Si Kembar

1869 Words
Mereka yang memiliki jiwa kompetitif menganggap hidup sebagai persaingan. Selalu ingin unggul segala aspek kehidupan. Saat gagal, mereka akan mencari tahu penyebabnya. Begitu pula dengan Kirana yang selalu memiliki goal dalam hidupnya. Jika tidak tercapai dia akan mencari tahu penyebab dan mencobanya lagi. Sisi negatifnya, adrenalin Kirana selalu terpacu saat ditantang orang lain. Ambisinya untuk mengalahkan orang tersebut menggebu. Terkadang dia melupakan risiko yang akan diterima. Beruntung selama ini ada tiga sahabat yang bisa memberi pengertian dan meredam ambisi tersebut. Namun, kali ini dia sendiri, jauh dari Monik, Feby, dan yang paling penting Laura si bijaksana. Dia berusaha untuk menahan diri agar tidak tersulut dengan perkataan Risma. Mengulang-ulang perkataan Laura bahwa tidak semua tantangan berdampak baik. Dia tidak ingin terjerumus pada kehidupan pelik milik Satya yang bisa menyusahkannya. Berusaha menolak secara halus dan berharap bisa menghentikan perjodohan. "Bu, si kembar sudah datang," kata seorang pekerja menginterupsi obrolan mereka. "Ayo! Ibu kenalkan dengan Belva dan Selva." Risma menarik tangan Kirana yang masih terpaku. Harus banget, ya, kenalan sama mereka. Larut dalam pikirannya sendiri, membuat Kirana tidak terlalu mendengarkan ocehan dari Risma. Dia baru tersadar saat berada di samping meja makan. "Makan dulu!" titah Risma saat kedua cucunya akan bangkit untuk menyalaminya. Kirana ikut duduk di kursi ukir yang terbuat dari kayu jati. Memperhatikan dua gadis yang serupa tapi tak sama. Perasaan gugup berubah menjadi rasa bangga yang membuncah saat melihat anak-anak Satya menyantap hasil olahan tangannya dengan lahap. Bahkan, satu diantaranya sudah mengambil porsi kedua. "Bagaimana sekolah kalian hari ini?" tanya Risma. "Baik, Eyang." Gadis dengan rambut panjang terurai menjawab singkat. Dia lebih dulu menyelesaikan makannya. Netra Kirana bersirobok dengan milik gadis berpipi chubby. "Selvania," benak Kirana menerka. Raut dan tatapan datar serta irit bicara sudah cukup menunjukkan identitasnya. Kirana beralih menatap gadis yang memiliki wajah serupa. Terlihat lebih energik dan tangkas. Dari bahasa tubuhnya menunjukkan gadis ini sedikit tomboi. "Kenapa liatin aku? Belum pernah liat manusia?" tanyanya dengan tatapan menantang. Baru pertama bertemu saja remaja ini sudah berbicara dengan nada yang tidak sopan. "Aku rasa fungsi mata belum berubah," sahut Kirana refleks. Sesuatu yang sejak tadi berusaha dia redam mulai mendobrak pertahanan. "Tapi ndak harus lihatin aku, kan! Arahain mata kamu ke lain." balasnya ketus. Kirana tidak menggubris, tetap menatap Belva dengan tatapan menyelidik. Dia ingin melihat seberapa berani gadis berkuncir kuda ini. Menyadari jika masih ditatap. Belva menggeram dan menaruh sendoknya dengan sedikit kasar hingga menimbulkan bunyi. "Kamu tuli!" bentaknya. Selva hanya memperhatikan keduanya secara bergantian. Sedang Risma melemparkan tatapan tajam pada cucunya. "Aku punya hak untuk melihat apa yang mau aku lihat." Santai tak bernada. Kirana seolah lupa jika sedang berada di rumah calon mertua dan yang dia hadapi sekarang adalah calon anak tirinya. Sedikit lagi pertahanannya akan runtuh. Gadis itu menggeram. "Dasar tamu kurang ajar. Pulang sana!" makinya. "Bicara yang sopan! Dia lebih tua darimu, Belva!" Risma menunjukkan ketegasannya. Kesabarannya habis. Perkataan Belva sudah keterlaluan. "Punya hak apa kamu ngusir tamu Eyang?" tambahnya. Kirana tersadar dan langsung menoleh ke arah Risma. Cukup kaget mendengar cara bicara wanita itu. Ke mana sifat lembut dan hangat yang ditunjukkan padanya tadi. "Belajar menghormatinya karena dia calon ibu tiri kalian!" Tidak hanya suara, raut wajah Ibu Satya itu tidak lagi ramah. Pengumuman tersebut membuat saudara kembar tersebut kompak menatap Risma dengan raut wajah terkejut. Setelahnya beralih menatap Kirana. Menelisik wanita yang akan menjadi ibu sambungan mereka. "Belva ndak setuju!" tolaknya. Tatapan permusuhan dilayangkan pada Kirana yang hanya menatapnya datar. "Belva ndak mau punya Ibu?" Berbeda dengan Belva yang melayangkan protes, Selva tidak memberikan tanggapan apapun selain menatap Kirana sama datarnya. "Eyang ndak butuh pendapatmu!" Belva sontak berdiri, berbicara dengan volume yang semakin meningkat. "Tapi kami yang akan merasakan hidup bareng dia!" "TURUNKAN TELUNJUKMU!" hardik Risma saat Belva mengarahkan telunjuknya dengan marah pada Kirana. Suasana menjadi tegang dan suhu ruangan tiba-tiba meningkat. "Eyang yang memilihnya, kalau kamu ndak suka silahkan kemasi pakaianmu dan pergi ke Jenggawah." Gadis kembar itu tersentak kaget. Belum sempat melayangkan protes, Risma sudah menyuruh supirnya untuk mengantar mereka pulang. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Selva bangkit dan menyalami Risma. "Salim sama Mama!" perintah Risma. Bukan hanya Selva, Kirana pun terkejut. Selva menuruti meski terlihat enggan. Tatapan dingin tetap diberikan pada Kirana. Gadis itu sama tidak sukanya, tetapi dia memilih diam. Bukankah ini lebih berbahaya. Belva turut menyalami eyangnya dengan wajah ditekuk, kesal. "Dia bukan Mama kami!" ujar gadis itu saat Risma memintanya untuk mencium punggung tangan Kirana. "Dan aku ndak mau punya Mama." Gadis itu meninggalkan ruang makan dengan langkah lebar. Risma menghela nafas panjang. Meminta salah satu asisten rumah tangganya untuk membuatkan teh. Kirana hanya memperhatikan Risma dalam diam. Benaknya menyuarakan tanya, kenapa wanita yang lemah lembut padanya bisa setegas itu pada cucu sendiri? Bukankah kata orang cucu itu adalah pangkat tertinggi di keluarga? Mereka yang bergelar cucu sangat disayangi melebihi anak tersayang sekalipun. Itu juga yang Kirana rasakan di keluarga Nugraha. Dulu, setiap kali orang tuanya marah karena masalah yang dia buat, Nenek dan Kakek selalu menjadi kuasa hukum yang siap membela. Pun, ketika dia merajuk dan tidak mau makan. Nenek adalah orang pertama yang membujuk. Hal tersebut hanya berlaku saat usianya di bawah tujuh belas tahun. Setelahnya, dia tidak lagi dibela, tetapi diberikan nasihat setiap kali berulah. Namun, hal berbeda dilihatnya dari perlakuan Risma pada dua cucu kembarnya. "Menghadapi mereka ndak bisa dengan cara lemah lembut, harus tegas terutama pada Belva," jelas Risma melihat Kirana yang menatapnya heran. Ah, benar. Gadis itu kasar, tidak segan membentak meski pada orang yang lebih tua. Rasanya dia dulu tidak separah itu. Kalaupun harus berdebat dengan orang tua dia tidak berani menaikkan volume suara. Mungkinkah ini karma untuknya. Dulu dia yang sering membuat masalah, membuat orang tuanya pusing. Sekarang, dia akan berhadapan dengan anak tiri yang perilakunya lebih parah. "Ndak ada sosok Ibu yang membimbing mereka. Satya juga hampir ndak mengikuti perkembangan anak-anaknya. Dia hanya memenuhi kebutuhan finansial sebagai tanda jika Belva dan Selva masih memiliki orang tua. Dia ndak pernah memenuhi kebutuhan emosional anak-anak. Sebelum mereka pindah dari sini, masih ada Desti yang mendidik, tapi setelah itu ndak ada lagi yang mengarahkan. Setiap hari mereka hanya ditemani pembantu." Dengan mata berkaca-kaca dan nada penyesalan yang begitu terasa, Risma menjelaskan. Sikapnya yang keras dan tegas membuatnya canggung untuk berinteraksi dengan Belva dan Selva.. Risma mengalihkan pandangan, menatap wanita muda yang duduk si didi kanannya. Diraihnya kedua tangan Kirana. "Perdebatanmu dengan Belva tadi semakin membuat Ibu yakin. Kamu punya pendirian, ndak gampang goyah dan menyerah." Mata tua Risma menyorot penuh harap. "Ibu ndak mengharapkan apa-apa dari pernikahanmu dan Satya. Ibu hanya ingin ada yang memperhatikan dan menyayangi mereka." Jika dulu tujuan utama perjodohan ini agar Satya bisa lepas dari wanita licik yang berkedok sahabat, sekarang berubah. Masa depan cucunya lebih penting. "Kirana aja masih sering salah jalan, Bu. Kirana nggak yakin bisa mendidik mereka?" Ini adalah penolakan secara halus. "Ibu yakin kamu mampu. Jangan khawatir, Ibu dan Desti akan mendampingi." Bagaimana ini, dia tidak kuasa menolak terlebih dia merasa tertantang setelah melihat dan sedikit berinteraksi dengan dua gadis kembar itu. *** Setelah siang tadi Kirana dan si kembar, malam ini Satya yang diperintahkan untuk ke rumah Risma. "Itu masakan Kirana." Risma memberitahu setelah melihat Satya menyantap sop iga dengan lahap. Pergerakan rahang Satya terhenti. Pria itu menatap Risma yang duduk tepat di depannya. "Benarkah?" Surya yang bertanya. Hanya mereka bertiga. Keluarga kecil Desti sedang pergi ke Jogja, mengunjungi mertuanya. "Iya. Tadi siang dia yang masak." "Enak!" puji pria berumur itu sambil mengangguk-anggukan kepala. "Kenapa? Apa rasanya tiba-tiba berubah?" sarkas Risma ketika Satya mulai memelankan gerakan rahangnya dan terlihat enggan melanjutkan makan. Hanya gelengan yang menjadi jawaban. Pria itu kembali menyuap, menghabiskan sisa makanan di piring. Setelah makan, Risma mulai menggelar sidang di ruang keluarga. Hanya berdua dengan sang anak karena Surya memilih untuk tidak terlibat. Dia terlalu kecewa, dia merasa gagal mendidik Satya. "Kemana kamu kemarin?" Risma bertanya dengan suara datar tentang kejadian di butik. Satya yang duduk di single sofa menatap si penanya. Dia ingin berbohong, tetapi itu mustahil karena ibunya seperti memiliki kemampuan untuk menerawang. Wanita di sampingnya pasti sudah tahu dan hanya membutuhkan pengakuan. "Jauhi dia!" pinta Risma. "Ndak mungkin, Bu. Dia sahabatku. Dia yang—" "Yang ada saat kamu terpuruk. Benar, begitu!" sela Risma tidak suka disertai tatapan tajam pada putranya. Alasan yang sama selalu Satya berikan. Dia muak. "Jangan hanya karena itu, lantas kamu mendewakan dia. Jika dia wanita baik, harusnya dia mengingatkanmu untuk memberikan perhatian pada anak-anak, bukan malah menyita waktumu hanya untuk menemaninya untuk hal-hal yang tidak penting." "Anak-anak selalu dapat perhatianku, Bu." Satya coba menyangkal. "Benarkah?" tanya Risma disertai tatapan sinis. "Di mana kamu saat Belva dan Selva sakit? Menemani sahabatmu yang sakit perut karena datang bulan? Kamu pernah tanya pada putrimu, apakah mereka merasakan hal yang sama setiap bulannya?" Satya tidak pernah memikirkan itu karena menurutnya itu urusan wanita. Sayangnya dia lupa jika putrinya tidak memiliki sosok Ibu yang bisa mengarahkan dan mendampingi mereka saat mengalami hal tersebut. "Berapa kali kamu melupakan hari ulang tahun mereka? Berapa kali kamu mengajak mereka liburan?" Risma terus memberondong Satya dengan pertanyaan yang dia sudah tahu jawabannya. Cukup sudah selama ini dia diam melihat kelakuan Satya yang lebih mementingkan sahabatnya atas dasar balas budi. "Kalau pun kamu mengajak mereka berlibur, wanita itu selalu ikut. Ujung-ujungnya kamu kembali mengabaikan putrimu," desis Risma menahan kesal. Risma masuk ke kamar untuk beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa amplop coklat. "Itu hasil didikanmu selama ini." Risma melemparkan amplop tersebut ke meja dan langsung diambil Satya. Satya melirik ibunya yang duduk menyilangkan kaki sebelum mengeluarkan isi amplop tersebut. Mata Satya membeliak saat melihat isinya. Kertas-kertas berisi rekapan nilai akademik anak-anaknya, beberapa surat teguran dan panggilan orang tua milik Belva yang tidak pernah dia ketahui keberadaannya serta surat pemberitahuan skorsing. Rahang Satya mengetat disertai nafas yang memburu. Kedua tangannya mencengkram kertas-kertas yang menjadi bukti perilaku putrinya di sekolah. Nilai akademik yang mengecewakan, tidak mengerjakan tugas, membolos dan berkelahi. Satya menatap ibunya. Berharap ini hanya sebuah rekayasa. Ekspresi serius dari ibunya cukup menerangkan jika ini asli. Satya menaruh kasar berkas-berkas itu di meja. Menunduk lalu mengusap wajah kasar dan menjambak rambutnya. Ingin marah, tetapi dialah dalang dari perilaku putrinya. Rasa penyesalan mulai menyergap, merambati hati dan membebat kencang dadanya. Sakit, perih dan sesak perlahan menyiksa. "Putrimu terlalu pintar. Dia membayar seseorang setiap kali mendapat surat panggilan orang tua." Risma yang semula menatap Satya dengan sorot kecewa, kini beralih menatap layar hitam di depannya. "Kamu pernah gagal sebagai anak, lalu gagal sebagai suami dan sekarang … kamu gagal sebagai Ayah." Datar, tetapi cukup tajam untuk menghujam segumpal daging yang bersarang di rongga d**a. "Sekarang dari sisi mana lagi kamu bisa dilihat sebagai laki-laki." Setiap perkataan Risma adalah kebenaran dan Satya merasa tertampar karena itu. Satya merogoh amplop lebih dalam yang ada di pangkuannya. Foto-foto sahabatnya bersama pria yang berbeda. Bukan sakit hati karena dia tidak memiliki rasa apapun untuk wanita di foto itu. Dia hanya terkejut karena tidak menyangka jika perilaku sahabatnya seperti itu. "Dia yang kamu anggap baik?" Risma tersenyum remeh disertai dengkusan. "Pantas jika dia tidak peduli dengan keadaan anak-anakmu, karena yang dia pedulikan hanya kesenangannya sendiri." Satya tidak sepenuhnya mendengarkan karena fokus menatap foto-foto intim sahabatnya. "Masih ada waktu, kamu bisa menolak perjodohan ini. Ibu ndak akan membiarkan gadis seperti Kirana masuk ke dalam hidupmu yang mengerikan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD