Mood Danisa pagi ini agak rusak. Semalaman ia kurang tidur. Di halaman bawah terdengar suara ramai sekali, ia mengintip dari balik jendela. Banyak orang—laki-laki dan perempuan—berkumpul di sana semalam suntuk. Mereka ngobrol dan tertawa dengan suara kencang. Alhasil, kepala Danisa pening, pandangannya berkunang-kunang. Kesal, marah, lelah, bercampur aduk tanpa ada penyaluran.
Danisa memaksakan diri bangkit dari tempat tidur untuk mandi dan bersiap. Ia mengoles concealer yellow undertone keluaran NYX untuk menutupi lingkaran gelap yang biasa muncul di area matanya ketika ia kurang tidur. Kosmetik itu juga ampuh menyulap wajah Danisa selalu tampil segar di minggu-minggu pertama Ryan tiada. Tanda insomnia akibat trauma kehilangan suami secara mendadak sedikit teratasi.
Ia tiba di kantor dengan cepat, tidak sampai tiga menit berjalan kaki santai dari rumah kosnya.
"Pagi, Bu Danisa!" sapa Veto Sada, penjaga keamanan asal Kupang yang bertugas di malam hari.
"Lho, kok kamu belum pulang, Vet?"
"Pak Obed yang jaga pagi belum datang, Iman juga. Ibu kepagian datangnya," jawabnya nyengir, membuang puntung rokok lalu diinjaknya hingga hancur.
"Banyak yang harus saya kerjakan," jawabnya asal. "Jadi saya belum bisa masuk nih?"
"Kunci kantor dipegang Iman, Ibu tunggu di sini saja sama saya."
Danisa tidak menyukai situasi seperti ini, ia enggan menunggu di pos satpam, atau kembali ke rumah kosnya. Alih-alih menerima tawaran Veto, ia berjalan ke rumah sewa sebelah kantor. "Iman tinggal di situ, kan?" tunjuknya.
"Iya, Bu. Mau digedor?"
"Memang nggak ada belnya?"
"Mending gedor pagarnya. Iman kalau sudah tidur susah bangun. Hobi molor!"
Danisa diam saja tidak menanggapi ocehan Veto diiringi tawanya. Moodnya tambah tak karuan, belum lagi ia merasa lambungnya meronta minta diisi.
"Man! Imaan! Buka pintu, Man!" teriak Veto sembari menggedor pagar kayu.
Danisa mengambil ponselnya. Ada cara yang lebih baik ketimbang membuat kegaduhan di pagi hari. Ia tidak menyukai suara kencang, keributan, jadi dia pun melarang dirinya melakukan hal yang sama.
"Ya, Bu." Iman menjawab panggilan teleponnya. Nada suaranya terdengar kalau dia baru saja membuka matanya.
"Buka pintu, Man," ucap Danisa tegas.
Tak sampai satu menit Iman keluar, masih mengenakan celana pendek dan rambut awut-awutan. "Ya ampun, Bu. Pagi banget udah mau ngantor."
"Udah nggak usah bawel, cepat buka kantornya!"
Yang disuruh tergopoh-gopoh mengenakan sandal jepitnya dan berlari ke kantor. Veto membuntuti sambil tertawa kencang. "Makanya kau harus bangun lebih pagi lagi, Man!"
Setelah membuka pintu kantor, dan ruangan Danisa, Iman menyalakan pendingin ruangan. "Mau saya buatkan teh sekarang, Bu?"
"Kamu mandi dulu sana, nanti tehku nggak enak rasanya. Kecampur bau asem kamu," tukasnya kesal sembari menaruh tas dan beberapa dokumen yang dibawanya.
Iman tergelak, "Saya wangi gini loh, Bu."
"Nggak usah ngeyel kenapa sih! Cepat mandi, trus antar saya cari sarapan."
"Sarapan, Bu?"
"Iyaaa, Maaan! Udah cepat sana. Saya kalau lapar bawaannya mau marah terus nih!"
"Ampun, Buuu... Iya, iya, saya mandi sekarang." Iman melesat pergi meninggalkan Danisa yang sedang melampiaskan emosinya.
Sendirian dalam ruangan sepi membuat Danisa sedikit tenang. Ia membuka binder notes yang berisi catatan-catatan pekerjaan. Gawai boleh saja menggunakan teknologi paling tinggi di kelas smartphone mahal. Tetap saja perempuan itu lebih suka menulis setiap catatan kerja dalam buku binder bersampul merah mati, kado ulang tahun dari Ryan saat mereka masih berpacaran dulu. Dengan teliti diperiksanya satu demi satu pekerjaan The Premier yang telah, harus, dan akan dikerjakannya. Ia lalu mengambil ponselnya.
Satu, dua, tiga panggilannya tidak dijawab. diliriknya Hybrid Smartwatch—Jacqueline Blush Leather di pergelangan kirinya. Sudah hampir pukul 7.30 WITA. Kalau di kantor Jakarta, sudah banyak karyawan yang datang. Satpam shift pagi dan Office Boy tentu tiba lebih awal.
Aku yang kurang kerjaan atau kantor lapangan selalu seperti ini pola kerjanya? gerutu Danisa. Ia kesal, Kristo tidak menjawab panggilan teleponnya.
"Buuu...! Saya sudah man—"
"Walaupun pintu ruangan saya terbuka, biasakan mengetuk dulu baru masuk." Danisa menegur keras Iman yang menyeruak masuk ruangannya tanpa permisi. "Kalau kamu berbuat seperti itu di kantor Jakarta, bisa-bisa Pak James langsung pecat kamu, Man!" lanjutnya.
"Maaf, Bu. Lupa..."
"Diingat, Man. Sopan santun itu penting," cerocos Danisa geram. Imsomnia selalu berbuntut panjang. Mood berubah-ubah tidak perlu menunggu periode bulanannya tiba.
"Jadi beli sarapan nggak, Bu?" Iman merayu agar suara atasannya itu melunak. Sebelum berangkat ke Bali, Kristo sudah mewanti-wantinya. Dia akan mendapat pimpinan seorang wanita. Harus pintar menjaga sikap dan mengambil hati, terutama sekali dalam kondisi emosi naik turun seperti sekarang ini. Danisa bukan seseorang yang semena-mena, menggunakan posisi untuk menginjak bawahan. Tapi dia juga bukan perempuan yang mudah didekati. Bukan tipe yang gemar berhahahihi, bergosip, atau ngobrol ngalor-ngidul di kantor. Seorang pimpinan, pria ataupun wanita, Iman tetap harus menghormati. Ia sadar akan posisinya, dan mengerti mengapa Kristo mengingatkannya tentang hal itu. Dan bukan rahasia lagi kalau Kristo sangat melindungi Danisa.
"Saya sudah nggak kepingin makan di luar. Kamu tolong belikan saja. Roti isi atau burger. Tapi buatkan saya teh hangat dulu. Gulanya jangan terlalu banyak. Saya sudah manis," perintah Danisa yang diiringi gelakan tawa Iman.
"Siap, Buuu...! Burgernya satu atau dua?"
"Dua, buat kamu satu. Cepat, nggak pakai lama!"
"Asyik, makan enak...!" Iman keluar dari ruangan Danisa dengan berseri-seri. Mau tak mau membuat perempuan itu sedikit menyunggingkan senyumnya, melihat kelakuan Iman yang mirip seperti anak kecil.
Dering ponselnya berbunyi. Kristo menelepon. "Kamu baru bangun jam segini ya, Kris? Aku laporin ke Pak James tau rasa!" semprotnya.
"Astaga! Kamu ngapain semalam, pagi-pagi sudah ngomel?"
"Di kos berisik, aku nggak bisa tidur," keluhnya.
Kristo tertawa di seberang telepon. "Kenapa telepon? Ada masalah?"
"Ini kantor apa sih? Aku datang jam setengah delapan kurang belum ada orang yang nongol kecuali satpam malam."
"Nisa, Nisa! Di lapangan itu jam kerja menyesuaikan kebutuhan. Kita kan, baru mulai. Masih harus penyesuaian sana-sini. Jam kerja tetap normal, kalau di Bali biasanya mulai sembilan pagi sampai enam sore. Nanti pas puncak pekerjaan, ya menyesuaikan kebutuhan masing-masing. Nggak mungkin kalau baru pulang dari proyek jam dua dini hari, lalu aku paksa kalian semua masuk lagi jam sembilan pagi. Yah, mundur satu dua jam, nggak masalah, yang penting target kerja tercapai. Laporan ke Big Boss aman."
"Ya, tapi kan aku tadi bete, Kris. Di kos nggak bisa ngerjain apa-apa, eh sampai kantor masih melompong," rajuk Danisa.
"Makanya kemarin aku bilang supaya kamu santai dulu. Nikmati waktu luang ini untuk relaksasi. Nggak usah tegang terus mikir kerjaan."
"Namanya juga newbie, belum tau siklus kerja orang lapangan."
Kristo tertawa. "Eh, Sa. Aku ke kantor agak siangan. Pagi ini mau ke kantor Tata Kota dulu. Kemarin dapat info, ada ajuan The Premier yang ditolak."
"Hah? Kok bisa? bukannya sudah aman semuanya?"
"Nah, itu aku juga heran. Makanya mau langsung urus itu."
"Oke deh, good luck!"
"Hu um. Kalau ada yang datang cari aku suruh tunggu dulu ya."
"Siapa?"
"Tunggu aja. Kan, kalau ada. Kalau nggak ada ya sudah."
"Ngeselin banget pakai rahasia-rahasiaan gitu. Sudah sana jalan, biar urusannya cepat selesai!"
Kristo hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengelus dadanya. Nasib banget jadi bumper, tempat amukan Pak James, para subcont yang tagihannya belum cair, eh sekarang ditambah Danisa lagi, keluhnya dalam hati.
Setelah menutup teleponnya Kristo bergegas menyiapkan dokumen kerja yang akan dibawanya. Begitu pula Danisa, langsung larut meneliti ulang gambar-gambar CAD di layar laptop 15 inch.
*****