Berjarak sekitar dua rumah sebelum mencapai rumah kosnya, Danisa mencium bau amis yang begitu menyengat. Bau itu semakin santer, hingga terpaksa menutup hidungnya dengan lembaran tissue. Tiba di depan gerbang rumah kos, Danisa kembali tercengang. Sekitar sepuluh orang dewasa atau lebih, laki-laki dan perempuan, berada di halaman rumah kos. Mereka ramai bercakap-cakap, saling melempar canda, tertawa kencang. Masing-masing orang memegang aneka macam bahan makanan yang masih mentah, digelar di lantai halaman.
Menyaksikan pemandangan rumah kos berubah menjadi pasar, Danisa diam berdiri di pintu pagar, terpaku kaku, hatinya mencelos, berharap tadi tak pernah punya pikiran untuk pulang sekedar mandi dan berganti pakaian.
Biar mandi kembang juga percuma, kena aroma amis seperti ini. Pasti nempel ke badan, dari ujung rambut sampai ujung jempolku.
"Eh, Mbak Nisa sudah pulang!" Bu Hajjah berteriak dari teras, menyapanya. "Lewat aja, Mbak. Nggak apa-apa kok!"
Danisa masih diam, bergeming bagai patung.
"Ida! Kasih jalan dulu biar Mbak Nisa bisa lewat!" perintah Bu Hajjah ke salah satu orang. Perempuan yang dipanggil Ida, sedang membersihkan isi perut seekor ikan yang besarnya mungkin lebih dari empat puluh sentimeter, berdiri, memberi jalan agar Danisa bisa lewat.
"Silakan, Mbak, langkahi saja yang di sini. Nggak apa-apa kok," ujarnya ramah.
Dengan terpaksa Danisa menuruti petunjuk arah yang diberikan. Berjingkat mengatur langkah, memilih area yang tidak terlalu becek atau terkena aliran darah dari ikan, daging sapi, ayam, yang mereka bersihkan sebelum dimasak.
"Mau ada hajatan ya, Bu?" Danisa berbasa-basi pada ibu pemilik kos.
"Iya!" seru Bu Hajjah riang, matanya menunjukkan hatinya sedang bahagia. "Shakira dilamar dokter! Besok sore keluarga besan datang."
Mata Danisa membelalak sekali lagi. Hah? Anak angkat ibu kos mau lamaran? Kan, masih kecil! batinnya.
"Shakira, Bu? Atau kakaknya?"
Bu Hajjah tertawa, lalu mendekati Danisa yang kini sudah tiba di anak tangga pertama. "Shakira, benar, Mbak! Mas-masnya kan, sudah nikah. Kalau Ghifari memang belum, masih mau bebas berlayar dulu, katanya," kata ibu kos menceritakan anak ketiganya, anak kandung bungsu.
"Tapi Shakira kan, masih kecil, Bu?" tanya Danisa terus terang. Dalam pikirannya, hal seperti ini mungkin memang sudah adat tradisi daerah tertentu, namun biasanya dijalani oleh masyarakat yang masih tinggal di kampung halamannya, bukan yang sudah merantau.
"Sudah baligh dia, sudah besar. Sikapnya saja yang masih kekanak-kanakan."
Jelas aja, memang masih kecil!
"Maklum, Mbak, anak perempuan sendiri, paling kecil, dimanja sama kakak-kakaknya," ujar Bu Hajjah tersenyum bangga.
"Yang melamar pacarnya Shakira atau, eh maaf, Bu, kok saya jadi terlalu ingin tahu." Sedikit menyesali ucapannya yang langsung dia ralat. Keingintahuan yang berlebihan terkadang memang tidak bisa ditahan. Sifat alami yang mendominasi kaum perempuan, tak terkecuali Danisa. Pun biasanya, dia tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang tidak ada hubungan dengan dirinya, tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam hidupnya.
"Manalah ngerti pacaran anak itu. Mbak kan tau, dia masih senang main sepeda, main layangan sama anak-anak di sini."
"Maaf, Bu. Heran saja, kok tiba-tiba mau lamaran."
"Hanya lamaran saja, nggak langsung nikah. Calonnya kerabat jauh mertua Alfian—anak ibu yang barep. Nah, Mufida—si Ida yang di sana tadi, itu istrinya Alfian."
Danisa manggut-manggut, menjawab dengan 'o' panjang. "Dijodohkan berarti ya, Bu? Shakira mau?" Rasa penasaran masih belum terpuaskan juga.
"Nurut sekali anak itu, alhamdulillah. Rezeki saya terus mengalir sejak ambil dia waktu bayi umur seminggu. Kasihan orang tuanya, banyak anak. Nanti malam orang tua kandungnya juga datang. Senang mereka, dapat calon mantu dokter. Ah, tugas saya jadi lebih ringan, Mbak."
"Maksud ibu?"
"Besarin anak perempuan kan, nggak gampang. Apa lagi di zaman seperti sekarang ini. Ngeri saya kalau dengar berita-berita. Nah, kalau Shakira sudah dilamar jadi ada yang bantu jagain dia. Ya, kan?"
Danisa manggut-manggut, masih ada pikiran yang mengganggunya.
"Usia calonnya jauh di atas Shakira, Bu?" Kening Danisa berkerut, menyesal memilih kalimat yang salah untuk diucapkan. Hal-hal tentang perbedaan usia biasanya membuat orang tersinggung. Sudah banyak orang yang melakukan pernikahan dengan rentang usia jauh dengan pasangannya, bahkan sejak zaman dahulu. Tapi, walaupun zaman telah berubah dan berkembang, topik seperti ini selalu dijadikan bahan obrolan yang kurang mengenakkan, terutama di Indonesia. Menjadi santapan gosip berbulan-bulan, dan terus-menerus diungkit.
"Nggak terlalu jauh kok, Shakira pesan ke saya, nggak mau yang terlalu tua." Bu Hajjah tertawa. "Masih jadi koas, Mbak. Alhamdulillah anaknya sholeh, rajin ibadahnya, nurut juga sama orang tua. Sewaktu dikasih foto Shakira, dia langsung mau. Ah, banyak berkah buat kami."
"Jodoh berarti ya, Bu. Semoga lancar sampai ke pernikahan. Kapan rencananya, Bu?"
"Nikah? Nanti saja kalau sudah lulus SMA. Biar Shakira siap mental lahir batin. Sekarang ini kami fokus mendidik dia supaya jadi istri yang baik buat calon suaminya."
"Oh, begitu." Danisa tersenyum, mulai memahami tradisi yang mengikat berbeda di tiap suku. Dia sendiri merasa bersyukur, lahir, besar, dan tinggal di Jakarta. Tempat berbagai macam suku bercampur membaur. Orangtuanya sendiri berasal dari suku yang berbeda, dan bersepakat untuk tidak mendominasi keluarga dengan tradisi masing-masing. Ayah ibunya memilih budaya-budaya nasional yang mereka terapkan di rumah, dan bercampur pemahaman western untuk beberapa hal tertentu, karena kedua orangtuanya dulu lama bersekolah dan menetap di Belanda.
"Besok Mbak Nisa libur? Ikut saksikan acara lamaran Shakira, ya?"
"Baik, Bu. Besok saya kerja, tapi bisa minta izin pulang cepat, kok. Belum terlalu padat urusan di kantor."
"Nah, bagus kalau begitu!" ucap Bu Hajjah senang undangannya diterima baik oleh Danisa.
Danisa kemudian pamit ke kamarnya. Bau amis masih menguasai udara di sekitar rumah kos, menguar masuk ke kamarnya. Disemprotnya pengharum ruangan beberapa kali, menyalakan pendingin ruangan, membuka pintu dan jendela lebar-lebar. Diambilnya ponsel dari dalam tas, melakukan panggilan untuk Kristo.
"Kris, harus jam delapan ya?"
"Apanya, Sa?" tanya Kristo di ujung telepon, tidak paham maksud pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Danisa.
"Jemput aku."
"Mau sekarang? Memang sudah mandi?"
"Belum sih, cuma jangan kemalaman deh."
"Jam delapan sih, masih sore, Sa!"
"Aku mau cari kos, Kris. Kalau terlalu malam kan, nggak enak."
"Lho, kok cari kos? Kamu nggak betah di sana?"
"Kaya pasar malam di sini. Sekarang malah berubah jadi pasar ikan," keluh perempuan itu sambil mengikat rambutnya membentuk ekor kuda.
Mendengar keluhan sahabatnya membuat Kristo tertawa terbahak-bahak.
"Yah, malah diketawain!" tukas Danisa kesal.
"Besok aja cari kosnya. Kalau malam ini sudah nggak betah banget, mau langsung keluar dari situ, kamu nginap di hotel aja. Di sepanjang Poppies banyak yang low budget tuh!"
"Ya nggak langsung malam ini pindah, tapi mau secepatnya. Lagian, kalau mau nginap di hotel ada banyak pilihan budget hotel yang lebih baik kali, Kris. Nggak mau aku kalau di Poppies. Bisa-bisa aku diterkam sama buaya darat yang keliaran di sana!"
Kristo kembali tertawa. "Sudah gih, mandi dulu. Aku masih harus kirim email. Hang in there a while, okay?"
Danisa mengerucutkan mulutnya, "hu um. Jangan lama-lama, ya!"
"Siap, Juragan!"
Dilemparnya ponsel ke kasur, Danisa mengambil kapas dan cairan pembersih untuk menghapus sisa make up tadi pagi. Kemudian dia mandi dan berganti pakaian secapat kilat. Lalu kembali menghubungi Kristo, kali ini hanya meninggalkan pesan saja.
Danisa : [Ready to go. Hurry pick me up!]
Kristo : [Gimme 15 mins more]
*****