Aku tertawa kecil mendengar kata-kata Mama.
Nisa keluar dari belakang dan membawa dua buah gelas teh hangat diatas nampan. Karena nggak ada meja, dia mengambil satu kursi plastik lagi dan meletakkan nampan itu diatasnya.
Nisa berniat balik lagi ke belakang tapi aku memegangi tangannya. Tak ada yang perlu disembunyikan dari Nisa kan?
Nisa tersenyum kecil lalu berdiri di sebelahku.
Mama melihat kami berdua dengan tatapan sedih.
"Han, kamu tahu nggak kalau Putri tu cinta mati sama kamu?" tanya Mama kemudian.
"Aku tahu Ma," jawabku.
"Kamu tu nggak tahu," sungut Mama dengan suara sedikit keras.
Aku dan Nisa kaget.
Eh? Apaan sih?
Dan yang bikin lebih ngenes lagi, Mama terlihat mau menangis setelah ngomong kek tadi.
Aku dan Nisa kebingungan.
"Ma?" tanyaku pelan banget ke arah wanita yang terlihat sedih banget itu.
"Kamu tu nggak tahu seberapa cintanya Putri ke kamu," kata Mama dengan suara pelan diselingi isak tangis.
"Putri tu rela ninggalin keluarganya demi kamu!" kata Mama.
"Putri bahkan sampai diusir sama Papanya demi kamu!"
"Mama aja sekarang nggak tahu Putri tinggal dimana? Makan sama apa? Gimana hidupnya? Papa sudah nggak ngasih lagi dia uang kuliah dan biaya hidup selama 2 minggu ini. Kamu tahu soal itu nggak?" tanya Mama dengan nada emosional.
Aku kaget.
Sumpah. Aku nggak nyangka kalau Putri sekarang ngalamin itu. Dan si doi nggak pernah sekalipun cerita sama aku soal ini.
Pantes saja selama dua minggu ini tu anak tak pernah mau di vc. Dan dengan gebleknya aku justru berpikir kalau si Cantik punya affair sama cowok lain.
Sempakkk.
Aku memang b*****t. Laki macam apa aku ini? Cewekku kena masalah seberat ini tapi aku tak tahu dan justru malah nyurigain dia.
Tanpa mempedulikan Mama atau Nisa, aku berdiri dan mengambil hpku di meja.
Aku menelpon Putri sambil berjalan keluar dari bengkel. Ini urusanku sama Putri.
Lama panggilanku tak dijawab.
Aku menelpon lagi. Masih tak ada jawaban.
Panggilan ketiga kulakukan.
Mau seribu kali juga bakalan aku ulangi sampai tu anak jawab.
Di panggilan keempat barulah ada jawaban.
"Put?" tanyaku.
"Apaan sih Yang? Tumben telepon sampai empat kali. Kangen banget ya?" tanya Putri sambil tertawa kecil dari seberang sana.
Aku langsung trenyuh.
Putri oh Putri. Segitunya sih kamu? Masih bisa bercanda seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Kamu lagi dimana Put?" tanyaku.
"Ini masih di kampus. Kan jam segini, Yang?" jawab Putri.
"Aku kangen. Pengen ketemu. Habis ini aku ke Salatiga ya?" tanyaku.
"Eh?" Putri terdengar kaget.
"Napa?" tanyaku.
"Jangan. Putri enggak enak sama Om. Nanti Om ngadu ke Papa," jawab Putri ngeles dan ngasih alasan.
Aku tersenyum pahit.
Dah jelas dia bohong. Mamanya aja lho bilang kalau dia ndak tinggal lagi disana.
Tapi entah kenapa aku nggak bisa marah untuk kebohongan Putri.
Kebohongan yang manis dan membuatku sadar kalau Si Cantik emang udah dewasa banget dan bukan lagi gadis remaja yang dulu membuatku hilang perjaka.
"Put... Aku tu sayang kamu. Kamu tahu itu kan?" tanyaku.
Tak terdengar suara jawaban dari seberang sana.
"Put??" tanyaku.
Masih tak terdengar suara jawaban dari seberang.
Setelah beberapa saat kami terdiam, "Putri tahu Yang. Putri juga sayang sama Ayang. Banget," jawab Putri.
Aku tahu kalau dia nangis.
"Aku kangen sama Putri dan pengen ketemu. Boleh?" tanyaku pelan.
"Boleh..." jawab Putri sambil terisak-isak.
"Sekarang kasih tahu, Putri tinggal dimana? Habis ini aku ke Salatiga," kataku.