Dia bersih, Yan. No alcohol, no smoke. Anak baik-baik sejak zaman dulu kala."
"Lho, kalian teman lama? Atau—" Kalimat Adrian menggantung di udara, tatapannya berpindah-pindah dari Danisa ke Kristo dan kembali lagi ke Danisa. Menelisik lebih jauh, mencari tahu tentang hubungan keduanya.
"No, we're just old friends," tampik Danisa dan Kristo bersamaan, sebelum keduanya tertawa kecil dan saling melempar pandang satu dengan lainnya.
"Ah, thanks God! Berarti masih ada kesempatan buatku.Yes!" Adrian bersorak sambil mengepalkan telapak tangannya.
"Kesempatan buat apa?" tanya Kristo ingin tahu.
"Kamu, Kris, mau tau aja!" tukasnya bergaya sombong, ingin menyimpan rahasianya sendiri.
"Tapi benar lho, Danisa. Wine di sini enak, recommended. Apa lagi kalau minumnya sambil lihat sunset, lebih nikmat. Dijamin!"
Gerak tubuh Danisa kembali menunjukkan isyarat tidak nyaman dengan lawan bicaranya. Ia berulang kali mengubah posisi duduk, merapikan rambut, mengambil ponsel lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Kristo menangkap setiap detail gerakannya.
"Jadi kita lanjutin di sini sampai sunset, Sa?" celetuk Kristo, berusaha menenangkan Danisa dengan ikut terlibat dalam permainan Adrian.
"No! Jangan sekarang," tampik Adrian.
"Kalau besok-besok, nggak mungkin dia kesini sendirian," kata Kristo.
"Nggak sendiri, kan sama aku." Adrian dengan tenang melirik ke arah Danisa yang semakin merasa tidak nyaman. Lelaki itu justru semakin larut menggoda Danisa. Menyesap minumannya hingga tandas lalu menarik masuk asap nikotin terakhir sebelum membuang puntungnya ke dalam asbak.
"Masalahnya, Yan." Kristo masih berusaha membatasi serangan Adrian pada Danisa. "Aku dan Danisa ini seperti lem epoxy, dua komponen yang harus jadi satu paket. Di mana ada dia, pasti ada aku. Tidak bisa pilih salah satu," lanjutnya menyeringai.
"Dasar tukang bangunan! Masa orang cantik begini disamain dengan perekat!" Sontak ketiganya tertawa, Danisa mulai mengendurkan posisi duduknya yang kaku.
"Karena saya tidak minum, bagaimana kalau Kris saja yang temani minum wine sambil menikmati sunset nanti. Saya pulang sendiri juga nggak apa-apa, kok." Danisa memberanikan diri berbicara. Dia memutuskan untuk melindungi dirinya sendiri dan berusaha untuk tidak terpengaruh lagi dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan Adrian.
Adrian menyeringai, "masa jeruk minum jeruk!"
"Bukannya di Bali sudah biasa yang seperti itu?" Danisa ganti menggoda Adrian.
"Ah, itu cuma sebagian kecil. Selama masih ada wanita cantik seperti kamu, ngapain ngelirik jeruk. Ya, kan?"
"Aku juga nggak mau nemenin kamu lho, mas. Kamu bayarannya kurang banyak." Kristo berlagak sissy, gemulai, gaya dan nada suaranya.
"Ih, ampun, Kris! Merinding aku dengernya!" Adrian bergidik, upaya Kristo membuahkan hasil. Melihat kedua orang itu sedang melakukan gencatan senjata, Danisa mengambil alih untuk memutar topik pembicaraan.
"Kamu meeting dengan Bu Merry jam berapa, Kris?" Danisa mengajukan pertanyaan tanpa pikir panjang, hanya itu yang terlintas di benaknya.
Awalnya Kristo tidak mengerti maksud pertanyaan Danisa, dia menjawab dengan mengulangi pertanyaan tadi. "Bu Merry?" Alisnya bertaut, menyiratkan kebingungan, hingga kaki Danisa harus menyepak pelan ke tungkai Kristo yang berada di dekatnya. Barulah sahabatnya itu bisa mengerti.
"Oh, Bu Merry! Sekitar, ehm, empat puluhan menit lagi. Aku tadi bilang ke dia, kita sampai kantor sekitar jam enam sore." Kristo pura-pura mengamati arloji Swiss Army di pergelangan kirinya. "Sepertinya kita harus tunda acara wine partynya, Yan. Next time will be better," lanjutnya melirik ke Adrian. Mengambil ponsel dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja, lalu mengulurkan tangan pada Adrian.
"Oke, oke, aku juga masih ada janji lain," ucap Adrian menyambut uluran tangan Kristo, kemudian berganti pada Danisa. Mereka berpisah di pintu keluar Echo.
Berjalan menuju tempat parkir, Kristo merangkul bahu Danisa. "Siapkan dirimu, akan bertemu yang seperti Adrian lebih banyak lagi. Dari berbagai level, dari berbagai posisi. Nggak selamanya ada aku yang back up kamu. Harus dihadapi sendiri," ucap Kristo berusaha meneguhkan keyakinan dan kepercayaan diri Danisa.
Perempuan itu mengigit bibirnya, getir melihat kenyataan yang akan dihadapinya. Bekerja di proyek tidak hanya membawa beban pekerjaan saja, ada beban lain yang harus ditanggungnya. Dan semua itu akan menjadi makanan sehari-hari. Sampai tidak lagi merasakan, atau bisa membedakan, emosi apa yang sesungguhnya hadir di hati.
*****