Momen Intim

1359 Words
Kirana menatap cermin, mengamati parasnya yang benar-benar terlihat berbeda. Bahkan, dia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Terbiasa menggunakan riasan natural, hari ini Kirana tampil on point, dengan make up bold. Blush-on peach yang senada dengan eyeshadow membuat wajahnya semakin merona. Riasannya semakin terlihat sempat dengan polesan lipstik berwarna merah. Selain cantik, Kirana terlihat anggun dengan menggunakan sanggul klasik serta paes Jogja Putri. "Kalau mantennya jarang dandan, pasti berubah, manglingi," puji si perias pengantin. Selesai dengan make up, Kirana dibantu untuk mengenakan kebaya putih yang dirancang oleh Desti. Sedang kain yang di pakai untuk bagian bawah dipilih langsung Risma. Kirana berdiri di depan standing mirror menatap kagum pada penampilannya secara keseluruhan. Andai saja hari ini dia menikah dengan pria yang dicintainya, mungkin semuanya akan semakin sempurna. "Sudah?" Dari cermin, Kirana melihat Astika mengintip dari celah pintu sebelum masuk ke kamar yang tidak dihias sama sekali. Sama kagumnya dengan Kirana, wanita yang mengenakan kebaya berwarna krem itu sampai tidak ingin mengedipkan mata barang sekali. Dengan hati-hati di menangkup wajah putrinya dibarengi dengan kalimat pujian. "Cantiknya anak Mama." "Seperti widodari, njeh, Mbak?" Wanita yang menyanggul rambut Kirana menimpali. Astika menanggapinya dengan senyum. Dia terlalu terpesona dengan paras ayu Kirana. Setelah para penata rias pamit untuk keluar, Astika meminta Kirana untuk duduk di kursi meja rias. Dia membuka sebuah kotak yang tadi dibawa. "Ini hadiah dari Mama." Suaranya terdengar serak. Astika mengambil posisi di belakang Kirana, kemudian memasangkan kalung emas putih bertahtakan berlian yang membuat penampilan Kirana semakin terlihat mewah. Kirana menyentuh benda yang melingkar di lehernya sambil tersenyum haru. "Makasih, Ma," ucapnya. Kini mereka duduk berhadapan. Astika berusaha untuk menahan air matanya agar tidak luruh. "Sebentar lagi anak cantik Mama jadi seorang istri dan ibu. Sudah nggak boleh keluyuran malam tanpa izin suami. Nggak boleh ke klub karena harus jadi contoh yang baik untuk anak-anak. Nggak boleh minum yang macem-macem biar organ vitalnya tetap sehat." Astika mengatakan itu dengan lembut sambil menatap netra putrinya yang dilapisi lensa kontak berwarna coklat. "Mama tau, jalannya nanti nggak akan mudah. Tapi, Mama harap adek bisa sabar menghadapinya, terutama anak-anak Satya. Sedikit banyaknya Mama bisa menilai bagaimana sifat mereka. Tapi percaya sama Mama, mereka seperti itu karena selama ini kurang mendapat perhatian dan kasih sayang." Astika menunjuk d**a Kirana. "Hati kamu harus tulus untuk bisa menyentuh hati mereka. Belajar menyayangi mereka, seenggaknya sebagai adik. Biasakan lidah mereka dengan masakanmu, karena hal itu paling mudah diingat dan dikangenin." Sepertinya apa yang diucapkan mamanya benar. Terbukti, papanya selalu minta diantarkan makan siang dan Bima selalu minta dimasakkan makanan kesukaannya setiap kali pulang ke Malang. Bahkan, Wina yang baru beberapa tahun menjadi menantu, selalu mengatakan rindu pada masakan Astika setiap kali menelpon. Pantas saja, Eyang putri selalu menekankan wanita dari keluarga Nugraha harus bisa memasak. Bukan berpikiran kolot, tetapi ini adalah salah satu cara untuk memikat hati keluarga, terutama suami. "Ada atau belum perasaan untuk Satya, adek tetap harus melayaninya dengan baik. Penuhi kebutuhan perutnya, matanya dan juga hasratnya. Insyaallah, dia nggak akan berpaling." Kirana sedikit tersentak saat mendengar poin terakhir dari kebutuhan yang harus seorang istri penuhi. Sepertinya itu berat untuk dilakukan. "Tapi … kalau kita sudah memenuhi kewajiban dan dia masih berpaling. Tinggalkan! Mama pernah bilang kekerasan dan pengkhianatan dua hal yang sulit untuk dimaafkan." Ini kedua kalinya Astika mengingatkan putrinya. Menurut wanita yatim piatu itu, perselingkuhan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar. Sedang pria yang ringan tangan, akan selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dua hal ini tidak pantas untuk dimaafkan karena potensi untuk terulang sangat besar. *** Elegan minimalis, tema yang diusung untuk acara akad nikah Satya dan Kirana. Nuansa serba putih dengan furnitur selaras dipercantik dengan rangkaian bunga mawar berwarna pastel, yang menghias di sisi jalan menuju meja akad. Diapit oleh Wina dan Laura, Kirana berjalan anggun disertai senyum tipis. Melewati karpet mawar putih yang terbentang sepanjang jalan menuju meja di mana Satya mengucapkan ijab qabul beberapa saat yang lalu. Para tamu undangan yang duduk di sisi kiri dan kanan terpukau melihat aura kecantikan yang terpancar dari wajah Kirana. Bahkan, beberapa diantaranya mengarahkan kamera ponsel mereka pada sang mempelai wanita. Senyum Kirana semakin melebar saat matanya bersirobok dengan milik Danu yang juga tersenyum. Pria yang mengenakan setelan beskap berwarna krem itu terlihat menyeka sudut matanya yang berair. Tidak hanya tamu undangan, Satya pun terpana melihat penampilan Kirana hari ini. Gadis yang biasa mendebatnya itu terlihat berbeda, lebih anggun. Ditambah senyum menawan yang selalu mampu membuat kinerja jantung Satya meningkat. Tanpa sadar, kedua sudut bibir si mempelai pria terangkat ketika melihat istrinya yang semakin dekat. Satya bangkit, menarikan kursi untuk Kirana. "Makasih," ucap Kirana disertai senyuman. Satya benar-benar tersihir oleh penampilan Kirana yang tampak seperti Putri Keraton. Matanya tidak bisa lepas dari sosok cantik yang kini duduk di sampingnya. "Mas Satya!" tegur Dandi—yang menjadi saksi—setengah berbisik sembari menyenggol kaki Satya di bawah meja. Satya tersadar, berdeham ringan untuk menutupi malu. "Selesaikan dulu prosesinya, Mas. Setelah itu bisa mandangin istri cantiknya sampai puas. Sudah halal juga buat diapa-apain," goda Penghulu sambil menata berkas yang harus ditandatangani mereka yang duduk di meja itu. Suara lirih Penghulu ternyata terdengar hingga ke barisan kursi tamu karena mikrofon belum di off-kan. Terang saja hal tersebut mengundang gelak tawa seluruh tamu undangan. Kirana hanya tersenyum menatap papanya yang tertawa. Sedang Satya mati-matian menahan rasa malu dengan berdeham berulang kali. Acara dilanjutkan dengan penandatanganan berkas oleh kedua mempelai, para saksi dan juga penghulu. Kemudian, perwakilan dari kantor agama itu menyerahkan sepasang buku nikah. Selanjutnya, Kirana menerima mahar yang diberikan Satya, berupa satu set perhiasan dan sejumlah uang. Setelah serah terima mahar, Satya meraih tangan Kirana, menyematkan cincin di jari manis Kirana sebagai tanda kepemilikan. Kirana pun melakukan hal yang sama. Perasaan Satya terasa hangat saat Kirana dengan sedikit menunduk menempelkan ujung hidung pada punggung tangan kanannya. Ada gelenyar aneh yang merambati hati Satya. "Oke, Tahan sebentar," perintah juru foto menyadarkan Satya yang tercenung. "Mas, coba dicium kening istrinya." Perintah itu membuat kedua pengantin saling menatap untuk beberapa saat. Kilatan lampu kamera yang mengabadikan momen tersebut membuat keduanya kompak menoleh. Meja akad sudah disingkirkan. Berlatar pergola yang dihiasi rangkaian bunga mawar dengan perpaduan warna putih, dusty dan peach, Satya merapatkan tubuh ke arah Kirana sesuai arahan dari juru foto. Kedua tangan Satya berada di pinggang Kirana membuat tubuh mereka semakin menempel nyaris tanpa celah. Sedangkan Kirana meletakkan sebelah tangannya di d**a bidang Satya dan sebelah lagi di lengan pria itu. Keduanya saling menatap dari jarak yang sangat dekat. Sama-sama ragu untuk melakukan apa yang diperintahkan. Lagi lagi, momen canggung itu malah terlihat romantis. Gegas para pemegang kamera memotret mereka. "Ayo, Mas. Wajahnya di dekatkan ke kening istrinya. Jangan sampe nempel." Kali ini mau tidak mau Satya melaksanakan perintah. Dia mendekatkan bibir pada kening Kirana. Gadis itu refleks memejamkan mata dan tersenyum manis. Bukan hanya para juru foto, tetapi hampir seluruh tamu yang hadir. "Cium bibirnya, Om!" seru Febi dengan penuh semangat dan langsung dipelototi oleh kedua gadis lain yang mengapitnya. "Biar tambah mesra," ujarnya tanpa dosa. Ketampanan Satya membuat Febi lupa semua cerita Kirana tentang pria itu. "Ayo, Mas, Mbak! Nggak perlu nempel, cukup mepet aja." "Nempel nggak papa juga, udah halal gini!" Febi menimpali. "Febi …!" tegur Monik geram dengan gigi yang saling bertaut disertai pelototan mata. "Apaan, sih? Kan bener udah halal." terangnya polos. "Semerdeka lo, deh, Bi." Laura menyahuti kesal. Kedua sahabatnya hanya bisa mengehela nafas lelah melihat tingkah laku Febi yang begitu bersemangat melihat kemesraan si pengantin baru. Mau tidak mau sepasang pengantin baru itu menuruti permintaan Febi yang didukung oleh beberapa anggota keluarga dan tamu undangan. Rangkulan tangan Satya pada pinggang Kirana semakin mengerat. Tangan Kirana yang semula di d**a kini berpindah ke kedua bahu kekar pria yang kini menjadi suaminya. Wajah keduanya sudah mendekat dengan posisi yang saling berlawanan. Bahkan, Mereka bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Sekali lagi Satya merasakan getaran aneh, sama seperti peristiwa di balkon rumah Kirana saat pertemuan pertama mereka. Sialnya, hanya begini saja sesuatu dalam dirinya mulai terusik. Berbeda dengan Satya, Kirana malah membayangkan bagaimana bibir pria ini menjelajahi tubuh milik wanita yang diakui sebagai sahabatnya. "Bagus, tahan bentar. Satu ... dua ...." Entah dorongan darimana, yang jelas tepat pada hitungan ketiga Satya menempelkan bibirnya disudut bibir merah Kirana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD