Ketika aku tiba di rumah yang biasanya aku lihat di gambar atau televisi, hatiku pun luluh. Di sanalah calon suamiku berada. Seseorang yang hancur karena ketidakberdayaan. Kecelakaan saat menjalani hobinya adalah hal fatal yang mengubah hidupnya selamanya. Dia yang selalu bersinar dengan kesempurnaan yang nyaris sempurna harus berada dalam rasa iba setiap orang yang melihatnya.
"Ayo masuk Briana, aku akan mengenalkan mu dengan Ian. Suamiku, Arash akan tiba beberapa saat lagi. Jika dia datang, aku juga akan mengenalkanmu, " perintah nyonya Cecilia. Nyonya Cecilia bukan hanya sekedar ibu rumah tangga. Dia wanita karier yang mengendalikan bisnis Silver Grome bersama Arash Silver Grome. Sepak terjangnya tidak main- main di dunia bisnis. Wanita ini adalah harimau betina yang mengerikan saat berada dalam mode bekerja. Setidaknya itulah yang aku dengar dari orang- orang yang makan kue di toko roti.
"Baik."
Mengekori nyonya Cecilia masuk ke rumah berpilar tinggi dengan interior ala kerajaan Eropa kembali membuatku tercengang. Kembali aku merasa jika sudah masuk ke alam lain. Rumah ini seperti kastil atau bangunan kerajaan yang dibangun ulang. Dari sini aku curiga apakah keluarga ini adalah salah satu bangsawan Eropa yang pindah ke Amerika di abad setelah revolusi Industri.
Pandangan mataku menyebar ke arah jendela tinggi hampir menyentuh langit- langit yang menojol karena dihias tirai super artistik. Kanopi silver juga bordirannya menandakan betapa mahal harganya. Lalu mataku juga menangkap bunga dari kristal yang tidak kalah menakjubkan. Dinding yang tidak sepi dari detail seni juga langit- langit bertema mozaik. Ini menakjubkan.
"Oh...aku lupa jika harus ijin libur di toko roti..." Aku terpaku pada pemikiran yang muncul.
Nyonya Cecilia menoleh.
"Ayo Briana, kita ke tempat Ian..." ajak nyonya Cecilia lagi. Barulah aku sadar jika sudah terpaku pada pemikiran yang baru muncul hingga menghentikan langkahku.
"Oh, maafkan aku. Tapi, aku harus ijin dari toko roti tempatku bekerja dulu..."
"Jangan khawatir, Lucas sudah membereskan surat pengunduran dirimu. "
Seharusnya itu sudah bisa kutebak. Kini hidupku bukan lagi milikku. Aku tergadaikan atau bahkan dijual. Entahlah bagian yang mana, yang cocok untuk mendefinisikan kondisiku. Yang pasti tidak ada yang bagus di antara dua pilihan itu. Dan aku harus tetap menurut pada sang pembeli yaitu nyonya Cecilia. Dengan pernikahan, mereka mengikatku.
Saat menaiki lantai satu, sebuah suara menghentikan langkahku. Bisa ditebak siapa yang berteriak di rumah semewah ini. "Sudah ku bilang jangan membawa wanita untukku!" Teriak seseorang dari dalam.
Aku yakin jika itu adalah Ian. Tidak mengherankan jika pria itu emosi atau bahkan depresi. Hidupnya yang sempurna mendadak terbalik, tidak semua orang mampy menerimanya dengan tabah. Selain itu, aku mendengar jika tunangannya meninggalkannya. Berita mereka dimuat di media dan menjadi perbincangan hangat dua tahun yang lalu. Tidak ada yang memikirkan perasaan Ian saat itu, yang pasti segala spekulasi terus menerus berkembang hingga menghilang dengan sendirinya.
"Ian sayang... Dia adalah istri mu. Kau sudah menandatangi surat pernikahan tadi malam. "
Pria itu mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang merajuk. "Lagi- lagi kau menjebakku, Bu," geram Ian.
Nyonya Cecilia terkekeh pelan. Matanya menyipit licik dan tidak mau kalah. "Tidak sayang, ini namanya mencarikan teman seumur hidupmu. Lagi pula kau sudah waktunya menikah. Perlakukan dia dengan baik, okey?"
Aku terkejut kerena merasa tidak pernah menandatangi apapun. Perasaanku mengatakan jika ini pasti salah satu alasan nyonya Cecilia agar Ian menerimaku. Jadi yang terbaik adalah diam. Yah, diam adalah emas untuk saat ini.
"Hn..."
Pria itu menoleh. Jenggot dan kumis tumbuh menyebar di rahangnya. Sangat berantakan dan tidak terawat. Sangat berbeda dengan gambar yang terlihat di media massa.
"Baiklah, lanjutkan perkenalan kalian. Ibu harus pergi ke luar negeri bersama Arash. "
"Ya, ya, ya. Pergilah bersenang- senang. Tinggalkan anak cacat kalian membusuk di sini."
"Jangan mendramatisir keadaan. Kami sudah membawakan mu istri."
"Istri, tapi terlihat lusuh. Dia bahkan tidak berpakaian yang layak. Ada luka di tangannya. Benar- benar menyedihkan. "
Nyonya Cecilia kabur ke depan pintu kamar. Meninggalkan aku yang terpaku pada pria kasar yang dari tadi bicara sakartis. Ada satu poin yang membuatku tak bergeming, yaitu bicaranya ucapannya yang tadi.
Pria ini tau aku terluka, padahal sejak tadi aku berusaha menyembunyikannya. Memang tadi di toko kue aku tidak sengaja menyenggol loyang panas.
"Mengapa diam saja? Apa kau tidak mau mengobati lukamu?" Hardik Ian.
"Paman Lucas, mau sampai kapan kau membiarkan istri bayaranku pakai baju lusuh itu. Memangnya kita semiskin itu hingga menantu keluarga ini berpanampilan kotor seperti itu."
Semakin lama aku menyadari sesuatu. Ternyata Ian adalah type stundere. Ada perhatian di tiap ucapannya. Ini membuatku tersenyum geli. Pantas saja dia sedari tadi merajuk.
"Lewat sini nona, " tawar pria paruh baya yang dipanggil Lucas oleh Ian.
Aku menurut dan berjalan melewati Ian. Meski tatapannya seolah membakarku, aku tetap berlalu tanpa menoleh.
Kamar yang ditunjukkan oleh Lucas sangat mewah. Jelas ini berkali- kali lipat dari kamar di apartemen ibu. Sangat menakjubkan.
"Jika ada yang anda butuhkan, silakan memanggil saya, Nona."
"Panggil aku Briana saja, Paman. Aku akan segera ke kamar Ian setelah mandi."
"Itu tidak pantas nona Briana. Sekarang anda adalah menantu keluarga Silver Grome. "
Aku menghela nafas panjang. Tidak ada gunanya memaksa mereka menuruti kemauanku. Pasti ada aturan di rumah ini yang tidak bisa diabaikan.
" Baiklah. Em, paman bisakan kau menyisiapkan alat- alat ini. Aku membutuhkannya nanti..."
"Tali, cambuk, alat cukur, shape cream..." eja paman Lucas.
"Baik nona, aku akan membelikannya."
"Terima kasih, Paman."
Usai mandi aku memakai pakaian yang disiapkan oleh paman Lucas. Gaun selutut tanpa lengan dan memiliki krah V. Sangat sederhana meski tidak cocok untuk merawat Ian.
Kemudian aku juga melihat jika alat- alat menjinakkan Ian sudah tersedia di meja dekat ranjang.
'Aku harus membuat stundere itu tidak rewel. Waktunya beraksi.'
Aku menarik nafas panjang. Ini adalah hal paling menantang yang belum pernah aku lakukan seumur hidupku.
Tok.
Tok.
"Masuk."
Aku masuk dan langsung menuju ke arah Ian.
"Ada apa?" Sinis Ian. Dia seolah melihat kucing lusuh saat aku masuk. Namun itu tidak masalah, tatapan itu sudah biasa aku terima di rumah.
"Sebagai istri mu, aku akan merapikan bulu- bulu itu. Meski aku sangat menyukai sesuatu yang berbulu lebat, tapi aku tidak menyukainya jika tumbuh di wajah."
Mata coklat keemasan Ian melotot. Aku menebak dia pasti berpikir aneh- aneh tentang bulu. Itu membuatku malu sendiri tapi memaksakan diri bersikap tenang.
" Dasar m***m. Aku tidak mau, " tolak Ian.
"Tidak masalah. Tapi aku bersumpah akan mencukur bulumu yang lain jika tidak mencukur bulu di wajahmu. Yang pasti aku harus mencukur bulu hari ini. Pasti sangat menyenangkan. Terutama mencukur di area bawah, " ancamku. " Asal kau tau, aku sekarang sangat tertarik menggunakan cara b**m. Pasti menyenangkan. " Aku menyeringai sambil membawa tali dan cambuk ke arah Ian. Lalu berjalan dengan langkah menggoda. Inilah cara terbaik yang aku lakukan untuk menghadapi manusia stundere.
Hasilnya? Ada sesuatu yang menggembung di antara dua pahanya. Ini membuatku tersenyum geli. Padahal aku tidak bersungguh- sungguh. Bagaimana mungkin aku melakukan b**m sedangkan melihatnya saja aku tidak pernah.
"Hei, apa kau gila. Ya ampun, aku tidak tau dari mana ibuku mengambil istri gadis gila sepertimu, " protes Ian.
Ternyata dia takut padaku. Aku bisa memanfaatkan ketakutannya. "Ibu mengambilku dari rumah sakit jiwa. Jadi ayo kita lakukan cara yang terakhir itu. Kau mau aku mencukur bulu di rahangmu atau bulu lainnya. Silakan pilih."
Ian berpikir sejenak lalu membuat keputusan. "Tunggu, okey kau boleh mencukur wajahku. Tapi ada satu syarat."
Aku bingung dengan syarat dari Ian. Dan ketika mengatakannya, aku ternyata jatuh ke trikku sendiri. Mau tidak mau aku harus melakukannya. Ian ternyata benar - benar menyiksaku.
Tbc.