Apartemen Grace.
"Aku lega tidak menjadi pelayan Ian. Terima kasih, Bu." Elbri mengayun- ayunkan tangan Grace.
"Ibu tidak akan membiarkanmu menderita, Elbri. Ibu bahkan mendengar jika Ian seperti orang tidak waras sejak kecelakaan itu. "
Elbri mengangguk. Ia tidak sanggup membayangkan harus merawat pria lumpuh. Otak kecilnya tidak pernah berpikir jika Ian memiliki tim pelayan yang merawatnya karena kekayaan keluarga Silver Grome yang menumpuk. Yang bisa Elbri bayangkan hanyalah dia memakai baju pelayan dan mencuci baju Ian. Menyuapi makan, menggendong tubuhnya ketika ke kamar mandi dan hal- hal berat lainnya.
" Sudah, rumah sekarang sangat berantakan. Kita harus membersihkannya."
Grace memberi sapu pada Elbri. Tidak ada Briana yang membersihkan rumah, jadi mereka harus mengerjakannya sendiri. Itu membuat Elbri menganga tak percaya. Seumur hidup, baru kali ini dia memegang alat ini.
"Ibu, ku rasa ini bukan ide yang bagus. Kau tau ini pekerjaan Briana, bukan aku."
"Briana sekarang sudah pergi. Jadi kau yang sekarang mengerjakannya."
Dengan berat hati, Elbri mulai menyapu. Baginya ini adalah pekerjaan yang terberat yang ia lakukan.
Belum satu jam Elbri mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia sudah mengeluh karena mencuci piring dan menyapu.
"Ugh... kenapa aku yang harus kerjakan ini sekarang, Bu? Tanganku bisa kasar kalau kayak gini."
Grace mendesah untuk kesekian kalinya. Rengekan dan gerutuan Elbri sama sekali tidak berhenti sejak tadi. Padahal dia hanya kebagian menyapu dan cuci piring, sedangkan pekerjaan rumah lainnya Grace yang mengerjakan. Memang biasanya Briana yang mengerjakan semua ini, sementara mereka bersantai. Ini membuat mereka terbiasa hidup santai.
"Demi Tuhan ini hanya mencuci piring, Elbri. Bisakah kau tidak mengeluh. Ibu saat ini sedang memasak, " omel Grace. Hari ini bahkan belum satu jam Briana pergi dari sini dan kondisi rumah seperti kapal pecah. Semua diperburuk dengan keluhan -keluhan Elbri.
"Kita sewa pembantu rumah tangga saja..." rengek Elbri.
"Kita melakukannya saat kau mendapat mendapat tawaran, Okey? Uangmu sudah habis untuk membeli tas mu. Itu bahkan cukup untuk uang apartemen."
Elbri cemberut mendengar kata- kata ibunya. Dia sendiri juga bingung mengapa tidak ada majalah atau fotografer yang mau menerimanya menjadi model. Dia juga tidak bisa masuk ke agensi artis dengar berbagai alasan. Semua ini membuat frustasi Elbri.
.
.
.
Silverdom.
Briana hampir terjungkal mendengar syarat dari Ian. Dia benar- benar terkena getah dari ide yang batu diproklamirkannya. Sungguh tidak pernah ia duga jika Ian menginginkan sesuatu yang berbau b**m dan bersifat masokis. Sangat mengejutkan.
"Kau yakin?" Tanya Briana.
"Ya. Lakukan... memang aku ini pria tidak beruntung jadi dikuasai oleh seorang wanita tidak lagi terlihat buruk untukku."
Briana membeku. Kata- kata Ian terdengar tidak menyenangkan jika orang lain dengar.
'Mengapa aku terlihat seperti predator yang ingin memakan Ian?' Batin Briana.
'Ini konyol. '
Briana pun mulai melakukan yang Ian minta.
"Oh, Ah... Yes."
Wajah Briana memerah. Desahan tidak tau malu Ian sangat menganggu.
Dia tidak habis pikir mengapa Ian harus membuat suara itu sedangkan yang ia lakukan hanyalah mengikat tangan dan memijit kaki Ian sesuai instruksi dari dokter.
Briana melihat dengan seksama wajah Ian yang juga memerah. Tak lama kemudian, dia cekikikan sendiri. Pria stundere ini memang konyol.
"Hihihi..."
"Mengapa kau tertawa? Apa kau mengolok- olokku?" Tanya Ian sambil melototi Briana.
"Mengapa aku mengolok- olokmu. Kau memang butuh bantuan. Memangnya berapa lama milikmu menganggur?" Tanya Briana yang sukses membuat Ian cemberut.
"Hei, jangan mengungkit hal itu. Aku sama sekali tidak pernah merasa bernafsu dengan gadis, bahkan umpama kau telanjang di depanku--percayalah. Aku tidak bernafsu masa sekali."
Briana semakin terkikik mendengar ucapan Ian. Ada sesuatu yang menggembung di antara kaki pria stundere ini, tapi dia masing menyangkalnya.
"Benarkah? Mengapa yang aku lihat justru tidak seperti itu? "Tanya Briana sambil menunjuk selakangan Ian dengan matanya.
Ian melirik pangkal pahanya, dan menyadari jika miliknya mengeras. Ian melotot dan langsung memenutupi pangkal pahanya dengan bantal. Dia seolah seseorang yang melindungi keperawanannya dari pria m***m. Tindakan yang semakin memicu Briana tertawa terpingkal - pingkal.
"Benar, kau harus melindungi milikmu agar tidak aku terkam. Perawan sepertiku sangat ganas."
Niat hati ingin menggoda Briana, tapi yang terjadi justru tidak sesuai ekspektasi. Ian tercengang oleh ucapan Briana. Di kota ini, gadis berumur dua puluhan yang masih perawan sangat sulit dijumpai. Terlebih Briana sangat cantik. Dia memiliki kulit yang mulus, putih tapi tidak pucat. Bibirnya berwarna pink alami.
Penampilannya memang jauh dari berbeda dari awal kedatangannya, beberapa waktu yang lalu dia nampak lusuh, kucel dan berantakan. Namun ketika dia mandi dan berganti baju, kecantikannya yang alami terlihat polos dan enak dilihat.
'Pasti pria di sekelilingnya adalah pria buta, ' batin Ian.
Mengingat kata buta, dia jadi tersenyum kecut. Sebab dirinya sendiri adalah pria buta yang tidak tau jika wanita yang ia cintai hanya menyukai kesempurnaannya. Seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati bisa berpaling darinya dengan begitu mudah. Jika tau sifat Emma seperti itu maka Ian tidak akan pernah memberikan hatinya. Padahal dirinya saat itu begitu memanjakan Ian, sayangnya Emma hanya menganggap itu keharusan sebagai seorang tunangan.
Melihat Ian terdiam, Briana mengira jika sukses menggoda Ian. Dia bahkan menunjukkan cengiran lebar. Ian bahkan tersentak dengan ekspresi gadis yang memijitnya.
"Dasar gadis kurang belaian. Ibuku benar- benar melakukan kesalahan. Aku harus melindungi diriku dengan aman mulai sekarang. "
"Ya kau harus. Aku tidak menjamin keselamatanmu saat kau lengah. Aku terlalu haus belaian saat ini. Apalagi kau sangat tampan."
Briana menyelesaikan pijatannya. Lalu mulai melumuri dagu Ian dengan cream shape. Dengan perlahan Briana mencukur dagu Ian. Dia berhati- hati karena tidak ingin melukai Ian.
Mata hijau Briana menatap penuh ketelitian. Alisnya sedikit berkedut serius. Itu menarik perhatian Ian, nampak geli karena ada orang begitu serius hanya karena mencukur jenggot. Perlahan Briana mencukur bulu jenggot Ian hingga bersih. Dia sama sekali tidak terganggu ketika Ian menatapnya lamat- lamat.
"Sempurna." Briana tersenyum bangga menatap hasil karyanya. Kemudian membeku melihat Ian juga menatapnya. Wajah Ian begitu tampan. Dia hampir tidak mempercayai penglihatannya saat ini.
Pria yang mengelus dagunya sendiri itu sangat tampan. Aroma jantan sekaligus badboy terbentuk karena dirinya yang memanjangkan rambut melebihi bahu dan diikat rapi. Otot tubuhnya bahkan tercetak jelas pada kemeja putih yang ia kenakan.
'Meski dia tidak sempurna, tapi wajahnya masih memancarkan kesempurnaan. '
Briana menunduk karena tidak tahan menatap pria itu lama- lama. Meski dia sedari tadi bersikap biasa dan justru menggoda Ian, Briana tetaplah gadis biasa. Dia tidak akan sanggup melihat Ian terlalu lama jika tidak ingin jatuh cinta. Bagi Briana, pernikahan ini hanya sebuah kesepakatan. Tidak boleh ada cinta. Mungkin suatu saat jika Ian sembuh, dia akan menemukan gadis yang sepadan dengan Ian.
'Yang harus aku lakukan agar tidak menderita di rumah ini adalah berteman dengan Ian. Jangan sampai jatuh cinta padanya.'
"Kau masih tetap wah... "
"Tsk, awas saja kalau jatuh cinta padaku. Aku tidak mau punya istri gila sepertimu."
Briana terkekeh. Rupanya rencana untuk berteman dengan Ian terlihat lancar.
"Aku tau. Ku harap kita bisa berteman."
Ian mendengus. Berteman di saat seperti ini. Briana tidak tau jika semua temannya kabur begitu tau Ian cacat. Sekarang gadis itu menawarkan pertemanan? Sungguh naif.
Melihat Ian tidak bereaksi, Briana menggaruk kepalanya tidak gatal. "Aku akan keluar. Kau bisa istirahat."
Sayang sekali Ian tidak berniat melepaskannya dengan mudah.
"Enak saja, kau belum memandikan ku !"
"Hah! Apa?!"
Briana hampir pingsan mendengar perintah Ian. Berbeda dengan Ian yang menyeringai senang.
"Kau belum memandikanku istriku, lagi pula kau kan bilang sangat ganas pada pria karena status perawanmu. Mari kita lihat keganasanmu."
"Ya ampun. Mati aku."
Briana tidak menyangka jika alasannya agar bisa kabur dari Ian justru membuat Ian semakin semangat. "Tunggu apa lagi...? kemarilah istriku yang perawan. "
Tbc.