Sekutu

2031 Words
Setelah melewati lebih dari sembilan puluh menit perjalanan, mereka tiba di salah satu mall yang ada di ibukota provinsi Jawa Timur. Satya menahan tangan Kirana yang akan membuka pintu mobil. "Apaan, sih?" "Kita bikin peraturan dulu." Kirana kembali mengernyitkan dahi, heran. Sepertinya Kirana harus menambah budget untuk perawatan di dokter kecantikan Terlalu lama bersama Satya memberikan efek yang kurang baik untuk kulit wajahnya. "Susah, ya, berurusan sama orang—" "Saya nggak tua Kirana!" sela Satya gemas. Kenapa gadisnya ini suka sekali mengatakan hal tersebut. "Ck! Iya, iya, nggak tua cuma kematengan. Buruan!" desak Kirana tak sabaran. "Jangan panggil Om, jangan pake lo-gue, dan …," Satya sedikit ragu untuk mengatakan peraturan yang terakhir. "Dan berakting layaknya pasangan kekasih. Ya 'kan?" Kirana melengkapi kalimat Satya yang terputus. "Iya," jawab Satya yang langsung keluar dari mobil dan disusul Kirana yang masih menggumam kesal. "Kebanyakan bikin aturan, kayak guru BK." Keduanya sama-sama berdiam di sisi mobil. Kirana menghela nafas panjang untuk meredam emosi dan mempersiapkan diri untuk jadi gadis penurut. Berbeda dengan Satya yang menghela nafas untuk mengurangi rasa gugupnya. "Ayo!" ajak Kirana membuat Satya terkejut. Bukan suara gadis itu, melainkan aksi yang menyertai ajakan tersebut sukses membuat jantung Satya berdetak dua kali lipat. Satya menatap tangan kanannya dan Kirana bergantian. Sambil membatin, merutuki jantungnya yang durhaka. "Katanya tadi disuruh akting. Gimana, sih!" ujar Kirana kesal sembari melepaskan rangkulan pada lengan kanan Satya, lalu meninggalkan Satya yang masih terpaku di tempatnya. "Sial! Kenapa aku kayak Abg kasmaran." Satya meraba dadanya yang berdebar tak karuan. Gelenyar aneh mulai merambati tubuhnya. Membangkitkan sesuatu yang pernah dia rasakan bertahun-tahun lalu. Dia menggeleng, menyangkal apa yang berhasil disimpulkan otaknya. "Nggak mungkin aku tertarik sama bocah kayak dia." Dengan langkah lebar Satya menyusul. Setelah mampu menyamai langkah Kirana, Satya langsung merangkul pinggang ramping gadis itu. Kirana berjingkat dan hampir mengumpat jika saja Satya tidak lebih dulu menyela dengan suara tegas. "Jangan protes!" Seringai jahat terbit dari bibir Kirana. "Oke. Kita ikutin alurnya. Siapa nanti yang bakalan baper." Kirana membatin. Keduanya seperti sedang bersaing untuk meluluhkan hati satu sama lain. Gadis itu menyelipkan tangan di bawah tangan Satya, merangkul pinggang dan merapatkan tubuh pada pria itu. Satya menoleh, sedikit menunduk untuk menatap Kirana. Sialnya, gadis itu membalas tatapannya dengan senyuman manis yang terlihat natural. Satya terpana, terpesona melihatnya. Tanpa sadar bibirnya juga tertarik ke atas bersamaan dengan debaran jantung yang semakin kuat. Mungkin Kirana saja bisa mendengar suara gedoran jantungnya. Berjalan beriringan hingga ke lantai tiga pusat perbelanjaan itu. Tidak lagi saling merangkul, sekarang tangan mereka saling bertautan. Bergandengan mesra layaknya dua sejoli yang sedang menjalin asmara. Mereka memasuki outlet yang bisa membuat mata wanita berbinar-binar. Berbagai macam perhiasan bertahtakan berlian dipajang dalam kotak-kotak kaca. Penampilan para staf yang rapi dan elegan menunjukkan jika outlet perhiasan yang mereka kunjungi sangat berkelas. Setelah mengatakan tujuan mereka, salah satu staf wanita mengarahkan keduanya ke di display bagian cincin. Setelah dipersilahkan duduk, staf yang mengenakan sarung tangan berwarna hitam itu memperlihatkan beberapa cincin pernikahan model terbaru. "Yang ini aja, Mba," ujar Kirana setelah mendengar penjelasan dari staf tersebut. Dia memilih cincin clasic solitaire. "Jangan yang itu," ptores Satya. "Kenapa?" "Itu terlalu polos dan biasa." Cincin yang dipilih Kirana memang sangat sederhana, kecil dan hanya dihiasi satu berlian yang menonjol di bagian tengah perhiasan itu. "Coba yang ini!" Pinta Satya menunjuk cincin yang lebih lebar dan dihiasi banyak batu permata. "Nggak suka," tolak Kirana. "Coba dulu." Satya memaksa. "Mari saya bantu." Staf wanita menawarkan diri. Kirana mengulurkan tangan kanan. Dengan lembut staf tersebut menyematkan cincin di jari manisnya. Kirana memandangi jarinya. Pilihan Satya tidak buruk hanya saja dia tidak menyukainya. Kirana memasang tatapan memelas sembari menggeleng manja tanda dia tidak suka. Satya meraih tangan kanan Kirana, memperhatikan jari yang dihiasi cincin pilihannya. "Bagus, kok," komentar Satya. "Tapi, aku nggak suka, Sayang." Deg! Rasanya jantung Satya berhenti bekerja untuk beberapa detik. Panggilan sayang disertai suara manja Kirana adalah komposisi yang pas untuk meluluhkannya. "Kena, lo!" batin Kirana setelah melihat reaksi Satya. Sedangkan batin Satya menyerukan berbagai umpatan. Kenapa dia bisa selemah ini? "Boleh saya bantu pilihkan." Lagi, staf tersebut menawarkan bantuan dan disetujui oleh keduanya. Kali ini staf wanita itu menyematkan cincin dengan model double ring solitaire plus. Sesuai namanya, cincin tersebut berbentuk seperti dua cincin kecil yang dijadikan satu. "Cantik," gumamnya. Kirana tersenyum puas. Dia suka dengan pilihan staf tersebut. Dia beralih menatap Satya. Memasang ekspresi menggemaskan untuk merayu pria kaku tersebut. "Ini aja, ya, Sayang." Satya tidak mampu menolak. Entah kenapa dia begitu lemah menghadapi Kirana yang dalam mode manja seperti ini. Padahal setelah bercerai dari Sinta, dia membentengi hati agar tidak mudah luluh dengan sikap manja wanita. Terbukti, selama menjalin hubungan asmara dia menjadi sosok yang dominan. Namun, itu dulu sebelum Kirana datang mengguncang dunia Satya hingga tembok kokoh yang dibangun pria itu mulai retak. "Oke." Staf membawa cincin yang sudah di pilih untuk di ukir, menyematkan nama mereka di cincin itu. Setelah selesai, mereka segera keluar dari pusat perbelanjaan itu karena harus melakukan fitting baju. Entah karena merasa nyaman atau masih berakting, Satya terus menggenggam tangan Kirana. Bahkan, setiap kali tautan tangan mereka terlepas karena Kirana membalas pesan atau sekadar melakukan hal lain, Satya akan mengalihkan tangannya ke pinggang gadis itu. Seperti ingin menunjukkan pada semua orang kalau Kirana adalah miliknya. "Lepas, Om. Jangan cari kesempatan, deh." Kirana menyingkirkan tangan Satya dari pinggangnya saat mereka sampai di parkiran. "Siapa yang cari kesempatan," elak Satya sambil menekan remote untuk membuka pintu. "Nggak nyari kesempatan. Tapi nempel mulu kayak kembar siam." Kirana menyahuti sinis. Pesan berisi omelan dari Desti membuat Satya menambah kecepatan mobilnya dan memilih jalan alternatif. Sepupunya itu sudah menunggu di butik pilihan Risma. "Lama banget, sih!" protes Desti saat calon pengantin baru saja memasuki butik. "Maaf, Mba. Kelamaan milih cincin," ujar Kirana sembari membalas pelukan Desti. "Pasti Mas Satya yang cerewet." Tebakan Desti mendapat anggukan antusias dari Kirana. "Tolong dimaklumi, ya, Ki. Dia memang gitu. Sok perfeksionis." Satya langsung menghadiahkan sentilan pada dahi nong-nong wanita beranak satu itu. "Ah! Sakit tau, Mas. Udah sama-sama dewasa masih aja suka nyentil jidat." Ibu Jenthara mengomel sambil mengusap dahinya. "Salahmu." Singkat. Satya duduk di salah satu Sofa. Mengambil salah satu majalah yang disediakan. "Apa kabar, Sat? Lama nggak ketemu." Sapa seorang wanita seumuran Satya yang baru keluar dari ruangannya. "Seperti yang kamu lihat," jawab Satya menjabat tangan pemilik butik, Meylani. "Pasti baik. Kan mau jadi manten," goda Desti membuat Meylani tertawa. Berbeda dengan Satya yang mendengkus kesal. "Kayaknya mulai sekarang kamu harus jaga stamina, deh. Banyak-banyak olahraga sama konsumsi telur setengah mateng plus madu." Meylani berbicara sambil menghampiri Kirana yang berdiri di sebelah Desti. "Soalnya lawan main kamu masih muda, takut bangkekanmu ra kuwat, Sat.l," selorohnya lalu tertawa. "Aku belum sepuh, Meh!" "Belum sepuh cuma sudah jompo," celetukan Kirana membuat Meylani dan Desti terdiam. Tidak lama karena beberapa detik berikutnya tawa mereka meledak. Kirana yang semula gugup karena keceplosan langsung merasa lega. Namun, tetap saja dia mememaki dirinya sendiri karena terlalu bersemangat saat mendengar Satya di ejek. "Tapi, Ki, kalau Mas Satya sudah jompo peluang kamu jadi janda semakin besar, loh," ujar Desti mengingatkan. "Nggak papa, Mbak. Ntar aku cari suami lagi yang lebih muda," tanggap Kirana santai. Dia tidak lagi mengontrol ucapannya karena merasa memiliki sekutu untuk melawan Satya. "Memang ada yang mau sama janda?" tanya Satya dengan nada sinis. "Eh, jangan salah. Sekarang janda semakin di depan." Desti meradang. "Aku buktinya!" "Mana ada laki-laki yang nggak doyan jamu kuat." Kirana menimpali dengan arogan dan tatapan sinis. "Jamu kuat?" ujar Desti dan Meylani bersamaan disertai mimik bingung, begitupula dengan pria yang menjadi lawan mereka. "Iya, jamu kuat. Janda muda kualitas tinggi." Penjelasan Kirana kembali mengundang tawa. Bukan hanya dua wanita yang ada di dekatnya, tetapi beberapa karyawan dan pengunjung butik. "Akhirnya Satya ketemu sama lawan yang sepadan. Top lah pilihan Budhe Risma," ujar Meylani mengacungkan kedua ibu jarinya. Si objek ejekan hanya bisa menghela nafas lelah. Susah rasanya untuk menangkis ucapan Kirana. "Keasyikan bully Satya, sampai lupa kenalan," ujar Meylani mengalihkan topik. "Meylani." Si pemilik butik mengulurkan tangan. "Kalau mereka biasa panggil aku Memeh," tambahnya sambil menatap dua orang bersepupu itu. "Kirana," balasnya. "Aku panggil Kiran aja, ya." Kirana mengangguk seraya tersenyum. Meylani mengajak Kirana melihat-lihat koleksinya sambil sesekali memberi masukan karena si calon mempelai wanita belum memiliki gambaran tentang gaun yang akan dipakai. Gadis itu cuma mengatakan jika dia tidak menyukai model ball gown. "Biasanya, calon pengantin wanita semangat banget mendeskripsikan gaun impian mereka. Lah, kamu malah nggak punya gambaran sama sekali," ujar Meylani heran, sambil memilih gaun yang cocok dengan gadis muda di sampingnya. "Kan, aku nggak ada niatan nikah muda!" jujur Kirana sambil memperhatikan beberapa gaun yang direkomendasikan oleh Meylani. "Coba yang ini!" Desti yang juga memiliki butik menyerahkan sweetheart mermaid dress, gaun yang menonjol tubuh bagian atas. Kirana menatap dua wanita yang ada di depannya dan gaun bergantian. Tatapannya menyiratkan kalimat "nggak salah, nih." "Coba aja dulu." Desti mendorong pelan tubuh Kirana ke ruang ganti dan menyerahkan paksa gaun pilihan Meylani. Dibantu dua asisten butik, Kirana mencoba gaun yang sangat pas di tubuhnya, hingga tidak memyisakan celah se-inchi pun dari bagian setengah paha hingga ke d**a. Beberapa menit kemudian dia keluar. "Wow!" seru Meylani dan Desti bersamaan. Raut kagum terpancar jelas dari wajah mereka. "Duduk sini bentar!" Meylani menggiring Kirana untuk duduk di depan meja rias. Tangan terampil Meylani bergerak lincah menata rambut dan memberikan sedikit polesan makeup. Kirana kembali berdiri, memutar-mutar tubuhnya di depan cermin besar. Terlalu terbuka itu penilaiannya sendiri, tetapi wajar menurut dua wanita dewasa itu. "Ayo! Kita tunjukin ke Pak tua," ajak Desti menuntun Kirana keluar. "Malu!" ujar Kirana menahan tubuhnya yang ditarik dua wanita yang kini menjadi sekutunya. "Ngapain malu. Ntar juga di unboxing sama Mas Satya," ujar Desti sambil mendorong pinggang Kirana sedikit keras. Kirana pasrah. Ini pertama kalinya dia tampil seterbuka ini di depan lawan jenis. Tarikan dan embusan nafas berulang kali dilakukan sepanjang melangkah menuju tempat Satya menunggu. Mereka sudah berdiri dua menit di hadapan pria yang sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon sambil membolak-balik majalah di pangkuannya. Panggilan Desti tidak digubris, pria itu malah tertawa dan asyik mengobrol. Desti menipiskan bibir, geram. "Mas Satya!" Suara Desti lebih terdengar seperti bentakan. Satya mendongak. Niat untuk memarahi Desti diurungkan setelah melihat gadis yang diapit oleh sepupu dana temannya. Satya terpana hingga lupa cara berkedip. Memandang dari atas ke bawah. Gaun itu sangat pas di tubuh Kirana. Menonjolkan lekukan indah tubuh gadis kecil itu. Terlebih pada bagian atas. Dua buah gundukan yang saling berdesakan hingga menyembul dari balik gaun. Seksi. Itulah yang otak Satya simpulkan dari pemandangan yang ada di hadapannya. Sorot matanya menggelap,. tenggorokannya seperti menyempit hingga dia kesulitan menelan saliva. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bangkit. Satya memejamkan kedua matanya sejenak sebelum kembali membuka dan berjar ketus. "Nggak cocok. Ganti yang lain!" Kedua wanita dewasa itu melongo tidak percaya. Mereka kompak menoleh ke arah Kirana. Meneliti penampilan gadis muda itu. Apanya yang tidak cocok? Gaun ini terlihat sangat indah di tubuh Kirana. "Nggak cocok atau Mas Satya yang nggak kuat liatnya?" tanya Kirana tiba-tiba. Dia tidak buta, dia bahkan hafal bagaimana gelagat pria yang sedang mendamba. "Nggak cocok untuk anak kecil kayak kamu!" sangkal Satya dengan tatapan mengejek. "Bukannya saya pernah bilang, kalau saya nggak bakalan tertarik sama bocah kayak kamu," tambahnya membuat Meylani dan Desti tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika hubungan Satya dan Kirana sedingin ini. Satya tidak peduli dengan tatapan penuh tanya dari teman dan sepupunya. Cukup sudah Kirana meremehkannya. "Oke! Mba Mey dan Mbak Desti jadi saksi kalau Om Satya nggak akan pernah menyentuh gue selamanya." Kirana berusaha untuk berbicara sedikit lebih sopan pada Satya dengan memanggil pria itu dengan sebutan 'Mas' di depan dua wanita itu. Namun, kata-kata pria itu membuat Kirana menghentikan kesopanannya melanggar peraturan yang telah mereka sepakati. Satya terdiam. Namun, dia teringat percakapan dengan sahabatnya di telepon beberapa menit lalu. "Pegang janji saya," ujarnya dingin. Pria itu berlalu keluar butik, melajukan mobil menuju suatu tempat untuk menenangkan diri. Kirana terlihat biasa saja. Berbeda dengan Meylani dan Desti yang menarih curiga dengan perubahan sikap Satya. Mereka yakin ada seseorang yang memprovokasi pria itu. Mata kedua wanita dewasa itu bertemu, saling menatap, seeolah sedang berkomunikasi melalui sorot mata. Kemudian, mereka tersenyum penuh arti. Mereka tahu siapa di balik ini semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD