Satya pulang dalam keadaan kacau. Pria yang selalu tampil rapi—meskipun saat pulang kerja— kini terlihat berantakan. Rambut acak-acakan, lengan baju yang digulung asal, serta wajah yang terlihat kuyu.
Fakta-fakta yang malam ini diungkapkan sang ibu menamparnya secara telak. Selama ini, dia selalu beranggapan jika anaknya baik-baik saja, hanya karena tidak ada laporan terkait masalah yang disebabkan oleh keduanya.
Selama ini pula, Satya hanya menandatangani laporan hasil belajar tiap semester, tanpa memperhatikan nilai yang diperoleh. Dia sangat percaya jika nilai akademik si kembar memuaskan karena mereka rajin mengikuti bimbingan.
Faktanya, Belva dan Selva berbohong. Dua gadis remaja itu tidak pernah mendaftar les sama sekali. Hal tersebut hanya akal-akalan mereka untuk mendapatkan uang jajan lebih.
Satya ditipu, dibodohi dan dipecundangi oleh darah dagingnya sendiri.
Miris.
Dia menjatuhkan diri pada sofa ruang tamu yang gelap. Ini sudah hampir tengah malam, wajar jika beberapa lampu di rumah sudah dipadamkan.
Dengan posisi tubuh setengah berbaring, Satya menyandarkan kepala pada punggung sofa, menutup mata dan sebelah tangan memijat pelipis untuk meredakan nyeri yang menyerang kepala.
Drt … drt … drt….
Getaran ponsel di atas meja tidak membuat Satya beranjak. Tanpa melihat pun dia sudah tahu siapa yang menghubunginya di jam seperti ini. Jika kemarin-kemarin dia akan langsung menjawab, maka kali mulai malam ini dia berusaha untuk abai.
Rupanya si penelpon tidak menyerah. Layar ponsel itu kembali menyala tanpa mengeluarkan dering, hanya getaran. Terus berulang hingga beberapa kali, tetapi Satya tetap bergeming, tidak berniat menjawab.
Satya baru meraih ponselnya saat benda itu tidak lagi bergetar. Ada banyak panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan. Hampir semuanya berasal dari nomor yang sama.
[Kamu di mana? Jadi ke sini?]
[Kok, belum sampai? Kamu lembur?]
[Aku udah nungguin dari tadi. Awas aja kalo kamu nggak datang.]
Tidak membuka, Satya hanya membaca dari notifikasi yang ada di home screen.
Dulu dia akan langsung pergi jika mendapat pesan dari sahabatnya tanpa melihat waktu.
Satya menertawai kebodohannya. Bagaimana bisa dia lebih memprioritaskan sahabat daripada anak? Benar kata ibunya, waktu untuk anak-anak disita habis oleh wanita itu.
Para kekasihnya dulu pun memilih mengakhiri hubungan bukan karena tidak mendapat restu dari Ibu, tetapi karena Satya selalu mementingkan sahabatnya yang seorang perantau.
Mengabaikan pesan-pesan itu, Satya memilih membuka media sosial, mencari akun Belva yang lebih aktif menggunakan sosial media. Bulir bening tiba-tiba saja menetes tanpa bisa dicegah, ketika melihat foto-foto anak kembarnya.
"Mereka sudah remaja."
Dia melewatkan momen tumbuh kembang si kembar karena terlalu sibuk mencari kesenangannya sendiri, dengan dalih menyembuhkan luka hati akibat pengkhianatan mantan istri.
Sekarang dia menyesal karena jarang bahkan hampir tidak pernah mendampingi kedua putrinya. Intensitas pertemuan mereka sangat rendah, hanya saat sarapan.
Puas menatap foto putrinya. Dia beranjak naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Langkahnya terhenti saat melewati kamar yang saling berhadapan.
Satya mendekati pintu ruangan sebelah kiri lalu membukanya perlahan. Sengaja tidak menyalakan lampu, karena bisa membangunkan pemilik kamar.
Bermodal temaram cahaya lampu tidur berbentuk awan yang menempel di dinding—tepat di atas tempat tidur— Satya mengamati kamar tersebut. Semuanya tertata dengan rapi.
Seingatnya, dia masuk ke ruangan ini baru dua kali. Pertama saat pindah rumah dan ini yang kedua.
Satya duduk di tepi ranjang, memperhatikan gadis yang tidur dengan posisi telentang.
Ditatapnya lekat wajah yang sedang terlelap itu. Ada beberapa bagian yang berubah kecuali pipi tembam Selva. Gadis kecilnya tumbuh begitu cepat.
"Maafin Papa, Sel," gumam Satya sebelum memberikan kecupan di kening putrinya. Sekali lagi, ini yang pertama semenjak mereka pindah ke rumah ini.
Satya membenarkan letak selimut Selva lalu meninggalkan kamar itu dan beralih ke ruangan di seberang.
Benar-benar bertolak belakang. Lampu utama di kamar Belva tetap menyala meski pemiliknya sedang tertidur pulas. Gadis itu tidak terbiasa dengan kegelapan.
Satya tersenyum geli saat melihat ruangan ini. Tidak berantakan hanya saja tidak serapi kamar kembarannya.
Selva sangat teliti, menyusun sesuatu berdasarkan warna atau ukuran. Berbeda dengan Belva yang cukup meletakkan barang di tempatnya.
Sama seperti yang dilakukan di kamar Selva, Satya juga memandangi wajah Belva. Tidur dengan posisi miring ke kanan sambil memeluk guling.
Diusapnya rambut hitam lebat milik Belva. Putrinya ini banyak membuat masalah dan dia baru mengetahuinya. Ingin marah, tetapi sadar dia juga turut berperan.
"Harusnya Papa lebih memperhatikan kalian, mendampingi kalian tumbuh."
***
Keesokan harinya, Satya bangun lebih awal karena semalam matanya sulit terpejam. Perkataan terakhir sang ibu sebelum meninggalkannya selama terus terngiang.
Pilihan yang diberikan ibunya terlalu sulit. Menikah dengan Kirana dan menjauhi wanita sudah membantunya untuk bangkit. Atau, mempertahankan persahabatannya dengan konsekuensi yang sama seperti ketika dia lebih memilih Ibu si kembar.
Dia mengakui jika perilakunya tidak baik, tetapi bukankah Kirana juga sama buruknya. Lantas, kenapa ibunya begitu mengagungkan gadis itu?
"Loh, Mas Satya. Tumben jam segini sudah bangun," tanya Mbok Yas sedikit terkejut saat melihat majikannya sedang bersiap-siap untuk berolah. Pasalnya, Satya selalu bangun di atas jam delapan setiap akhir pekan.
"Semalam nggak bisa tidur, Mbok," jawab Satya yang sedang mengikat tali sepatu.
"Apa-apa itu harus dipikirkan betul-betul, Mas. Supaya nanti ndak menyesal." Wanita yang sedang membersihkan kaca jendela itu memberikan saran. Sedikit banyaknya dia tahu polemik yang terjadi di rumah ini.
Satya hanya menanggapinya dengan senyuman, lalu pamit untuk lari pagi di taman komplek.
Menjadi pusat perhatian sudah hal yang biasa bagi duda beranak dua itu. Selama dia mengitari taman ada saja yang terang-terangan menggoda atau sekadar menatapnya kagum.
Wajah tampan dan tubuh proporsional. Tidak ada wanita yang mampu menolak pesona seorang Satya Prawira, Direktur Operasional perusahaan konstruksi milik negara, kecuali Kirana.
Puas berolahraga, Satya pulang dengan menenteng dua kantong plastik berisi nasi uduk dan bubur ayam.
"Anak-anak sudah bangun, Mbok?" tanya Satya sembari meletakkan bawaannya di meja makan. Setelahnya, dia berjalan menuju lemari pendingin, mengambil sebotol air mineral lalu menenggaknya hingga menyisakan setengah.
"Mbak Selva sudah. Kalau Mbak Belva biasanya mbangkong," jawab Mbok Yas sambil menyalin makanan yang dibawa Satya ke piring.
Satya langsung berlalu menuju lantai dua.
Tok! Tok! Tok!
Satya membuka pintu setelah si empunya mempersilahkan masuk. Di depan meja rias Selva sedang menyisir rambut. Tampaknya dia baru selesai mandi.
Satya berdeham. Dia sedikit gugup karena ini pertama kalinya dia menyapa putrinya selain di meja makan.
"Sudah mandi?" tanya Satya basa-basi.
Gerakan tangan gadis itu berhenti seketika, lalu menoleh ke asal suara. Bukannya senang, Selva malah terheran-heran melihat kehadiran sang papa di kamarnya.
"Sudah." Singkat dia menjawab setelah kembali menatap pantulan diri di cermin, merapikan rambutnya.
Tidak ada yang bersuara. Satya terlalu canggung untuk sekadar mengobrol santai dengan Selvania. Selama ini mereka hanya berbicara seperlunya. Putrinya yang terlalu pendiam atau dia yang terlalu abai.
Tidak tahu ingin berbicara apa. Akhirnya Satya memilih untuk keluar dari kamar ini. "Papa mau mandi dulu. Kita sarapan sama-sama."
Selva tidak menanggapi. Berbasa-basi dengan sang papa rasanya terlalu aneh.
Selesai membersihkan diri, Satya langsung menuju dapur. Di meja makan sudah ada anak kembar yang sedang menyantap sarapan tanpa menunggunya.
Satya menelisik penampilan Belva. Sepertinya remaja itu baru bangun, terlihat dari matanya yang masih bengkak dan pakaian yang belum berubah.
"Baru bangun?"
Sadar jika pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Belva menjawab dengan dehaman.
"Biasakan mandi dulu sebelum sarapan! Kamu perempuan, jangan jorok!" Niat Satya ingin menasehati, tetapi nada bicaranya malah terdengar seperti orang marah.
Belva melirik tidak suka pada Satya. Dia mencoba mengabaikan karena pagi ini dia belum berminat untuk adu argumen.
Satya duduk di kursi yang letaknya di ujung meja. Dia melihat Selva yang terkesan tak acuh dengan kehadirannya. Apakah putri pendiamnya ini lupa jika Satya mengajak sarapan bersama.
"Bukannya tadi Papa bilang kita sarapan sama-sama." Satya mengingatkan.
Selva tidak menanggapi karena menurutnya itu tidak penting.
"Selva!" panggil Satya tegas menahan kesal karena diabaikan.
"Makanan kami belum habis, masih ada waktu kalau Papa mau sarapan bareng." Selva menanggapi dengan wajah datar.
"Lagian tumben sarapan di rumah. Sudah pensiun jadi supir pribadi, ya, Pah?" Sindir Belva, lalu menyuapkan bubur ayam ke mulutnya.
Sindiran Belva benar-benar menohok. Satya mendelik, meski yang dikatakan gadis itu adalah kebenaran tetap saja dia tidak terima.
“Canda, Pa,” lanjut Belva sebelum Satya menegurnya.
Selva dan Belva menyelesaikan sarapan secara bersamaan. Saat mereka akan meninggalkan meja makan, Satya menyuarakan perintah. "Papa tunggu di ruang kerja. Ada yang mau papa bicarakan."
"Aku mandi dulu," ujar Belva. Lalu mengikuti langkah kembarannya yang sudah berlalu sejak Satya selesai bicara.
Satya menatap punggung kedua putrinya yang semakin menjauh. Ternyata mendekati mereka tidak semudah yang dibayangkan, terutama Selva yang pendiam.
Satya sudah berada di ruang kerja. Dia menunggu sambil memeriksa email dan laporan dari bawahannya. Mengabaikan ponsel yang tidak berhenti bergetar sejak semalam. Tiga puluh menit berlalu, tetapi kedua putrinya belum juga datang.
"Kenapa baru datang? Papa sudah setengah jam nunggu," tanya Satya ketika putrinya baru masuk.
"Mandi perlu proses, Pa," jawab Belva sambil menarik kursi dan duduk berseberangan dengan Satya.
"Mau ngomong apa?"tanya Selva to the point.
Satya mengangsurkan berkas-berkas yang diterima dari ibunya. "Jelaskan!"
Selva mengambil tumpukan kertas itu lalu membaginya dengan Belva. Tidak sampai semenit kertas yang ada di tangan Selva sudah kembali ke meja kerja Satya..
"Bukannya semua sudah jelas, ya, Pa?" ujar Selva datar, enggan membahas perkara nilai akademiknya yang tidak sesuai harapan.
Satya menatap putri sulungnya yang terlihat santai. Berbeda dengan Belva yang masih sibuk mengamati tiap lembar kertas yang ada di tangannya dengan raut terkejut.
"Bagaimana bisa nilai kalian sejelek itu?” omel Satya. “ Kalian ndak pernah ikut les, kan? Selama ini kalian bohongin Papa?" Satya berusaha sabar. Nilai-nilai putrinya tidak lebih dari standar yang ditetapkan sekolah.
"Yang penting nggak ngulang." Jawaban tak bernada dari Selva membuat Satya harus menghela nafas panjang untuk meredam emosi.
Kini Satya beralih menatap Belva, menuntut penjelasan pada si pemilik surat cinta dari sekolah. Namun, yang ditatap malah berlaku tak acuh..
"Belva! Jelaskan, kenapa ada banyak materi yang belum tuntas?"
Yang ditanya tidak menjawab.
"Dan apa ini … Membolos, ndak ngerjain tugas, berkelahi. Mau jadi apa kamu, hm?" Sedikit membentak, Satya menyebutkan kesalahan yang Belva lakukan sambil menunjuk surat peringatan dari sekolah.
Sekali lagi, Belva hanya diam.
"Kenapa kamu ndak pernah ngasih surat-surat ini ke Papa dan malah membayar orang lain untuk berpura-pura menjadi wali kamu!"
Jujur saja Satya tersinggung dengan tindakan putrinya itu. Dia merasa tidak dianggap.
"Jawab, Belva!" hardiknya.
"Bukannya Papa sibuk. Ujung-ujungnya Papa pasti nyuruh Tante Desti, Mbok Yas atau Pak Mail." Jawaban sengit Belva begitu menohok hati Satya.
"Setidaknya kasih tau Papa. Kalau begini sama aja kamu ndak menganggap Papa."
"Memangnya Papa menganggap kami ada? Memangnya Papa peduli sama kami?" tangkas Belva, geram. Matanya menyorotkan kekecewaan, rasa sakit dan kebencian.
"Kenapa kamu bicara begitu? Jelas Papa peduli sama kalian," sangkal Satya dengan tegas.
Belva berdiri dengan kasar, hingga kursi yang dia duduki hampir terbalik.
"MANA BUKTINYA KALAU PAPA PEDULI SAMA KAMI?" teriakan Belva menggema, membungkam Satya. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Terlalu sakit memendam kekecewaan dalam waktu yang lama.
"Papa terlalu sibuk dengan urusan Papa sendiri sampai lupa kalau ada kami yang masih butuh perhatian Papa." Suara Belava tercekat disertai air mata yang sudah menetes.
"Mana pernah Papa luangin waktu buat dengar keluh kesah kami, merawat kami saat sakit, nemenin belajar, main, jalan-jalan. Bahkan … sekadar makan malam bareng aja Papa nggak punya waktu," ucapnya di sela isakan. Setelah pindah dari rumah Eyang, mereka selalu menkmati makan malam berdua, tidak ada Satya karena pria itu selalu pulang larut.
Rasa bersalah mulai menyergap Satya. Dia beranjak mengitari meja, mencoba merengkuh dan menenangkan putrinya yang sedang menangis. Sayangnya, Belva malah melangkah mundur.
"Papa sib—"
"SIBUK, SIBUK, SIBUK!" Belva berteriak hingga suaranya serak. "PAPA SELALU SIBUK SAAT KAMI BUTUH, TAPI SELALU PUNYA WAKTU BUAT TEMAN PAPA ITU."
"Bu– bukan begitu, Bel. Kamu salah paham." Satya tergugu mulai kebingungan untuk menjelaskan.
"Di bagian yang mana aku salah paham, hiks … di bagian mana, Pah …." Belva menangis hingga sesenggukan. Bahunya terguncang dengan nafas yang tersengal-sengal.
Selva ikut menitikkan air mata mendengar tangis pilu saudara kembarnya. Apa yang dirasakan Belva, dia pun turut merasakan. Mereka diabaikan … sejak kecil.
Masih teringat jelas, saat mereka mengajak sang papa ke kebun binatang—hampir semua teman mereka sudah pergi ke sana. Namun, Satya menolak dengan alasan sibuk dan berjanji akan pergi di lain waktu
Satya mengabaikan rengekan mereka. Bahkan, dengan tega menitipkan mereka yang sedang menangis kepada Desti. Ternyata sibuk versi sang papa adalah pergi ke bioskop bersama teman wanitanya. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi merengek dan meminta apapun selain uang pada Satya.
Satya kesulitan menelan Salivanya, seperti ada sesuatu yang besar mengganjal di tenggorokan saat mendengar suara tangisan Belva yang semakin menjadi.
Dia kembali melangkah mendekati putrinya yang sedang menangis. Saat Satya ingin memeluk, tetapi Belva menepis kasar tangannya.
"Harusnya Papa dulu menitipkan kami di panti asuhan. Daripada mengabaikan kami seperti ini." Suara bantingan pintu menandai keluarnya Belva dari ruangan itu.
Satya menatap pilu kepergian Belva. Dia tidak menyangka jika putrinya menyimpan luka sebesar itu.