10. Ratu dan Penjaga Bayangan

1505 Words
Ketika dia bersama sang cahaya, Selalu ada bayangan yang menjaganya dari belakang… *** Zein sedang berbincang dengan beberapa anak lelaki dari kecamatan Escape Selatan ketika ekor matanya melirik Keisha keluar aula pesta. Setelah undur diri kepada teman-teman barunya, dia lantas mengikuti gadis itu diam-diam. Bukankah ini seperti dulu? Aku selalu mengikutimu dari belakang. Diam-diam melindungimu dari bahaya. Diam-diam menatap rambut panjangmu yang tergerai di punggung. Juga, diam-diam melihat kemesraanmu dengan Yang Mulia Zen. Sampai kapan aku harus melakukannya diam-diam, Kei? Zein tersentak dari lamunan ketika mendengar petikan senar harpa Keisha. Dia tersenyum kecil karena masih terpesona dengan permainan gadis itu. Di antara semua nada yang pernah kamu mainkan, kenapa memilih lagu sedih ini, Kei? Zein ingat, setiap kali ratu merindukan sang raja yang jauh di medan perang, nada ini akan terdengar di Paviliun Cassia. Ratu memetik senar harpa, lalu menangis diam-diam sembari memegang perutnya yang mulai besar. Selain menikmati permainan musik sang ratu, dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Jika ratu tahu ada yang diam-diam mendengarkan harpanya, atau mencoba menghiburnya, wanita itu akan berpikir orang lain mengasihani dirinya, dan dia sangat benci dikasihani. Ketika ratu lelah karena menangis, dan tertidur di taman depan kediamannya, Zein kemudian keluar dari persembunyian. Dia mengangkat sang ratu, membawanya ke kamar tidur, mengganti dupa pengharum ruangan dengan wangi lembut, lalu menepuk-nepuk bahunya pelan. Kalimat, ‘Tenanglah, Zein-mu di sini…’ pun selalu dia bisikkan seperti sebuah mantra pengantar tidur. Secara ajaib, tidur sang ratu menjadi lebih nyenyak. Zein sendiri lupa kapan tepatnya kebiasaan tidur sang ratu bermula, entah sejak sang raja pergi ke medan perang atau setelah wanita itu banyak membunuh musuhnya. Yang jelas, sang ratu baru bisa tidur nyenyak ketika dia mengucapkan mantra tidur sembari menepuk-nepuk pelan bahunya. Selain mengucapkan mantra tidur setiap malam, Zein juga memanfaatkan identitasnya sebagai penjaga bayangan untuk memastikan kebahagiaan sang ratu. Haknya itu misalnya, memberikan seikat bunga atas nama Yang Mulia Zen, ketika raja itu sibuk dengan urusan kerajaan; mengirimkan hadiah-hadiah kecil ketika raja lupa ulang tahun ratu; memalsukan surat dari medan perang atas nama raja ketika ratu terlalu merindukannya; bahkan mengenakan topeng dan berpura-pura menjadi raja untuk menemani ratu di taman bunga ketika raja terlambat datang. Banyak hal yang diam-diam Zein lakukan atas nama raja, semata-mata untuk memastikan kebahagiaan dan keselamatan sang ratu. Lalu suatu hari, di saat cinta sepihaknya terasa sangat menyakitkan, dia pernah dengan serakah bertanya-tanya, ‘jika ratu tahu bahwa sebagian besar kebahagiaannya dikarenakan perbuatannya, mungkinkah sang ratu akan menyukainya alih-alih semakin jatuh cinta dengan sang raja?’ Konyol! Adalah jawaban dari pertanyaan itu. Bagaimana mungkin seorang penjaga bayangan bisa dibandingkan dengan sang raja di tahta tertinggi? Yang satu berdiri di bawah sorotan cahaya, sementara yang lain bersembunyi dalam kegelapan. Jangankan untuk dicintai, untuk diketahui keberadaannya saja sudah sulit. Lalu pertanyaan itu pun terkubur, dan tidak pernah tergali lagi sampai dia terlahir kembali beberapa kali. Meski tahu semua usahanya tidak akan pernah diketahui, Zein tetap melakukan segalanya untuk sang ratu. Entah untuk mematuhi titah sang raja (yakni memastikan kebahagiaan sang ratu), atau untuk ketenangan dirinya sendiri, yang jelas, dia tidak ingin melihat sang ratu sedih. Karena setiap kali menangis, ratu akan sangat kesakitan seperti sesak napas. Jadi, ketika melihatnya menangis lagi, Zein hampir tanpa pikir panjang langsung berlari ke sisinya, dan memeluk hangat sembari membisikkan kalimat yang sudah dia hapal di kepala, "Tenanglah, Zein-mu di sini..." "Aku masih... mencintaimu… Yang Mulia…" Zein tersentak mendengar perkataan Keisha. Apakah ratu mengingat kehidupan masa lalunya? Sampai batas mana ratu mengingat masa lalunya? Apa dia tahu kalau raja yang membunuhnya pada akhirnya? Kalau dia tahu, kenapa masih mencintainya? Sekalipun banyak pertanyaan di kepala, Zein tidak mengutarakannya kepada Keisha. Dia sudah tahu satu hal yang pasti; baik sebelum maupun setelah reinkarnasi, hati, tubuh, dan hidup ratu masih menjadi milik sang raja. Setelah menunggunya di setiap reinkarnasi... setelah mencarinya di seluruh penjuru tempat paska kelahirannya... setelah mengamati dan mencintainya diam-diam dalam kehidupan pertama... Zein tidak bisa membiarkan ratu mencintai raja lagi. Entah ratu mengingat kehidupan masa lalunya atau tidak, dia harus pastikan raja dan ratu tidak akan bertemu lagi dalam kehidupan ini. Biarlah jika Zein dibilang egois dan serakah untuk cintanya. Selama ratu tidak tersakiti lagi karena terlalu mencintai sang raja, maka dia akan menjadi egois dan menanggung dosanya. Sudah saatnya wanita ini tahu bahwa ada pria bernama 'Zein' yang selama sisa hidupnya dihabiskan untuk mencintainya diam-diam. Ada pria bernama ‘Zein’ yang menunggunya di setiap reinkarnasi, dan masih menunggunya sampai saat ini. Itu adalah 'Zein' dan bukan 'Zen'. Kali ini, dia harus memastikan Keisha akan memanggil namanya dengan benar. Setelah lebih tenang, Keisha melepas pelukan, tampak malu karena menangis di depan anak kecil seperti Zein. Zein melirik wanita bergaun pengantin yang masih terpaku menatap Keisha menangis. Dia lantas berkata, "Maaf, Kak, bisa tolong ambilkan air?" Wanita itu mengangguk, kemudian segera masuk ke rumahnya. Zein merapikan anak rambut Keisha yang sedikit berantakan. Dia menghapus pula keringat di dahi, dan air mata di pipi gadis itu. Tidak berapa lama, wanita bergaun pengantin kembali dengan segelas air. Zein mengambil gelas darinya, kemudian memberikan kepada Keisha. "Minumlah dulu." Keisha menurutinya karena memang sangat haus setelah menangis. "Maaf, Milk. Kamu pasti terkejut. Tadi aku..." "Nggak apa-apa." Zein tersenyum kecil, lalu mengusap pucuk kepala Keisha. “Jangan terlalu banyak berpikir.” “Hemm…” Mencegah canggung di antara mereka, Zein mengalihkan topik pembicaraan. "Aku nggak tahu kamu bisa main harpa, Kei." "Memangnya kamu harus tahu semuanya tentang aku?" "Iya, dong. Kamu kan istri masa depanku." Kalimat terakhir diucapkan Zein dengan lebih pelan. "Hah?" "Coba mainkan lagu lain, Kei. Yang lebih bahagia." "Tadi kamu ngomong apa?" "Aku nggak bilang apa-apa." "Milki..." "Serius, aku nggak ada bilang apa-apa." Mata Keisha menyipit. "Aku penasaran. Kamu harus bilang." Zein tertawa pelan. Dia tahu Keisha paling tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Aku nggak mau bilang." "Kalau nggak bilang, aku akan buat kamu menyesal." Zein mengalihkan pandangan, tapi tidak mengatakan apa-apa. Meletakkan harpa, lantas Keisha mengambil kacamata Zein. "Kei, aku nggak bisa lihat kalau kacamatanya diambil." "Aku nggak akan kembalikan sebelum kamu bilang." Zein mencoba menggapai kacamatanya, tapi Keisha malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Saat dia coba meraihnya, gadis itu berdiri, lalu mundur. Sekali lagi dia ikut berdiri, dan dalam keadaan remang-remang mencoba menangkap gadis nakal itu. Tapi dia malah terjatuh. Keisha merasa lucu dengan ekspresi Zein yang meraba-raba. Dia pun tersenyum kecil. "Keisha! Kembalikan kacamataku!" "Ini, Milk. Ambil kalau kamu bisa!" "Nggak lucu, Kei." "Tapi aku merasa lucu lihat kamu kayak gitu." "Kalau aku menangkapmu, aku nggak akan melepaskanmu.” "Itu pun kalau kamu bisa menangkapku, Milk." Keisha sekarang berlari. Zein berlari juga meski beberapa kali harus tersandung batu dan menabrak ranting pohon. Keisha tertawa setiap kali Zein terjatuh dan mengotori wajahnya. Kesedihannya beberapa waktu lalu memang masih ada, tapi itu sudah berkurang setelah tertawa beberapa kali. Setelah sekian percobaan, Zein akhirnya berhasil mendorong Keisha sampai terjatuh, kemudian buru-buru menindih gadis itu agar tidak bisa kabur lagi. "Aku nggak akan lepasin kamu," kata Zein, lalu mengambil kacamatanya. Setelah mengenakan kembali kacamatanya, barulah dia tahu kalau pipi Keisha bersemu merah karena dia menekan d**a gadis itu. Dugh Keisha menjitak kepala Zein, lalu mendorong pemuda itu untuk menyingkir dari atasnya. "Dasar m***m!" "I-itu salah paham, Kei. Aku nggak lihat. Kei, jangan marah... Hei, Kei. Aku nggak bermaksud megang d**a kamu." "Kenapa malah kamu perjelas? Dasar nggak tahu malu!" "Lagian d**a kamu kan rata, belum tumbuh, Kei. Jadi nggak apa-apa kalau─" Keisha menendang betis Zein. "Auh!" "Menyebalkan!" keluh Keisha, lantas mengambil harpanya, dan meninggalkan Zein yang mengeluh kesakitan. Tanpa keduanya sadari, seseorang mengamati mereka sejak tadi. "Apa yang Tuan Muda lakukan di sini?" tanya Rey yang akhirnya menemukan Zen setelah mencarinya ke mana-mana. “Ada seseorang yang ingin membicarakan proyek masa depan dengan Tuan Muda.” Rey menghela napas. Tuan mudanya ini sangat suka tiba-tiba menghilang dan membuatnya lelah mencari. Zen masih memandang punggung Keisha ketika menjawab Rey. "Suara harpanya seperti memanggilku." "Huh?" "Dia tadi menangis. Sekarang dia tertawa." "Huh? Siapa, Tuan Muda?" Rey sama sekali tidak mengerti. "Saat dia menangis, aku merasa sangat kesal." "Anu, Tuan Muda, saya tidak mengerti arah perbincangan ini." Zen mengernyit. "Rasanya tidak nyaman melihatnya menangis." "..." "Sekarang semakin tidak nyaman." "..." "Aku tidak mengerti." Zen menatap serius Rey. "Aku suka melihatnya tertawa, karena dia jadi semakin cantik. Tapi tawanya karena orang lain, membuatku menjadi tidak nyaman. Ada yang lebih aneh lagi, Butler Rey." "Apa itu, Tuan Muda?" "Aku tidak ingin orang lain melihatnya tertawa. Aku hanya ingin dia tertawa di depanku." Rey sangat terkejut. Dia tahu sifat posesif tuan mudanya, tapi itu hanya berlaku untuk segala hal yang telah diklaim sebagai miliknya. Bagaimana itu bisa jatuh kepada gadis asing? Terlebih, dia manusia, bukan barang atau benda mati, Tuan Muda… "Apakah saya harus menjadwalkan konseling dengan Dokter Rafa?" Zen mengangguk. "Sepertinya sifat posesifku semakin parah. Aku bahkan mengklaim gadis asing sebagai milikku." Rey setuju. "Kita harus kembali sekarang, Tuan Muda." "Hemm." Zen sudah mengambil langkah pertama, tapi tiba-tiba berhenti lagi. "Butler Rey." "Ya, Tuan Muda." "Aku takut." "Takut apa, Tuan Muda?" "Takut kalau dia menangis lagi." "Huh?" "Aku merasa dia menangis karenaku." "…” “…” “Sepertinya kita harus konseling sekarang, Tuan Muda." "Benar." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD