Danisa's Insistence
"Kris, gimana soal pengajuanku kemarin? Di-acc, kan?" Danisa menyeruak masuk ke ruang kerja Kristo, atasan sekaligus sahabatnya.
"Pengajuan yang mana sih, Sa? Aku masih ngurusin proyek Palu, nih. Pusing, banyak tagihan!" jawab Kristo sambil menutup speaker ponsel dengan tangannya. Rupanya Kristo sedang menelepon Site Manager yang bertugas di proyek mall di Palu.
Danisa tidak peduli dengan jawaban Kristo. Dia nekat masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi depan meja kerja atasannya itu. "Kamu terusin teleponnya dulu. Baru setelah itu ngomong lagi sama aku," ujarnya.
Kristo hanya mengelus d**a melihat kelakuan sahabatnya itu. Dia sudah biasa dengan tingkah ajaib Danisa. Pasti sedang PMS, gerutu Kristo dalam hati.
Sebenarnya, Kristo adalah sahabat Ryan, mendiang suami Danisa. Ryan meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan tunggal. Mereka sedang berada di Bali, tepatnya di kawasan Jimbaran, membangun sebuah kompleks hotel dan resort mewah berbintang lima. Pekerjaan sedang berada di minggu-minggu terpadat dalam jadwal kerja konstruksi. Pulang menjelang pagi sudah menjadi santapan sehari-hari. Pada saat hari yang naas itu, Ryan meninggalkan lokasi proyek setelah lewat tengah malam. Motor Ninja Kawasaki yang dikendarai Ryan melaju kencang menembus jalan-jalan gelap menuju daerah Pecatu, tempat kosnya berada. Namun Ryan tidak pernah sampai di tujuan, di dekat kampus Udayana, motornya menabrak sebuah pohon besar di bahu jalan. Tubuh Ryan terpelanting jauh, dan sudah dinyatakan meninggal pada saat tiba di Rumah Sakit Kasih Ibu. Sedangkan motornya hanya tergores sedikit saja di bagian depan.
Kristo dan Ryan adalah arsitek senior di perusahaan Putra Mandiri Konstruksi milik James, kakak tingkat sewaktu mereka kuliah dulu. Keduanya adalah orang kepercayaan James. Banyak yang iri dengan mereka berdua, tapi sebenarnya, James memberi tekanan pekerjaan dan tanggung jawab lebih untuk keduanya, dibandingkan staf lain di perusahaan itu.
Danisa hanya bisa terkulai lemas ketika jenazah suaminya tiba di Jakarta. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata ketika orang lain justru menangis, meratapi kepergian suaminya yang begitu mendadak. Bagi Danisa, tugas besar di hadapannya membuatnya tidak bisa menangis. Bocah laki-laki yang berusia 5 tahun, memaksanya untuk tetap tegar, tersenyum menyalami para pelayat, menghibur orang tua dan mertua, serta menjawab segudang pertanyaan dari buah hatinya tentang kepergian mendadak sang ayah.
Sepulang memakamkan suaminya, otak Danisa langsung berputar. Ia mengecek saldo tabungan yang hanya tersisa sedikit saja. Gaji Ryan memang banyak dikeluarkan untuk cicilan rumah dan mobil. Belum lagi untuk biaya pendidikan Atalla, putra semata wayang yang memang bersekolah di sekolah swasta elit. Diambilnya polis asuransi, uang pertanggungan pun tentu tidak akan mampu menanggung kebutuhan hidup sampai si anak dewasa. Ia menyesali keputusan mendiang suaminya, dulu Ryan memaksanya berhenti bekerja. Ketika itu ia memaklumi, pekerjaan Ryan yang lebih sering berada di luar daerah selama berbulan-bulan, tidak ingin buah hati mereka terlantar dan hanya diasuh asisten rumah tangga, bila Danisa masih bekerja di kantor. Siapa yang sangka kalau Ryan pergi secepat itu?
Dua hari kemudian, Danisa menelepon Kristo. Ia ingin menggantikan posisi suaminya di perusahaan.
"Tolong aku, Kris. Aku harus kembali bekerja. Ada seorang anak yang harus kuberi makan," bujuk Danisa kala itu.
"Aku nggak bisa janji, Sa. Kamu tahu kan, Ryan yang menginginkan kamu di rumah mengurus Atalla?"
"Itu dulu, Kris. Sekarang kondisi berubah. Aku nggak mungkin ngemis sama orang tua atau mertuaku. Aku masih mampu bekerja menghidupi anakku. Please, Kris!"
Kalau Danisa sudah mendesaknya seperti itu, Kristo tidak bisa mengelak lagi. Danisa sudah seperti pengganti Ryan di mata Kristo. Ia bahkan sudah kenal Danisa sejak masih pacaran dengan sahabatnya itu. Walaupun mereka berbeda kampus dan kantor saat bekerja, Danisa juga seorang sarjana arsitektur. Jadi obrolan mereka selalu nyambung. Danisa juga mudah bergaul dengan siapa saja. Semua rekan-rekan di kantor mengenalnya. Dalam keadaan berduka seperti ini, hati Kristo tergerak untuk menolong Danisa. Semoga saja istri sahabatnya itu bisa menggantikan posisi suaminya di kantor.
"Aku usahakan bicara dengan Big Boss, ya," kata Kristo akhirnya menyerah pada desakan Danisa.
"Makasih, Kris. Makasih banget. Aku nggak akan lupa sama bantuan kamu ini," sorak Danisa senang.
"Jangan bilang makasih dulu. Aku kan, belum menghadap Big Boss. Semua tergantung keputusan beliau. Kamu tahu sendiri Pak James orangnya seperti apa."
"Oke, oke. Apa pun hasilnya nanti, aku tetap bilang terima kasih sama kamu. You are our best man, the one and only, Kris. Salam ya, buat Sandra dan Tian."
Kristo menutup teleponnya. Tak terasa, sudah dua tahun Danisa bekerja di kantor PMK, namun tidak benar-benar menggantikan posisi mendiang suaminya. Dengan alasan anak yang hanya memiliki orang tua tunggal, Pak James tidak pernah mengizinkan Danisa turun ke lapangan. Apalagi bila proyek berada di luar Jakarta.
Danisa menjalankan tugas sebagai Supporting Architect, membantu proses perancangan, memroduksi gambar kerja, dan tampilan tiga dimensi, memilih spesifikasi bahan dan material yang akan digunakan, dan melakukan asistensi dengan tim proyek. Sedangkan hasil kerja keseluruhan akan dipresentasikan di depan klien oleh Head Architect. Semua kebutuhan pekerjaan sebelum memulai desain, seperti survey lokasi, perhitungan hasil ukuran dan denah tapak, perhitungan anggran biaya, hingga izin-izin pelaksanaan proyek, dilakukan staf lainnya di Divisi Teknik, yang kesemuanya adalah laki-laki. Begitu pula ketika proyek mulai dikerjakan di lapangan, hanya staf laki-laki dan satu perempuan pemegang keuangan yang berada di lokasi.
Bisa dibilang, Danisa mendapat tempat istimewa di hati Pak James. Hasil kerjanya yang cepat dan terorganisir, selalu mendapat tanggapan baik dari klien. Sehingga Pak James benar-benar memerhatikan kebutuhannya sebagai orang tua tunggal sekaligus aset perusahaan. Seringkali Danisa mendapatkan libur tambahan atau diizinkan bekerja dari rumah bila anaknya sakit.
Kini Kristo kembali berhadapan dengan keinginan kuat Danisa. Bila dulu dia cepat menyerah, itu karena murni ingin membantu Danisa menghidupi buah hatinya. Tapi sekarang, Danisa kembali mendesaknya. Menurut Kristo, keinginannya kali ini sangat tidak masuk akal.
Memang apa sih kurangnya bekerja di dalam kantor? batin Kristo.
Ia tak habis pikir dengan keinginan Danisa. Di saat banyak staf lainnya, bahkan di luar Divisi Teknik iri dengan segala fasilitas yang didapatnya dari Pak James, ia malah ingin meninggalkan kehidupan kantor yang nyaman.
"Kris, jangan diam saja dong." Danisa kembali membuka percakapan setelah lama menunggu Kristo bicara.
"Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"
"Yakin, Kris. Yakiiin banget. Please ya, tolong bantu aku sekali ini lagi?" Wajah Danisa kembali mengiba. Kalau sudah begitu, Kristo tidak bisa tahan lagi. Seberat apapun itu, dia berusaha membantu istri sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri.
"Aku coba bicarakan—"
"Yay! Makasiiiihh banget, Kris! Makasiiiih!" potong Danisa.
"Kebiasaan deh! Orang belum seleaai bicara sudah dipotong duluan."
"Aku tahu kamu mau bilang nggak janji, kan? Nggak apa-apa, Kristo yang ganteng dan baik hati. Yang penting buat aku, kamu mau coba ngomong sama Big Boss, itu sudah sangat berarti. Jadi sudah sewajarnya aku bilang makasih."
"Hu uh! Lagian kenapa sih kamu nggak ngomong saja sendiri? Senengannya ngerepotin aku!" sungut Kristo pura-pura kesal.
"Yah, kan, aku nggak mau ngelangkahin kamu, Kris. Biar gimana juga, kamu atasanku, kan?" Danisa mengerling. "Kalau Pak James acc, aku bakal traktir kamu di Cold Stone, deh!"
"Astaga! Aku udah capek-capek ngomong sama Pak James, masa cuma dapet es krim doang?"
"Iya, iya. Nanti tambah makan juga. Ribet ah, punya teman matre kaya kamu," ucap Danisa sambil berjalan keluar dari ruangan Kristo.
Kristo menyeringai, mengantar Danisa sampai di pintu, lalu menutupnya. Dia tak yakin bisa membantu Danisa kali ini. Namun begitu, dia tetap akan mencobanya. Besok sore Pak James punya jadwal kosong di kantor. Kristo akan memanfaatkan waktu itu untuk bicara mengenai keinginan Danisa.
*****