Siang hari, Danisa duduk sendirian di pinggir pantai. Menikmati angin laut yang menyapa lembab di kulit dan butiran pasir di sela jemari kaki. Gawai dalam pouchnya bergetar. Kristo menelepon. "Yup, Kris!" jawabnya.
"Di mana?"
"Legian."
"Wah, cepatnya kamu melesat. Ok, aku susul ke sana."
"Ok."
Semacet-macetnya wilayah Kuta, tidak seperti Jakarta. Hanya butuh kurang dari satu jam, Kristo yang semula berada di daerah Renon, kini sudah memarkirkan mobilnya di pelataran Legian. Matanya menyisir area pantai, mencari sosok Danisa. Ia meraih telepon genggamnya. "Di mana sih? Nggak kelihatan."
"Sebelah kanan gerbang ada deretan penjual minuman. Aku di salah satunya, baru aja ngabisin es kelapa."
"Ok, wait." Kristo bergegas menuju ke tempat yang ditunjukkan Danisa.
Perempuan itu melambaikan tangan agar sahabatnya dapat melihatnya. Masing-masing kios di sepanjang pantai membuat batas satu dengan lainnya dengan menggunakan lemari pendingin, payung-payung besar yang menaungi kursi-kirsi plastik, serta meja kayu panjang tempat penjaja meletakkan barang dagangannya.
"Minum, Kris?"
"Boleh!"
"Bu, satu lagi es kelapanya, ya!" pesan Danisa pada ibu penjaja. "Gimana urusan izin pembangunan?"
"Agak ribet, Sa. Sepertinya akan ada bagian yang harus direvisi. Aku nanti konsultasi dulu sama Pak James dan owner, mereka maunya gimana."
"Ok."
Ibu Penjaja menyuguhkan satu butir kelapa di hadapan Kristo. Aroma daging kelapa muda bercampur gula aren menguar ketika laki-laki itu mengaduk minumannya, bercampur dengan angin laut yang bertiup lembut. Ia menghirup dengan cepat. "Segar!" pekiknya. Danisa tersenyum.
"By the way, tamu yang kamu tunggu itu aneh banget orangnya. Siapa sih dia, Kris?"
"Aneh? Apanya yang aneh?"
"Ya, aneh aja. Dia bilang kamu ingkar sama perjanjian yang kalian buat. Perjanjian apa, Kris?" Danisa diam sejenak. "Kalau aku boleh tau?"
Kristo masih asyik menikmati minumannya. Ia memandang Danisa dengan sebelah alisnya terangkat. "Perjanjian?" Matanya menyipit, antara berusaha mengingat suatu hal atau tidak memahami maksud kalimat Danisa.
"Ibu itu bilangnya begitu. Kamu nggak—ehm—punya hubungan khusus sama perempuan lain, kan?"
"Apa sih aku semakin nggak ngerti?" Kristo membelalakkan mata sipitnya. "Kenapa semua orang hobi banget nuduh aku punya hubungan spesial sama perempuan. Apa tampangku seperti tukang selingkuh gitu?"
"Yah, aku juga nggak yakin... Karena kan, ibu itu sudah tua. Kalau kamu mau dan niat, pasti kamu cari yang masih kinyis-kinyis dong!"
"Ibu? Ibu siapa?" Kristo semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan Danisa.
"Itu, tamu yang kamu tunggu. Bu Merry."
"Bu Merry—Oh! Bukaaann...! Ngapain aku nungguin Bu Merry? Eh, dia datang ke kantor? Ngapain, Sa?"
Danisa membelalakkan matanya, mengetuk kening lawan bicaranya pelan, matanya mengisyaratkan kekesalan, obrolan sejak tadi tidak nyambung dengan Kristo. "Nyariin kamu, Kriiiss...! Haduuhh... ampun deh!"
Kristo mengusap-usap bekas jari Danisa, "untung pas nggak ada Sandra. Kalau dia lihat kamu barusan jitak aku, bisa-bisa dia praktekin di rumah tiap hari."
Danisa terpingkal mendengarnya. "Kris, Kris...! Ganteng-ganteng kok nasipmu apes terus!"
"Nggak apes sih sebetulnya. Cuma kalian aja hobi banget nyiksa aku. Di kantor, di rumah, sama aja!" Kristo mendengkus sebal. "Gimana body bisa six packs kalau gini caranya!" keluhnya lagi.
"Body six packs itu hasil latihan. Wong nggak pernah fitness kok pengen punya badan keren? Mana bisa?"
"Paling enggak agak berisi dikit lah! Kalau dihantam terus-terusan sama kalian, ya cungkring terus aku, Sa! Fitness tapi hati ngenes, kan, percuma juga."
Danisa tertawa pelan. Sebetulnya ia kasihan dengan Kristo. Pak James terlalu memberi beban pekerjaan berlebih di pundaknya. Terutama sejak kepergian Ryan, menyebabkan sahabatnya itu menjadi penerima delegasi tunggal dari pemilik Putra Mandiri Konstruksi yang terkenal garang. Pak James tidak mudah berbagi kepercayaannya pada karyawan lain. Kristo dan Ryan adalah dua orang yang nekat mendampinginya sejak usahanya mulai disahkan di hadapan notaris. Merintis dari hanya menerima klien dengan pekerjaan kecil dan sederhana, sebuah rumah kos. Hingga akhirnya maju dan berkembang seperti sekarang ini. Ratusan proyek telah berhasil ditangani, dan puluhan karyawan tergabung di perusahaan itu.
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama ibu itu, Sa. Gila apa?" Akhirnya Kristo melanjutkan percakapan di awal tadi.
"Lalu ngapain dia cari kamu, terus pakai acara ngomel-ngomel segala lagi."
"Waktu aku cari kontrakan, aku sempat tanya dia. Dia kasih harga mahalnya keterlaluan. Sudah gitu, rumah yang mau ditawarkan untuk kita sewa, ya rumah yang dia tempatin." Kristo kembali menyruput es kelapanya, menyisir rambut yang tertiup angin.
"Ceritanya dilanjutin aja, tapi nggak perlu tanganmu bolak-balik rapiin rambut!" protes Danisa.
"Berantakan, aku risih!"
"Lho justru kamu kelihatan cakep kalau rambutmu ke depan, jadi pakai poni seperti oppa-oppa Korea!"
"Haduh, Buu...! Gayamu sangar kayak Black Widow, tapi selera KDrama," canda Kristo.
"Bagus dong! Balance kan, hidupku. Aku ini tipe perempuan yang bisa menyesuaikan diri sesuai kondisi. Sudah ah, terusin si Bu Merry tadi!"
Bukan Danisa namanya kalau dia tidak berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Dia mendengarkan Kristo berbicara dengan penuh perhatian.
"Yah, intinya seperti itu, Sa. Nggak mungkin aku ambil rumah itu untuk kantor kita atau untuk tempat tinggal anak-anak tim. Suaminya sakit kan, aku paham dia butuh uang untuk perawatan. Tapi menempati rumah yang sama dengan pemilik, akan buat kita semua kesulitan beradaptasi. Kamu tau sendiri, anak-anak lapangan paling nggak bisa kalau disuruh nurunin volume suara mereka. Lagi pula, gimana kalau kita pulang tengah malam? Pasti bikin berisik, kan? Tidur mereka nanti terganggu, dan itu akan jadi masalah." Kristo menghabiskan minumannya, lalu mengambil dompet yang dia masukkan di saku belakang Levi's-nya. "Yuk, balik kantor!" ajaknya.
Danisa mengangguk, "Tapi kamu belum buat Surat Perjanjian Sewa Property dengan Bu Merry, kan?" Tangan Danisa memegang tangan sahabatnya itu, mencegahnya berdiri sebelum menjawab pertanyaannya.
"Jelas aja belum! aku nggak sebodoh itu!"
"Lalu kenapa dia mesti marah-marah?"
Kristo menggedikkan bahunya. Dia pun tidak punya jawabannya. Diulurkannya uang seratus ribuan pada ibu penjaja minuman, lalu menatap Danisa lekat-lekat. "Orang itu terlalu berharap tinggi. Jadinya seperti itu, Sa, kecewa berlebihan."
Danisa memasukkan ponselnya ke dalam pouch bermotif Chevron abu-abu putih. Lalu berjalan di sisi Kristo menuju parkiran. Kristo melingkarkan tangannya di pundak Danisa dari belakang. Siapa pun yang melihat gerak tubuh, tatapan mata, cara mereka bicara satu dengan lainnya, akan berpikir mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja di kantor, atau sahabat sejak kuliah. Namun keduanya memilih untuk menjaga hati masing-masing, menjaga perasaan pasangan, dan tetap menjalani peran sebagai sahabat. Hubungan yang dinilai janggal bagi orang lain. Pandangan secara umum, orang yang sudah menikah tidak lagi memiliki sahabat dekat lawan jenis, karena dianggap sebagai hal yang dapat menimbulkan riak dalam rumah tangga.
"Aku parkir di sana, Kris." Danisa menunjuk ke arah parkiran motor.
"Nggak apa-apa, tinggal aja. Nanti biar Iman yang ambil."
"Nggak bahaya ditinggal gitu aja?"
"Semoga nggak. Di sini jarang ada kasus pencurian motor, kok."
"Tapi kan, nggak gitu juga, Pak! Mancing-mancing pencuri dong, kalau kita sendiri teledor." Danisa membelalakkan matanya.
Dengan sabarnya Kristo menghadapi kebawelan Danisa. "Kita langsung ke kantor, kamu kasih kunci motor ke Iman supaya dia segera ambil. Lalu kita makan siang terus ikut aku ke Canggu."
"Okelah. You're the boss!"
Kristo membukakan pintu mobil untu Danisa sebelum dia membuka pintu sisi kemudi untuk dirinya sendiri. Melajukan kendaraan roda empat berjenis SUV itu dengan kecepatan sedang, meninggalkan area pantai dan menembus jalan raya Padma-Legian yang mulai padat menjelang tengah hari.
*****