Sumber Masalah

1101 Words
Hari pernikahan tinggal dua hari lagi, persiapan mendadak bisa ditangani dengan sangat baik. Akila dan Brian menyiapkan semuanya dengan sangat baik. Seperti sekarang, Brian dan Akila sedang berada di gedung pernikahan mereka nantinya. Mereka berbicara dengan W.O untuk membahas berbagai macam. Akila yang akan menikah itu dengan senang hati mengatakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini juga. "Tapi, Mbak. Saya maunya gapuranya diberi agak lebar di sini, sama pelaminannya tolong dibuat agak besar, lebar sampai sini," ucap Akila berjalan ke ujung ruangan. "Sama tolong siapin bunga mawar merah di sisi ini lagi ya." "Iya, Kak. Mawar merahnya baru kita pasang pas malamnya," jawab wanita yang bertugas menjadi W.O. Brian hanya melihat dari kejauhan, dia terlalu lelah ikut bicara. Sampai akhirnya telpon berbunyi, itu dari Anasta. Brian mengangkatnya di tempat lain, tidak ingin Akila mengetahuinya. "Hallo, An Sayang? Kenapa?" "Aku mau kita ketemu. Di hotel biasa. Cepetan." "Tapi aku lagi nemenin Akila, An." "Kalau kamu gak mau ketemu sama aku, kita jangan pernah ketemu lagi." "Oke oke oke, aku kesana sekarang," ucap Brian menutup telpon, dia menarik napas dalam dan mendekat pada Akila. "Kila, Kakak harus pergi deh, ada masalah di caffe pusat." "Masalah apa, Kak? Semuanya baik baik aja kan?" "Kakak periksa dulu ya, kamu masih lama kan? Nanti kakak ke sini lagi." "Yaudah hati hati ya." Brian mengangguk dan pergi meninggalkan Akila sendirian di sana. Dia bergegas menuju hotel tempat dimana Anasta menunggu kedatangannya. Brian memasukan nomor pin kamar sebelum masuk, dia langsung mendapati Anasta sedang duduk sambil menyilangkan tangannya di d**a. "Lama banget sih kamu, Brian." "Maaf, Sayang. Aku tadi di gedung pernikahan, dua hari lagi kan aku nikah sama dia." Brian berjongkok di depan Anasta dan melingkarkan tangannya di pinggang perempuan itu. "Kenapa? Ada masalah apa?" "Kamu gak bisa nikah sama dia, kamu harus nikahin aku." "Hei, what? Kenapa mendadak? Jangan bercanda, Anasta." "Aku gak bercanda," ucap Anasta mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Aku hamil. Kamu inget kan kita gak pernah pake pengaman kalau lagi anu?" Seketika tubuh Brian menengang. "Kamu serius? Kamu hamil?" "Oh, kamu gak mau tanggung jawab? Oke fine!" "Bukan gitu, An," ucap Brian menahan Anasta yang hendak beranjak pergi. "Aku bahagia, aku seneng banget. Kamu tau aku emang mau sama kamu selama ini." Anasta menyeringai saat merasakan Brian memeluknya. "Jangan nikah sama si Akila Akila itu ya." "Tapi….." "Aku yang jadi istri kamu." "Papah aku pasti gak izinin, dia pasti marah apalagi dibatalin sedeket ini. Undagan udah nyebar." "Kamu jangan datang pas hari-H, kamu nikahin aku sekarang juga. Secara agama dulu juga gak papa." "Keluarga kamu di Oxford mau pulang?" Anasta menelan ludah kasar, dia sensitif jika membahas keluarga. "Eggak, tapi mereka udah kasih izin. Kamu mau gak nikahin aku?" "Mau dong, aku mau. Masa aku nganggurin anak professor, udah cantik, kaya lagi, ngandung anak aku lagi. Makasih, Sayang," ucap Brian menelusupkan wajahnya di perut itu. Anasta berdehem. "Kamu tetep di sini ya sekarang, anaknya mau dijenguk Ayahnya." "Gak akan aku sia-siain." "Kamu gak akan ke gedung itu lagi? Kamu lagi di sana kan?" Brian mengangguk sebelum memangut ciumannya dengan Anasta, tangannya yang berada di pinggang perempuan itu menjalar ke d**a. "Di sini aja sama calon ibu dari anak anak aku." Anasta terkekeh. "Kasian tuh pacar kamu." "Iya sih." Brian melepasan pangutan mereka. "Tapi aku lebih gak bisa jauh jauh dari kamu." ****** Akila masih menunggu kedatangan Brian, dia menunggu di gedung pernikahan sebelumnya. Hujan deras membuat Akila mematikan telpon, apalagi petir begitu besar dengan kilat yang membahayakan. Membuatnya benar benar ketakutan. Para anggota kru W.O sudah pulang dan akan datang lagi besok, di sini hanya ada penjaga gedung, dan dia berada di ruangan di belakang. Akila semakin ketakutan saat guntur terus berbunyi disertai kiltan cahaya. "Kak Brian dimana sih….," Lirihnya ketakutan. Akila menunggu di dalam, dia duduk termenung seorang diri. Sampai telinganya mendengar orang mendekat dan membuka pintu. Dia menatap sumber suara seketika. "Om?" Tanya Akila melihat kedatangan calon papah mertuanya. dia belum berani memanggilnya Papah. "Ayo pulang, saya anterin." "Kak Brian nya kemana?" "Brian ada urusan, tadi dia nelpon saya. Ayo saya anterin." Akila canggung, tapi mau bagaimana lagi. Dia ingin pulang dan memeluk ibunya karena takut petir. Kris membawa Akila keluar, memakai payung satu berdua menuju mobil yang terparkir di depan gedung. Akila lega saat dia sudah berada di dalam mobil dan Kris mulai mengemudikanya. Ini sangat canggung, begitupun untuk Kris. Seharusnya Andre yang berada di sini menjemput Akila, tapi berhubung Andre sedang melihat proyek baru mereka, Kris terpaksa melakukannya. Jika dipikir pikir dia juga belum dekat dengan calon menantunya itu. Suasana hening di mobil mendominasi. "Udah kenal Brian sejak kapan, Dek?" Tanya Kris membuka percakapan. "Eum, sejak SMA." "Sebelumnya gak kenal satu sama lain?" "Enggak, kenal pas pertama masuk SMA. Soalnya SD sama SMP kita beda sekolah." "Kenapa mau nikain, Brian? Dia kalau libur jadi bangke, gak pernah bangun. Saya aja banguninnya harus pake 10 pembantu." Akila tersenyum. "Terlanjur sayang, kalau ditunda tunda kan gak baik." "Tapi nanti kalau udah nikah, kuliah tetep dilanjut kan, Dek?" Kris memanggilnya dengan embel embel adek supaya lebih nyaman. Lagipula mereka memang terpaut cukup jauh yakni 18 tahun. "Tetep, saya gak mau pernikahan merubah impian saya." "Mau jadi apa memangnya?" "Pekerja kantoran, biar keren." "Keren gimana? Yang ada pusing ngurusin berkas." Akila hanya diam sambil tersenyum canggung, Kris terlihat sangat dingin, bahkan dalam nada bicaranya saja terdengar dipaksakan untuk membuka suatu percakapan. Membuat Akila memilih tidak menjawab lagi supaya Kris tidak terdengar terpaksa bicara dengannya lagi. Begitu sampai di depan rumah, Kris kembali mengambil payung dari jol belakang hendak mengantarkan Akila sampai ke rumah sebagai bentuk kesopanan. Sampai Akila berkata, "Orangtua saya biasanya belum pulang kalau jam segini." "Masih di pabrik?" "Iya." "Kalau gitu saya gak turun, ini payungnya pake." "Terima kasih…..," ucapan Akila menggantung, kemudian disambung dengan kata, "Om," Dengan begitu kecil, bahkan hampir tidak terdengar. "Hati hati, Dek," ucap Kris santai. Setelah memastikan Akila masuk ke rumah, dia melajukan mobilnya kembali. Kris kembali menelpon Brian. "Hallo, Pah? Udah dianterin?" "Udah, lain kali kamu kalau ada urusan pulangin dulu anak orang, jangan gitu." "Iya, Pah. Brian pulangnya agak maleman. Biar kerjaan beres semua." "Oke," ucap Kris singkat kemudian menutup panggilannya. Dia menarik napasnya dalam, sebenarnya Kris ragu membiarkan Brian menikah. Tapi dia mencoba mempercayai anak yang telah dia besarkan selama 15 tahun itu. Apalagi menghalangi kebahagiaannya, Kris bukanlah type pria yang seperti itu. seperti katanya dulu, asal Brian bertanggung jawab dengan hidupnya, dengan pilihannya, Kris akan baik baik saja. "Semoga Papah besarin kamu dengan benar, Nak. jangan kecewain Papah." karena selama ini Brian menjadi sosok yang begitu penurut. di sisi lain, Kris selalu takut jika suatu saat nanti Brian akan membuatnya kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD