Kencan?

2019 Words
Tok! Tok! Tok! Si pemilik kamar berdecak, lalu dengan kesal dia berseru, "Masuk aja kali, Mah! Pakek ketuk pintu segala." Tanpa ragu si pengetuk memutar gagang pintu, lalu mendorongnya perlahan. Hanya setengah, tetapi sudah cukup untuk melihat aktivitas sang pemilik kamar. “Wow! So, damn hot!” seru si pemilik suara bariton, membuat Kirana terkejut luar biasa. Nyaris saja gadis itu mengeluarkan umpatan. Pasalnya, saat ini Kirana hanya mengenakan celana jeans dan sport bra hitam. “Ngagetin aja lo,” protes Kirana sambil memakai blouse sifon berwarna broken white dengan santainya. Bastian atau lebih akrab disapa Ibas—sepupu Kirana dari pihak Papa— melenggang masuk dan langsung duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Kirana yang sedang membenahi tatanan rambutnya. Dari pantulan cermin, Kirana dapat melihat jika sepupunya itu sedang tertawa tanpa suara sambil menggeleng. "Kelamaan kuliah bikin otak lo geser, ya, Bas?" Sontak dokter residen itu berhenti tertawa. "Sembarangan, lo!" Bastian adalah calon dokter kandungan. Keluarga besar Danu memang menggeluti dunia medis. Hanya Kirana yang keluar jalur. Bukan karena otaknya tidak mampu, hanya saja dia tidak suka belajar. Menyelesaikan S1 saja sudah cukup baginya. Setidaknya dia punya gelar di belakang nama. "Lah, terus kenapa lo ketawa-ketawi nggak jelas?" "Gue ngetawain nasib lo, geblek!" Gerakan tangan Kirana yang sedang memoleskan liptint berhenti, di dahinya tercetak beberapa lipatan. Gadis itu menoleh, menatap lekat Ibas. "Nggak usah dibahas," pinta gadis itu ketika sadar arah perkataan Ibas. "Masa salah satu most wanted SMA Bima Sakti nikah sama duda. Miris banget nasib lo, Ki," ejek pemuda itu. Detik berikutnya sebuah lip cream mendarat tepat di dahi Ibas. "Sakit, bego!" pekiknya sambil mengelus dahi. "Biar duda tapi dia lebih ganteng dari lo," bela Kirana. "Tapi dia lebih tua dari mas Bima. Jangan lupa ada ekornya dua. Mana udah remaja lagi. Otw jadi oma-oma lo!" Ibas merespon dengan bersungut-sungut. "Anjrit! Bener juga, nih, si Domes. Masa iya, gue masih muda jadi oma-oma?" batin Kirana mengingat usia calon anak tirinya. "Bagus, dong! Artinya dia udah pro. Buktinya sekali nyemprot yang jadi langsung dua. Bisa nggak lo?" Tantang Kirana tak mau kalah tanpa membahas usia si calon anak tiri. "Bisa lah! Jaman sekarang per—" "Yang alami, dong. Hasil goyangan dan racikan lo sendiri. Bukan kecanggihan alat medis," sela Kirana cepat. "Anjrit! Bahasa lo kayak orang yang udah pernah ngelakuin aja." "Gue bukan lo yang doyan bercocok tanam di sembarang lahan!" Kirana sudah selesai berdandan. Tangan gadis itu bergerak lincah memasukkan dompet dan ponsel pada sling bag hitam. "Kalau ada yang berbuah, bisa habis tuh si tole dicincang Om Beni." Dibandingkan dengan Kirana pergaulan Ibas memang jauh lebih bebas. Dia adalah makhluk yang tidak suka dibatasi pergaulannya. Jadi, daripada berkomitmen dengan satu wanita dia lebih suka menjalin cinta satu malam. "Dek! Mas-mu udah datang." Perdebatan keduanya dihentikan oleh suara Astika dari balik pintu. Kirana berdecak sebal. "Bentar, Mah!" sahutnya malas. Hari ini Kirana dan Satya untuk pertama kalinya akan pergi berdua. Mereka akan mengunjungi toko perhiasan untuk membeli cincin dan ke butik untuk melakukan fitting baju pengantin. Sesuai kesepakatan keluarga, pernikahan keduanya akan dilaksanakan di salah satu hotel bintang lima di Surabaya. "Udah ditungguin, tuh, sama Sugar Daddy lo," ejek Ibas tersenyum puas melihat wajah sepupunya yang semakin tertekuk, dan langsung mendapat tatapan mematikan dari yang Kirana. Kirana menggantungkan sling bag-nya di bahu kiri, kemudian kembali memperhatikan penampilan di standing mirror. Celana jeans, blouse, sling bag, flat shoes dan rambut yang dibuat sedikit ikal. "Kayak mau ngantor aja," batinnya. Ini bukan style-nya. Penampilannya hari ini adalah saran—lebih tepatnya perintah— dari Astika. Setelah dirasa sempurna gadis itu melangkah menuju pintu kamar. Kirana memejamkan mata, menarik nafas dalam lalu mengembuskannya perlahan sebelum keluar kamar. Dia perlu mempersiapkan mental baja sebelum berhadapan dengan si duda gemblung. "Semangat, Ki. Jangan lupa minta transferan yang banyak." Ibas kembali bersuara sebelum Kirana benar-benar keluar dari kamar itu. Wajah sumringah Ibas berubah sendu saat pintu kamar kembali tertutup dengan cukup keras. Embusan nafas kasar keluar begitu saja. Dia melangkah gontai menuju balkon. "Semoga Om Danu nggak salah pilih," lirihnya saat mobil jenis SUV berlalu membawa Kirana. *** Tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Satya fokus pada jalanan, sedangkan Kirana sibuk dengan ponselnya. Bahkan hingga mereka memasuki gerbang Tol Pandaan. Sesekali Satya melirik Kirana yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar persegi panjang itu. Wajah serius gadis itu mengundang rasa penasaran Satya. "Dasar bocah. Main Hp terus." “Ehemm!” Dehaman Satya tidak mampu menarik perhatian Kirana. Memang tidak mudah mengalihkan fokus gadis itu jika sedang menjelajahi dunia khayal. Tidak mendapat respon dari gadis yang tiga minggu lagi akan menjadi istrinya, membuat Satya semakin kesal. Entah mengapa dia tidak suka situasi seperti ini, hening tanpa obrolan. Padahal, dia termasuk orang yang irit bicara, terlebih pada orang yang baru dikenal. Terus terang saja, sejak pertemuan malam itu Satya selalu memikirkan Kirana. Gadis itu berhasil membuatnya penasaran, hingga rela membuang waktu yang menurutnya sangat berharga hanya untuk menyelidiki calon istrinya tersebut. “EHHEMM!” Kali ini Satya bereham lebih keras dan itu sukses menarik perhatian Kirana. Gadis itu meletakkan ponsel yang sejak tadi dipegang. Kemudian, tanpa menoleh dan mengeluarkan suara dia mengulurkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dilonggarkan pada Satya. Satya menoleh ke kiri saat sesuatu menyentuh lengannya. Embusan napas kasar kembali lolos saat melihat Kirana masih setia menekuri ponsel dengan ibu jari kiri yang bergerak lincah menyentuh huruf-huruf di layar. Tak kunjung mendapat sambutan, Kirana menoleh dan menatap heran pada pria berkacamata hitam itu. "Ini," ujarnya, kembali menyenggol lengan Satya dengan botol. "Bukannya tenggorokan Om sakit?" Kirana berusaha berbicara sedikit lebih sopan, dengan memanggil Satya dengan sebutan Om. Satya berdesis kesal, mengeratkan gigi hingga tulang rahangnya ikut mengeras. "Nggak!" jawabnya ketus. Kali ini Kirana yang berdecak kesal, menggerutu tidak jelas sambil merapatkan tutup botol itu dan meletakkannya kembali di cup holder. Kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. “Main game terus,” sindir Satya. “Siapa juga yang lagi nge-game. Jangan sotoy, deh, Om!” balas Kirana tak terima. “Terus kamu ngapain dari tadi ngutak-ngutik HP kalau nggak main Tetris?” “Lagi nyalurin hobi yang bisa jadi cuan.” Masih dengan menatap layar ponselnya. Kali ini membaca komentar dari para pembacanya. “Cuan? Kamu Trader?” tanya Satya menyelidik. Kirana mendengkus. Dia lupa jika sedang berbicara dengan seorang duda workaholic— itu kata mamanya—yang jarang bersosialisi. Pasti pria itu mengira jika dia adalah pemain saham. Kirana menyudahi aktivitasnya. Dia sudah tidak bisa fokus karena Satya terus-terusan mengajaknya berbicara. “Cuan itu uang, Om. Cuan sekarang nggak cuma dipakai dalam dunia bisnis dan investasi,” papar Kirana. Satya mengangguk, tanda mengerti. Dia menoleh sekilas ke kiri saat tidak mendengar lagi suara calon istrinya. Rupaya Kirana sedang menatap keluar jendela samping. “Ck.” Lagi, Satya mengeluarkan decakkanya. Dia sendiri bingung kenapa dia bisa sekesal ini hanya karena Kirana mengabaikannya. Kenapa rungunya jadi mencandui suara gadis itu. “Kenapa, sih, om dari tadi cak-cek cak-cek? Kayak cicak nyari nyamuk aja,” Kirana berujar kesal. “Ya, kamu kenapa diam aja?” balas Satya. “Terus gue mesti ngapain?” “Ajakin saya ngobrol lah! Masa dari tadi kamu diamin saya.” Perkataan Satya membuat Kirana tercengang. "Supir taksi aja masih diajak ngobrol sama penumpangnya." Satya melirik Kirana yang sedang menatapnya dengan alis mengernyit dan mulut yang sedikit terbuka. “Maksud saya, saya kan tadi sudah tanya tentang kamu, sekarang giliran kamu yang tanyain saya,” kilah Satya salah tingkah. "Kapan dia tanya? Maklumi Kirana, dia sudah tua jadi gampang lupa." Kirana membatin. “Kenapa gue harus tanya?” “Kita kan mau menikah. Jadi, harus saling mengenal satu sama lain.” “Tapi gue nggak pengen tahu apapun, gimana dong?” Sontak saja kalimat itu membuat Satya semakin terbakar. Bisa-bisanya gadis ini tidak penasaran dengan dirinya, padahal diluar sana ada banyak wanita yang sering mencari informasi tentang kehidupan pribadinya. “Gini aja, deh. Om aja yang cerita,” lanjut Kirana. Satya menarik nafas dalam untuk meredam emosi yang tersulut karena Kirana. “Kita buat perjanjian dulu,” usul Satya. “Perjanjian pra-nikah? Nggak usah, deh. Gue nggak tertarik sama harta Om soalnya punya bonyok gue juga banyak, belum lagi warisan usaha apotek dari Akung dan kos-kosan dari Mama,” ujar Kirana sombong. “Bukan itu. Makanya dengerin dulu saya ngomong,” timpal Satya gemas. “Terus apa?” “Pertama, tolong ubah cara bicara kamu ke saya …,” Satya tidak suka dengan cara bicara Kirana yang ala anak ibukota. “yang kedua, jangan panggil saya Om, saya bukan Om kamu saya calon suami kamu.” “Kalau gitu, Om juga harus ngelakuin hal yang . Berasa ngomong sama Dosbing tau,” tawar Kirana “Oke.” Satya menyetujui. Hening beberapa saat, hingga akhirnya Satya menceritakan tentang dirinya yang pernah di usir karena mempertahankan hubungan dengan sang kekasih dan menikah tanpa restu. "Aku pikir kehadiran anak bisa bikin Ibu luluh." "Tante nggak suka sama anak-anak?" tanya Kirana. Dia sepemikiran dengan Satya, anak bisa jadi jembatan penghubung untuk hubungan keluarga yang putus. Itulah yang pernah dia terapkan dalam salah satu novelnya. "Bukan anak-anak, tapi ibunya." Satya melanjutkan cerita tentang perubahan sikap Sinta setelah gagal meluluhkan hati sang ibu. Sinta yang bekerja tanpa izin dan perselingkuhan wanita itu yang berakhir dengan perceraian mereka. "Jadi, si kembar nggak pernah ketemu sama ibunya lagi?" Kirana sedikit terkejut saat Satya mengatakan jika Sinta menyerahkan anak-anak mereka begitu saja. Satya menanggapi pertanyaan itu dengan gelengan. Satya juga menambahkan tentang penyesalannya karena melawan orang tua. “Jadi itu alasan kenapa Om — Ck, maksudnya kamu nggak nolak dijodohin?” Kirana menyimpulkan. “Salah satunya itu. Aku berkali-kali ngenalin Ibu sama perempuan, tapi selalu ditolak.” jawab Satya. "Kenapa?" "Katanya mereka nggak baik." "Darimana Tante tau mereka nggak baik?" Satya mengedikkan bahu, tak tahu. "Kok, bisa nggak tahu, sih! Harusnya, kan Om — ish, kamu belain mereka, dong!" sewot Kirana yang masih belum terbiasa menghilangkan panggilan 'Om' pada Satya. "Kok, kamu yang sewot, sih!" protes Satya. "Ya, kan harusnya kamu belain mereka, bantu mereka buat yakinin Tante. Bukan pasrah gitu aja." "Kenapa kamu jadi banyak omong?" "Tadi gue diem, lo marah, sekarang gue bicara, marah juga." Kirana melanggar perjanjian. "Susah, ya, ngomong sama orang tua. Cerewet!" "Saya belum tua, ya!" Satya pun ikut melupakan perjanjian mereka. Atmosfer yang semula sejuk seketika berubah menjadi panas karena perdebatan keduanya. "Belum tua gimana? Anak udah dua, umur udah mendekati kepala 4. Dari segi apa lo ngerasa muda?" "Wajah!" jawab Satya tegas. "Nih, ngaca!" Kirana menunjuk spion tengah. Lalu beralih menunjuk beberapa bagian di wajah Satya sambil berkata, "Kerutan dipinggir mata udah mulai keliatan. Di bawah mata juga! Noh, lagi, garis senyum udah jelas. Intinya lo udah kriput!" papar Kirana. "Itu karena saya sering begadang ngurus kerjaan." Satya membela diri. "Nah, itu juga salah satu tanda kalau lo udah tua. Sibuk ngurus kerjaan sampe nggak punya waktu buat having fun." Satya terdiam. Di tidak tahu mau memberi tanggapan apa. Sekali lagi dia kalah dalam perdebatan sengit dengan Kirana. "Kicep kan lo!" Kirana tersenyum puas. Hening untuk sesaat. Mereka sama-sama mengatur nafas yang memburu, meredam emosi yang sempat tersulut. “Kamu …," Satya kembali membuka percakapan untuk mengurai suasana tegang. "kenapa suka ke klub malam? Padahal kamu tau kan tempat kayak gitu nggak aman.” Kirana tidak terkejut jika Satya mengetahui kebiasaanya. Tidak ada yang ingin dia tutupi hanya demi terlihat baik di mata pria itu. “Nggak ada alasan yang spesifik. Cuma cari hiburan aja,” jawabnya santai. “Nggak usah mikir macem-macem. Pergaulan gue nggak sebebas itu. Bisa dicincang habis sama Mas Bima kalau sampai melewati batas,” sangkal Kirana saat menyadari tatapan Satya yang penuh kecurigaan. "Kok, saya nggak percaya." Rasanya tidak mungkin perempuan yang biasa masuk ke tempat seperti itu bisa pulang dalam keadaan utuh, begitu pikir Satya "Nggak ada yang maksa lo buat percaya. Gue cuma berusaha ngomong jujur." Suasana kembali hening. Kirana memilih untuk memejamkan mata, sedangkan Satya sibuk memikirkan ucapan jujur Kirana. Di zaman seperti ini apalagi dengan kebiasaan gadis itu, rasanya tidak mungkin jika masih utuh. Satya masih berharap ada sesuatu dari gadis itu yang bisa digunakan untuk membatalkan perjodohan ini. Dia belum siap menjadi bahan bully-an oleh teman-temannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD