Ujung pena Mont Blanc milik Pak James mengetuk-ketuk meja kerja berlapis kaca. Keningnya berkerut-kerut, mulutnya terkatup rapat, matanya memicing seolah memcurigai sesuatu, membuat Kristo yang duduk di hadapannya menjadi salah tingkah.
Meskipun usia mereka hanya terpaut lima tahun, postur James Subrata yang tinggi besar dan berwibawa, menampilkan sosok seorang pimpinan, pemilik perusahaan yang kharismatik, cerdas, dan hebat. Ia sangat teliti dalam setiap detail pekerjaan. Berpikir dan bertindak cepat dalam menghadapi segala persoalan di kantor. Semua karyawan segan padanya. Bila ada karyawan yang berprestasi, James Subrata tidak pernah pelit memberikan hadiah. Namun bila ada kesalahan, ia pun tidak pernah ragu memberikan sanksi.
Berwajah tampan, tubuh tinggi tegap, berkulit putih, memiliki istri cantik dan pintar mengurus keuangan perusahaan, bukan berarti dia tidak punya kekurangan. Sudah banyak karyawan menjadi korban keganasan Pak James. Bila sedang marah, tak segan menendang atau melempar benda yang ada di dekatnya. Para karyawan bermental krupuk memilih mengundurkan diri karena tidak tahan dan takut padanya. Seleksi alam berlaku di perusahaan yang dipimpinnya itu. Seorang yang kuat dan bermental baja, seperti Kristo dan mendiang Ryan, sanggup bertahan hingga sepuluh tahun. Kedua orang itu yang setia bersamanya sejak perusahaan masih baru mulai berjalan.
Perfeksionis sekaligus temperamen, itulah James Subrata.
"Panggil Danisa, Kris!" perintah Pak James.
Kristo mengangguk, kemudian mengambil ponselnya dan menelepon Danisa. Kebisuan kembali hadir ketika mereka menunggu Danisa datang.
Tok! Tok!
"Masuk!" sahut Pak James lantang.
Danisa muncul dari balik pintu, tersenyum, lalu masuk ke dalam ruangan Pak James. Ia pun duduk di kursi sebelah Kristo, setelah Pak James mempersilakannya.
"Danisa, jadi apa yang sedang merasukimu?" tanya Pak James tanpa basa-basi.
"Gimana maksud Bapak?"
"Lho, kamu kan, mengajukan posisi sebagai Head Architect di proyek The Premier. Benar, Kristo?"
Kristo mengangguk, "Benar, Pak. Saya sudah mencoba meyakini Danisa supaya dia tidak mengajukan diri di posisi itu. Memang saat ini kita kekurangan SDM. Yanuar pegang proyek Karawang, Iwan di Bandung, dan David di Balikpapan. Tapi menurut saya, Yanuar kan, sebentar lagi selesai, dia bisa lanjut ke Bali untuk pegang The Premier."
Wajah Danisa sedikit menunduk melihat lantai. Tangannya menyelipkan rambut yang menjuntai ke balik telinga. Keinginannya ini pasti dianggap kelewat batas. Seharusnya dia bersyukur kantor mau menerimanya sebagai karyawan, di usianya yang tidak lagi terbilang muda. Menanggung takdir sebagai single parent tidak pernah mudah untuk dijalani.
"Kamu tahu kan, tugas dan tanggung jawab Head Architect itu apa dan bagaimana?" tanya Pak James tajam.
"Saya paham, Pak," jawab Danisa tak kalah tegas. Ini satu-satunya kesempatan yang ia punya. Kalau tidak berhasil, tidak akan ada kesempatan lainnya. Pak James bukan tipe orang yang mudah memberikan kepercayaannya.
Ketiganya kembali terdiam, hanya ada suara detak jam dan ketukan ujung pena yang bersahut-sahutan.
"Anakmu bagaimana? Mau dibawa ke Bali?" tanya Pak James.
Danisa tahu, persoalan anak akan menjadi alasan utama Pak James tidak mengabulkan keinginannya. Satu jawaban yang tepat mengena di hati bosnya itu yang ia butuhkan. Kalau meleset, habislah kesempatannya.
Danisa menghela napas, ia tersenyum pada pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
"Pak, saya sangat berterima kasih Bapak telah memberikan saya kesempatan bekerja di sini. Banyak orang lain yang lebih muda, lebih kompeten, lebih berpengalaman dari saya yang telah lama meninggalkan dunia kerja. Dengan begitu banyak kekurangan saya, Bapak masih juga memberikan fasilitas mewah berupa jam kerja yang berbeda dari staf lainnya. Semua itu sangat berharga buat saya."
Danisa menghela napas panjang. Jantungnya bergemuruh kencang, ia sudah hampir sampai pada pernyataan yang akan mengukuhkan keinginannya itu bukan sekedar main-main. Ia sadar dengan segala resiko pekerjaan, termasuk juga kebutuhan anaknya akan kehadirannya sebagai satu-satunya orang tua di rumah.
"Saya telah berdiskusi dengan Atalla, anak saya. Juga dengan orang tua saya, dan guru di sekolah, mengenai kemungkinan bertugas di luar kota. Saya bersyukur mereka semua mendukung keputusan saya ini. Atalla tidak saya bawa, orang tua saya yang akan mendampingi, karena pertimbangannya tidak mudah memindahkan sekolah di saat pertengahan semester seperti ini, walau dia masih kelas 2 SD. Anak saya pun memilih tetap tinggal menyelesaikan sekolahnya hingga kenaikan kelas di Jakarta. Kalau memang proyek di Bali lebih dari waktu yang ditentukan atau diperpanjang, kemungkinan saya akan memindahkan sekolah anak saya nanti."
"Kamu bukan sedang—eh—memaksakan keinginan pada anakmu, juga pada kami semua, kan?"
"Awalnya saya pikir ini hanya kegoisan saya. Rasa rindu terhadap almarhum Ryan mendorong saya ingin pergi dan tinggal di Bali. Menyusuri tempat-tempat yang sering diceritakannya, mencari bekas jejaknya di sana. Saya kira, keinginan itu akan segera lenyap seiring berjalannya waktu." Mata Danisa mulai memerah, ia memaksa bertahan agar air mata tidak tumpah. Sudah lama ia tidak menangis dan melupakan cara menangis. Dihelanya napas panjang, menyunggingkan senyum lebar yang sebenarnya menyimpan rasa getir, ditatapnya mata atasannya dengan tegar.
Giliran Pak James yang menghela napas panjang. Dilirik arloji di pergelangan kanannya. Satu jam lagi dia harus menghadiri meeting dengan aktuaris perihal pendanaan proyek The Premier yang akan segera dimulai pembangunannya.
"Satu hal yang saya suka darimu, Danisa. Kau orang yang mengambil seratus persen tanggung jawab. Kau pintar, perfeksionis, dan berpegang teguh pada prinsip dan target yang ingin kau capai. Menjadi istri almarhum Ryan adalah keuntungan tambahan buat saya mempekerjakanmu."
"Jadi, Pak?" Degup jantung Danisa semakin kencang.
"Segera persiapkan keberangkatanmu. Urus segala keperluan dan kebutuhanmu dengan Stanny."
"Serius, Pak?"
"Itu yang kau inginkan, kan?"
"Terima kasih, Pak. Saya janji—"
"Kau tahu kan, saya tidak menerima janji dari seorang karyawan?"
"Eh iya, Pak, maksud saya—" Danisa menjadi kikuk, bingung bagaimana mengekpresikan kegembiraannya di hadapan bos yang super dingin ini. Ia melirik ke arah Kristo.
"Kris." Pak James kini beralih pada Kristo yang diam sejak tadi. "Kurangi jadwalmu ke proyek lain. Mulai minggu depan, kau ambil empat hari mendampingi Danisa di Bali. Sisanya baru mengurus yang lain." lanjutnya.
"Siap, Pak," jawab Kristo patuh.
"Head Architect di lapangan bekerja penuh selama seminggu. Kau paham prosedur itu, kan, Danisa?"
"Paham, Pak."
"Kau mendapatkan ganti libur selama lima hari di minggu terakhir setiap bulan. Itu bisa kau manfaatkan untuk pulang menemui anakmu. Saya tidak memberikan fasilitas lebih karena akan menimbulkan kecemburuan karyawan lainnya."
"Saya mengerti, Pak. Buat saya, Bapak menyetujui permohonan ini sudah lebih dari cukup."
"Oke, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan? Sebentar lagi saya harus meeting."
"Baik, Pak. Sudah cukup jelas semuanya. Saya pamit permisi. Terima ka—"
"Buktikan kalau kau mampu menangani The Premier," ucap Pak James memberi isyarat dengan jarinya agar Danisa segera keluar dari ruangannya.
"Siap, Pak. Terima kasih." Danisa bangkit dari kursinya.
"Saya juga permisi, Pak." Kristo mengikuti langkah sahabatnya.
"Tunggu, Kris. Kamu tetap di sini, ikut meeting dengan saya."
Kristo pun mengurungkan niatnya meninggalkan ruangan Pak James.
Begitu sampai di kubikel kerjanya, Danisa tak sabar ingin segera memberi kabar pada orangtuanya. Ia sudah hampir mengirim pesan, namun diurungkan niatnya itu. Sebaiknya Atalla yang lebih dulu kuberi tahu saat pulang kerja nanti, agar mentalnya siap. Semua ini kulakukan untuknya, pikir Danisa.
Dengan cepat jemari Danisa mengetik pesan teks dan mengirimnya untuk Kristo.
Danisa : [Big thanks, Ma Brooo!]
Kristo : [Happy for you! Tapi kamu nyusahin banget deh, masa aku harus dampingin sih...]
Danisa : [hahaha... Kan aku incess, harus dikawal terus dong]
Kristo : [Traktiran harus dobel nih!]
Danisa : [Gosh! Matre banget sih...]
Kristo : [Mumpung ada kesempatan hahaha...]
Danisa menutup ponselnya, lalu kembali menekuri pekerjaannya yang tadi sempat terhenti. Dengan cepat ia konsentrasi melengkapi gambar kerja The Premier untuk acuan pekerjaan para pelaksana di lapangan. Ia bekerja penuh konsentrasi hingga tiba waktunya pulang ke rumah.
*****