"Adit ,,, kamu gak tahu mereka itu siapa?" aku mulai membuka obrolan sambil menunggu Adit menyalakan mesin mobilnya.
"Aku tahu, mereka itu staf di kantorku. Dan keduanya adalah partner yang cocok. Setiap aku memberi mereka tugas menemui client, ya selalu hasil bagus yang di dapat," pujinya.
"Kamu setuju mereka menikah?" tanyaku dengan raut wajah sedikit tak bersemangat.
"Kenapa tidak. Sandra perempuan yang cerdas, cantik, baik. Bara, dia juga sama, selain tampan, dia juga baik. Dan prestasinya di kantor juga luar biasa," pujinya lagi. Aku hanya terdiam. "Kenapa wajahmu murung?" lanjutnya.
"Hem … dia itu suamiku. Dan Sandra calon istri keduanya," ucapku lemas.
"Kalau Bara itu suamimu, berarti dia bukan suamimu lagi! Milka bilang dia sudah menceraikanmu."
Jlep … deg …
"Benarkah? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku?"
"Sori, Tiara. Aku keceplosan." jawabnya sambil terus mengendarai mobil.
"Gak apa-apa kok." Bukan apa, kenapa tidak ada yang memberi tahu, itu saja yang kusesalkan. Adit juga. Memang dia tidak tahu kalau aku istri Bara? Atau Mba Milka tidak menyebut nama Bara pada Adit? Entahlah. Kenapa kebetulan seperti ini.
"Dit, apa aku masih harus diet?" ucapku lagi.
"Kalau ingin ideal 3 Kg lagi. Kamu datang temani aku nanti diacara pernikahan suamimu." Aku melirik ke arahnya. Tentu saja lirikan protes.
"Maksudku mantan suamimu," lanjutnya.
"Dit memang kamu beneran tidak tahu Bara suamiku?"
"Bagaimana kutahu kalau Bara saja tidak pernah mengenalkanmu pada kami," seringainya.
"Oh, iya. Mungkin dia malu. Apa Mba Milka tidak bercerita padamu kalau Bara itu suamiku? Maaf banyak tanya," ucapku merasa tidak enak karena terlalu kepo.
"Milka hanya menyebut kamu dan mantan suamimu. Bukan Tiara dan Bara. Memang kenapa? Kamu sedih ditinggal Bara? Kalau kamu mau, kamu bisa dapatin dia lagi," cetusnya dengan wajah sedikit datar. Ih kok aneh banget gini.
"Enggak, Dit. Aku gak ada rasa lagi untuk Bara. Rasaku telah mati. Yang tersisa hanya luka dan sakit hati atas hinaan-nya," jawabku dengan menunduk tanpa menatap Adit.
Tiba-tiba saja tangan halus itu menyentuh tanganku dan memegangnya erat. 'Ya ampun, Adit. Apa maksudnya ini?' Adit menyetir dengan satu tangan, dan satu tangan lagi memegang tanganku. Aku tidak berani menoleh menatap wajahnya. Wajah yang tadi sempat terlihat datar, kini berubah penuh senyuman.
"Dit, lepaskan tanganku. Konsentrasilah dalam berkendara."
"Maaf, Ra," jawabnya sambil tersenyum dan melirikku.
Tidak ada pembicaraan lagi sampai tiba di kontrakanku.
****
"Ra."
Dit."
Kami memanggil nama masing-masing secara bersamaan. Udah persis kaya di film-film yang sering kutonton. Aduhhhh … jadi malu aku. Dekat dengan Adit, kenapa jiwaku terasa kembali muda. 'Aihh … Tiara … ampun deh.'
"Kamu dulu, Ra," ucapnya. Kami masih berada di dalam mobil.
"Biar gak mirip kaya di film-film. Ya udah deh aku ngomong duluan. Makasih ya, belanjaannya banyak banget," ucapku seraya membuka pintu mobil. Baru kaki ini hendak melangkah, Adit menarik pergelangan tanganku, kan kaya di film-film lagi. 'Adit … jangan bikin Tiara baper dong! Huhuhuhuhu' tapi jujur aku bahagia.
"Apa, Dit?" Aku mau masuk," ucapku penuh debaran menahan malu. Tapi seneng … huhuhu … hik … hik …
"Ya ampun, Adit … jangan deket-deket!" Aku mendorong wajahnya sedikit menjauh dariku.
"Lagian siapa yang mau deket-deket! Itu kamu mau keluar tapi sabuk pengaman belum di lepas!" cetusnya penuh tawa. " Hahaahahha GR si!" lanjutnya. Kucubit pinggangnya hingga dia menyeringai kesakitan, lalu kulanjutkan membuka pintu dan segera keluar melepaskan diri dari mobil Adit.
"Ra!" Panggilnya lagi. Adit ikut keluar dari mobilnya.
"Apa lagi, Dokter Adit?" tanyaku menegaskan.
"Kamu jomblo kan?" godanya. Si Adit bener-bener.
"Iya, terus kenapa?" jawabku bingung.
"Boleh gak aku bilang I Love You?" ucapnya. Deg … 'Adit … jantungku mau copot ,,, nyut-nyutan, Dit'
"Enggak bolehlah! Jangan asal deh! Jangan suka mainin perasaan! Entar naksir beneran," jawabku. Ya ampun, kenapa aku seperti muda kembali.
"Emang kamu tahu artinya?"
"Tahulah! Emang aku bocah! Gini-gini udah punya anak dua!" ketusku.
"Apa coba?" Bener-bener ini orang minta di unyeng-unyeng. Tapi aku suka gaya bercandanya. 'ckckkckcck'
"Aku cinta kamu," jawabku.
"Makasih, Tiara! Aku juga!" ucapnya berteriak seraya berlari masuk ke dalam mobil.
Tanpa berpamitan, Adit langsung menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya menatap kepergian mobilnya sambil sesekali mengukir senyum.
'Dasar gokil!' Kenapa justru aku merasa bahagia berpisah dari Bara'
Terima kasih Bara! Karena kamu meninggalkanku, aku bisa melanjutkan persahabatan dengan Adit. Iya, hanya persahabatan, perasaan Adit mungkin saja hanya untuk bercandaan. Aku tidak mau terlalu banyak berharap. Karena itu sudah pasti amat menyakitkan jika tidak sesuai harapan.
Kembar … Bunda bahagia … Sebentar lagi Bunda bisa berjumpa kalian.
Ingin rasanya menelepon, tapi ….
Oh iya, ponselku … berapa bulan aku tidak menyentuhnya … pagi, siang malam, aku fokus pada tubuhku hingga melupakan ponselku …. ya Tuhan …
Dengan perasaan senang aku bergagas masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu menuju kamar, meraih ponsel dan membaringkan badan.
Tapi … kenapa otakku harus berisi Adit… masa iya aku jatuh cinta beneran sama dia. Tahan diri Tiara, jangan gegabah apalagi over … ingat, kamu ini perempuan, jatuh cinta seperti apapun pada laki-laki, tahan diri … iya, kalau Adit serius, kalau cuma bercanda gimana? Aku janda dia jejaka, mana mungkin … lagi dan lagi kutepis perasaan cinta untuk Adit.
Dit … sebenarnya perasaan apa si yang kamu punya untuk aku? Jujur, aku mengharap cinta darimu, tapi cinta ini biarlah aku yang rasa. Bagaimana tak tumbuh rasa cinta, kalau perhatianmu begitu besar untukku ….
***