Pagi.
Agung baru saja selesai mematut diri di depan cermin ketika ponselnya berdering. Laki-laki itu bersiap hendak ke kantor. Ia tampil paripurna dengan seragam Pemda membungkus press tubuh atletisnya.
"Maharani?" gumamnya.
Sudut bibir laki-laki itu begitu saja terangkat. Senyum bahagia seketika tercipta. Setengah tidak percaya, ia menatap layar ponsel. Empat pesan singkat dari perempuan itu berderet di aplikasi hijau miliknya.
Sejak Maharani meninggalkan rumah satu bulan lalu, tidak sekalipun mereka saling berkomunikasi. Agung memilih tidak mau menghubungi terlebih dahulu setelah Maharani menolak ajakannya untuk pulang. Ia juga masih sakit atas hinaan yang ia terima dari Deswinta.
Namun, jika Maharani yang menghubungi terlebih dahulu, lain ceritanya. Laki-laki itu berharap perempuan itu mau berubah pikiran, kembali padanya dan menerima buah hati mereka. Masih ada waktu untuk mereka memperbaiki semuanya.
"Mas!"
"Sarapan bareng, yuk!"
"Aku kangen!"
"Aku tunggu di tempat biasa!"
Tidak bisa disangkal, hati Agung berdesir membaca pesan rindu dari Maharani. Diakuinya, dia masih menyimpan rasa yang dalam kepada perempuan itu. Cinta dan rindunya kepada Maharani masih sama besarnya seperti dulu.
Barangkali sekarang Maharani mau berlapang d**a menerima Naira. Bisik batin Agung. Memikirkan hal itu, hatinya buncah bahagia. Alangkah sempurna kebahagiaannya.
"Ya!"
"Mas ke sana."
Dua pesan beruntun ia kirim. Ia tidak bisa menolak permintaan Maharani. Sebab, hatinya pun sangat rindu.
Agung segera meraih tas kerjanya dan keluar kamar. Laki-laki itu menuju dapur, mencari Rumaisha untuk pamit dan mengingatkannya untuk bersiap membawa Naira ke puskesmas.
"Rumaisha," panggilnya begitu sampai di dapur.
Gadis itu tampak sibuk menyiapkan sesuatu, berkutat di depan kompor. Dalam jarak beberapa meter darinya, terletak boks Naira. Bayi itu, tumben bangun dan sedang memerhatikan mainan warna warni yang digantung Rumaisha.
"Sudah mau berangkat, Mas?" Rumaisha menoleh. Ia melihat pada tangan Agung yang sudah menenteng tas kerja.
"Iya," sahut Agung. Jawaban yang singkat dan datar. Rumaisha mendesah lelah. Sikap hangatnya saat memuji masakannya tadi malam ternyata tidak terbawa sampai pagi ini. Sampai kapan laki-laki itu akan bersikap dingin seperti itu?
Dia tidak menuntut Agung untuk mencintainya. Akan tetapi, apa salahnya untuk bersikap lebih bersahabat? Laki-laki itu sepertinya sengaja menjaga jarak dengannya.
"Sarapan dulu, Mas. Aku sudah bikin nasi goreng. Sebentar lagi selesai," ucapnya lembut. Ia meredam semua rasa kecewanya, berusaha tetap bersikap manis meskipun hatinya sakit.
Seperti nasihat Hanafi, dia harus menanamkan pola pikir untuk lebih banyak memberi dari pada menerima.
Dia akan menjalankan perannya sebagai istri dengan baik, peran Agung sebagai suami biarlah menjadi pertanggungjawaban laki-laki itu dengan Allah.
"Tidak. Saya sarapan di luar saja," balas Agung masih dingin.
"Kenapa sarapan di luar, Mas? Ini sebentar lagi sudah mau selesai, kok," Rumaisha mempercepat adukannya, memperbesar nyala kompor.
"Tidak usah. Saya sarapan di luar. Jangan lupa bersiap. Nanti jam setengah sembilan saya jemput," balas Agung tegas. Ia lalu menghampiri boks Naira, menyapa bayi itu dan menciumnya penuh sayang, kemudian melangkah tegas menuju luar.
Rumaisha tertegun sejenak memerhatikan tingkah Agung, sebelum kemudian tersadar laki-laki itu telah berlalu.
"Mas ...!" Setelah mematikan kompor, sambil setengah berteriak Rumaisha bergegas mengejar.
"Ada apa?" Agung menghentikan langkah, menatap dingin.
Tanpa menjawab, Rumaisha mengulurkan tangan, mencium takzim punggung tangan Agung. Mau sedingin apa pun sikap laki-laki itu, biarlah dia mengalah. Sebab dia istri, butuh ridho seorang suami.
Agung tertegun saat punggung tangannya dicium lembut. Ada perasaan sejuk menjalari hatinya. Di samping rasa bersalah, menyadari begitu tulus hati gadis yang mau menikah dengannya demi Naira itu. Akan tetapi, dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri. Dia juga butuh bahagia dengan pilihannya.
"Hati-hati," ucap Rumaisha sambil melepas tangan Agung.
"Terima kasih," jawab Agung. Ekspresinya tak nyaman. Untuk menetralkan rasa, cepat ia melanjutkan langkah, meninggalkan Rumaisha yang menatap kecewa.
Setelah mobil Agung menghilang dari pandangan, Rumaisha kembali ke dapur.
Inhale ....
Exhale ....
Gadis itu mencoba menenangkan hati. Sedikit perih, ia menatap wajan di atas kompor berisi nasi goreng yang masih utuh. Padahal, dia sudah bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan itu untuk Agung. Namun, yang dia dapat hanya kecewa.
"Assalamualaikum, Mbak Rumaisha." Dari depan rumah, terdengar suara Rohmah mengucapkan salam. Nadanya begitu ceria dan mampu mentransfer energi bahagia kepada siapa saja yang mendengarnya.
"Waalaikumsalam, Bu Rohmah. Masuk," sahut Rumaisha semringah. Kehadiran wanita itu dengan segala keceriannya cukup menghiburnya untuk sementara, melupakan pahit masalah rumah tangganya sejenak.
Gegas Rumaisha memindahkan nasi goreng buatannya ke dalam piring.
"Sarapan, Bu Rohmah," ucapnya ketika Rohmah tiba di dapur. Ia meletakkan dua piring nasi goreng ke atas meja, satu untuknya, dan satu ia ulurkan kepada Rohmah.
"Wah, Mbak. Saya baru datang, belum juga mulai kerja sudah disuruh makan." Wanita itu cengengesan malu-malu. Namun, tak urung diterimanya juga piring yang diulurkan Rumaisha.
"Tidak apa-apa, Bu Rohmah. Biar kuat menjalani hari," balas Rumaisha getir.
Ia teringat akan hari-harinya sendiri yang akan selalu berat oleh tumpukan gunung es yang diciptakan Agung.
***
Sementara di sisi lain, Agung memarkirkan mobilnya di sebuah warung sarapan langganannya bersama Maharani.
Matanya langsung tertuju pada wajah cantik yang sudah menunggu di sana.
"Mas ...." Maharani melambaikan tangan begitu Agung keluar dari mobil. Senyum semringah mewarnai bibirnya.
Agung tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Bibirnya merekah, menggoreskan rona bahagia. Dadanya berdebar oleh getaran rindu yang telah lebih dari satu purnama ini ia pendam. Laki-laki itu melangkah lebar, seolah tidak sabar untuk segera tiba di sisi Maharani.
"Sudah lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah perempuan itu.
"Iya. Lumayan," sahut Maharani. Ia meraih lengan Agung, lalu memeluknya erat.
"Aku kira Mas gak mau datang," lanjutnya manja. Bibirnya sedikit dikerucutkan.
Agung terkekeh. Dia suka sikap manja Maharani. Perempuan itu tampak begitu menggemaskan jika bertingkah manja seperti itu. Ingin segera ia peluk dan melepaskan segenap cinta dan rindu, jika tidak ingat sedang berada di mana dan dilihat banyak orang.
"Tentu saja Mas datang. Mas juga kangen," balasnya bahagia.
"Oh, ya?" Mata Maharani berbinar mendengar kata rindu dari Agung.
"Mas juga kangen?" tanyanya tidak percaya. Agung mengangguk.
"Benar? Aku kira Mas sudah tenggelam ke dalam pelukan pelakor itu dan melupakanku," lanjutnya lagi. Bibirnya kembali mengerucut. Namun, ekspresinya kali ini bukan manja, melainkan sedikit merajuk.
Agung menghela napas. Entah mengapa, dia tidak suka dengan sebutan yang disematkan Maharani kepada Rumaisha. Agung tahu sebaik apa gadis itu.
"Rumaisha bukan pelakor, Rani," balasnya pelan.
"Lalu apalagi namanya? Kalau bukan pelakor?" Maharani menatap Agung sinis. Ia tidak suka dengan pembelaan laki-laki itu.
"Dia tidak merebut Mas dari kamu. Dia menikah dengan Mas karena mau merawat Naira," tutur Agung pelan.
"Benar cuma itu?" Maharani masih menatap sinis.
"Iya!" tegas Agung.
"Ya, sudah kalau begitu. Kebetulan. Biarkan dia merawat Naira. Kita bisa bersama lagi." Raut Maharani seketika berubah cerah. Senyum bahagia terukir lebih lebar di bibirnya.
"Maksud kamu?" Agung menatap curiga.
"Ya .... Biarkan perempuan itu merawat Naira. Kita bisa memberinya kompensasi dengan menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan Naira setiap bulan."
"Maksud kamu apa?" Agung mulai gusar.
"Kok, belum jelas, sih, Mas? Maksud aku, kita bisa kembali bersama lagi, melanjutkan rumah tangga kita. Mas lepaskan pelakor itu. Biarkan dia pergi dan membawa Naira," terang Maharani.
"Maharani!" Agung menatap wanita itu tajam.
"Jadi kamu belum bisa menerima Naira?" tanyanya kecewa.
"Sampai kapan pun aku tidak bisa menerimanya, Mas," sahut Maharani cepat, "Aku harus menjaga nama baik keluarga."
"Apakah begitu buruk Naira sehingga kehadirannya bisa mencoreng nama baik keluargamu?"
"Iya. Tentu saja! Siapa pun pasti malu punya anak seperti itu."
"Mas tidak malu, Maharani."
"Tentu saja Mas tidak malu. Karena dia keturunan dari darah keluarga Mas. Sudahlah, Mas. Sekarang sudah ada solusinya. Biarkan pelakor itu membawa Naira."
"Kalau begitu pergi saja, Maharani! Jaga nama keluargamu itu baik-baik! Jangan sampai orang-orang tahu, mereka menolak dan menelantarkan darah daging mereka hanya karena terlahir tidak sempurna!"
Agung beranjak emosi. Ia benar-benar kecewa dan sakit hati atas semua ucapan Maharani. Lagi-lagi wanita itu menolak Naira dan menghina keluarganya.
Harapan bahagia dan suka cita, serta rasa rindu yang ia bawa saat hendak menjumpai Maharani tadi pupus dengan cara yang menyakitkan.
"Mas mau kemana? Aku sudah pesan!" pekik Maharani saat ia menjauh menuju mobil.
Agung tidak menggubris panggilan wanita itu. Hilang sudah seleranya untuk sarapan. Lapar biarlah lapar. Gegas ia masuk ke mobil, lalu melajukan kendaraan itu menuju kantor.
Pertemuan dengan Maharani yang tadi dia pikir akan menyenangkan, berubah menjadi amat menyakitkan.
Kapan wanita itu akan membuka hati untuk putri mereka?