Langkah Seung-Hun berhenti di depan pintu gedung apartemen Rachel, ia mendongak menatap langit malam sejenak lalu berpaling pada Ji-Yeon di sampingnya. “Apa kau tahu siapa itu Yamaken Onisan?”
Ji-Yeon berhenti mengusapkan tangan. “Tidak. Onisan itu berarti kakak dalam bahasa Jepang,” sahutnya ringan. Tentu perasaannya sudah menjadi lebih baik karena kemungkinan ia akan kehilangan Rachel berkurang. Mungkin. Ia tidak tahu pasti tapi ia sangat berharap.
“Sungguh? Aku tidak tahu,” Seung-Hun mendongak lagi memandang langit. “Semoga besok cerah. Sampai jumpa,” lalu ia berbalik meninggalkan Ji-Yeon.
Ji-Yeon memandang punggung Seung-Hun yang menjauh dan berpaling memandang gedung apartemen Rachel. “Selamat malam, Hime.”
* * *
Entah sudah berapa lama Rachel tidak keluar dari apartemen, sejauh yang ia ingat sepertinya belum lama. Ia duduk diam di atas tempat tidur dengan tatapan kosong. Dua tangannya memeluk kaki yang ditekuk ke depan dengan lutut yang ia jadikan tumpuan dagu. Mungkin ia terlihat seperti seseorang yang sedang putus asa sekarang. Tak apa. Lagi pula tidak ada yang melihatnya di ruangan mungil ini.
Sebenarnya ia masih belum bisa melupakan kejadian kemarin. Ia sangat yakin laki-laki yang ia lihat di seberang jalan itu adalah Yamaken.
“Yamaken Onisan,” desahnya muram. Ia mendongak memandang langit-langit. Putih. Kosong. Seperti dirinya saat ini. Ia merasa sangat kosong. Entahlah. Mungkin jika ia mau memaksa diri sedikit untuk bangun, mandi dan memulai hari ia tidak akan merasa sekosong ini. Biasanya jika pikirannya sedang buntu ia juga akan mandi. Menyegarkan tubuh terbukti ampuh menyegarkan pikiran juga. Namun untuk saat ini, mungkin semua itu harus menunggu. Sepertinya tidak akan lama. Hanya sampai kaki-kakinya mau berjalan sendiri ke kamar mandi.
Menit berlalu dalam kekosongan. Lalu Rachel mengerjap dan otaknya kembali bekerja. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan senyuman. Alunan lagu Flashlight-nya Jessie J. Membuat sedikit semangat dalam dirinya muncul. Ia juga baru ingat jika sejak tadi ponselnya sedang sibuk memutar lagu, dan lagu berjudul Flashlight ini lah yang menyentakkan Rachel kembali ke dunia nyata. Benar-benar ke dunia nyata, tepatnya pada mimpi, cita-cita yang selama ini ia perjuangkan. Hei, lihat dirinya sekarang. ia sudah mulai berhasil. Di mulai dari cerita pendeknya yang di muat di majalah dan sebentar lagi –semoga saja- n****+ pertamanya akan selesai.
Senyum Rachel bertambah lebar. Kalau diingat-ingat dari mana ia bisa mendapatkan semua impian dan cita-cita ini? Jawabannya dari seorang Yamaken Hamada. Seseorang yang ia cintai sekaligus seseorang yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Dialah seseorang yang berhasil menarik dirinya dari lembah keterpurukan. Membawanya ke dunia baru yang manis. Manis sekali. Tetapi sayangnya, semua kenyataan indah itu berakhir karena kesalah pahaman.
Senyum Rachel berubah muram. Lagu Flashlight sudah tidak terdengar lagi dan berganti Second of Summer-Amnesia. Tidak apa-apa. Sungguh tidak apa-apa. Semua akan kembali seperti dulu sebentar lagi. Yamaken tidak pernah marah padanya, tidak pernah membencinya. Walaupun ia tidak yakin apakah hal itu masih berlaku setelah semua kesalah pahaman itu.
Meski satu tahun sudah berlalu, namun Rachel tak pernah benar-benar melupakan sosok seorang Yamaken Hamada. Dia adalah seseorang yang membuat Rachel rela meninggalkan apapun untuknya. Dia sangat baik, selalu mengerti Rachel dalam keadaan apapun, pendengar sekaligus pencerita yang baik. Dia juga adalah penolong dalam hidup Rachel. Rasanya tidak ada satupun kata-kata di dunia yang bisa menggambarkan betapa pentingnya sosok Yamaken Hamada di hidupnya. Dan jika Rachel memiliki kesempatan untuk kembali, maka demi apapun juga ia tidak akan pergi lagi. Ia tidak akan meninggalkan Yamaken dan tidak akan menyuruhnya untuk pergi lagi. Tidak akan...
Kecuali, jika Yamaken sendiri yang memintanya. Tidak ada satupun perintah Yamaken yang bisa Rachel bantah.
Pintu terbuka tiba-tiba, sontak Rachel langsung terlonjak dari duduknya. Bahkan ia juga yakin jantungnya sudah jatuh ke tanah. Kepalanya berputar cepat memandang Ji-Yeon. Napasnya terengah, seperti habis berlari. Wajahnya juga terlihat cemas sekali.
Sejenak Ji-Yeon hanya memandangnya dengan sebelah tangan masih menggenggam kenop pintu. Lalu ia tersenyum dan wajahnya berubah lega. “Syukurlah kau baik-baik saja, Hime,” katanya dengan napas terputus-putus. Ia melepas genggamannya dari kenop pintu dan menyeret kakinya ke tempat tidur Rachel. Berbalik dan mengempaskan tubuhnya duduk di tepi tempat tidur.
“Bagaimana kau bisa masuk ke apartemenku?” alis Rachel bertaut heran menatapnya.
Ji-Yeon menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan agak bergumam. “Aku mengambil kunci cadangan apartemenmu dari Seung-Hun. Oh,” Ji-Yeon mengerjap lalu tersenyum kaku. “Pasti dia sedang uring-uringan mencari kuncinya,” gumam Ji-Yeon pada dirinya sendiri.
“Kau mengambil kunciku darinya?”
Ji-Yeon tersentak. Astaga, apa yang sudah ia katakan? Harusnya ia tidak mengatakan itu pada Rachel. Ya Tuhan. Otaknya kacau. Tetapi otaknya kacau juga karena gadis yang di sampingnya ini. “Sudahlah tidak perlu dipikirkan, aku sangat mencemaskan...“ kening Ji-Yeon berkerut. Sepertinya ia mendengar sesuatu. Lalu tubunya berputar ke kiri dan ke kanan. “...mu,” ia meraih ponsel Rachel di tepi tempat tidur. Raut wajahnya berubah kesal memandang Rachel. “Kau tahu ada berapa banyak telepon yang tidak kau jawab dan ada berapa banyak pesan yang tidak kau balas,” sekarang Ji-Yeon yakin kecepatan suaranya sudah melebihi kereta ekspres.
Sudut bibir Rachel terangkat kaku, ia mengalihkan pandangan dan menggaruk pipinya yang tidak gatal -kebiasaanya jika sedang gugup- lalu kembali memandang Ji-Yeon yang menunggu penjelasannya. “Maaf,” katanya akhirnya di sertai seulas senyum yang dibuat semanis mungkin.
Ji-Yeon mendengus kesal dan mengalihkan perhatiannya pada ponsel Rachel. “Bruno Mars, The Lazy Song,” gumamnya tanpa memandang Rachel. “Apa karena itu kau menghilang seharian?”
Kening Rachel berkerut bingung. “Karena apa?” tanyanya hati-hati.
“Karena sedang malas,” Ji-Yeon menunjukkan ponsel putih pada Rachel.
Mata Rachel menyipit lalu mengangguk semangat. Namun hal itu justru membuat Ji-Yeon menatapnya curiga. “Kau tidak terlihat sedang malas.”
Rachel kembali memasang senyum termanisnya. “Jadi kenapa kau datang ke sini?”
Alis Ji-Yeon terangkat dan menatapnya tidak menyangka, Rachel jadi menyesal sudah bertanya. Rachel cepat-cepat membuka mulut, tapi tidak jadi bicara karena ia tidak apa yang harus ia katakan.
“Hime, kau sudah menghilang seharian tanpa kabar. Aku sudah mengatakan padamu aku mencemaskanmu, kan? Nah, sekarang jelaskan padaku kenapa kau menghilang tanpa kabar begitu,” Ji-Yeon melipat tangan di d**a menatapnya dengan serius.
“Seharian?” kata Rachel pada dirinya sendiri. “Tapi rasanya tidak selama itu...”
Sebelah tangan Ji-Yeon melipat lengan kemejanya lalu menunjukkan jam tangan yang dipakainya pada Rachel. “Sekarang sudah hampir sore Hime. Astaga, kemana saja kau selama ini?”
Rachel memberengut. “Jangan menatapku curiga begitu. Semalam aku tidak bisa tidur jadi mungkin aku bangun kesiangan. Dan sampai sekarang bahkan aku belum mandi, aku tidak pergi kemanapun.”
Ji-Yeon mendesah. “Baiklah, aku maafkan kali ini, tapi aku tidak ingin kau menghilang tanpa kabar lagi. Sekarang mandilah, kau pasti belum sarapan.”
Sudut bibir Rachel terangkat. Ji-Yeon jadi terdengar seperti Seung-Hun, pikirnya sambil beranjak. Tepat ketika ia akan keluar dari pintu seseorang berlari ke arahnya dan hampir menabrak tubuh Rachel. Rachel tertegun dengan punggung menekuk ke belakang. Sebaliknya laki-laki di hadapannya sedang mencodongkankan tubuhnya ke depan. Dalam beberapa detik itu mereka hanya saling bertatapan. Wajah Seung-Hun terlihat cemas, sama seperti Ji-Yeon saat tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa ijin. Ya, kalau dipikir-pikir lagi jarang sekali Ji-Yeon dan Seung-Hun masuk ke apartemennya secara baik-baik.
Seung-Hun mengerjap dan menegakkan punggung. “Kau tak apa?” ia juga tidak tahu kenapa justru kalimat itu yang ia katakan. Padahal yang di pikirannya adalah, betapa ia mencemaskan gadis di hadapannya sekarang.
Senyum Rachel mengembang cerah. “Aku baik-baik saja,” katanya ringan.
Ji-Yeon berdeham. Seung-Hun menoleh, mendadak wajahnya berubah masam. “Kunci Rachel hilang, pasti kau yang mengambilnya.”
Rachel mengusap tengkuknya dengan sebelah tangan. Sementara dua temannya ini berdebat mungkin ia bisa mandi agar bisa cepat sarapan. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar, benar saja. Di dalam kamarnya suara Seung-Hun dan Ji-Yeon terdengar gaduh. Di susul bunyi debuman dan pekikan, namun tak lama berganti dengan suara tawa yang memekakan telinga. Biar Rachel tebak, mereka pasti berebut kunci sampai Ji-Yeon jatuh dari tempat tidur dan Seung-Hun mentertawakannya. Rachel meyakinkan diri setelah ini ia akan mengambil kunci cadangan apartemennya dan menjauhkan benda itu dari mereka sejauh-jauhnya.
Setengah jam kemudian Ji-Yeon sudah selesai memasak tiga ramyeon instan –setelah berdebat panjang dengan Seung-Hun- dan menyajikannya dalam mangkuk merah muda yang menggemaskan. Sementara itu Rachel dan Seung-Hun tinggal duduk manis menunggu Ji-Yeon menyiapkan ramyeon untuk mereka.
“Aku pastikan tidak akan makan ramyeon instan lagi setelah ini,” kata Seung-Hun ketika Ji-Yeon meletakkan sebuah mangkuk di hadapannya. Ji-Yeon acuh tak acuh dan meletakkan sebuah mangkuk lain di hadapan Rachel.
“Terima kasih, Ouji,” kata Rachel ceria.
Ji-Yeon tersenyum lalu duduk di kursinya. “Ramyeon buatanku adalah ramyeon yang paling enak,” serunya bangga.
“Menurutku semua ramyeon sama saja,” Seung-Hun memakan ramyeonnya dengan enggan.
Rachel senyum-senyum saja melihat dua teman kesayangannya berdebat. Melihat mereka yang serius mempermasalahkan ramyeon benar-benar membuatnya gemas. Gara-gara ramyeon instan mereka berhenti memperebutkan kunci. Rachel juga belum tahu di mana kunci cadangan apartemennya sekarang. Tetapi nanti ia akan benar-benar mengambilnya.
“Baiklah dokter Seung-Hun, jika kau tidak mau kesehatanmu terancam kembalikan saja ramyeonku,” Ji-Yeon menarik mangkuk Seung-Hun.
Seung-Hun terkesiap dan segera menarik kembali mangkuknya, “jauhkan tanganmu! Aku kelaparan saat ini!” ia memukul-mukul tangan Ji-Yeon dengan sumpit agar ia mau melepas mangkuknya.
Senyum Rachel melebar berubah menjadi tawa. Seung-Hun itu memang sangat peduli dengan kesehatan. Maklum saja, jurusan kuliah Seung-Hun adalah kedokteran. Tetapi saat ini sepertinya ia memang benar-benar kelaparan dan tidak mau melepas mangkuk ramyeonnya.
Mendadak Seung-Hun menoleh menatap Rachel sebentar lalu kembali menatap Ji-Yeon. “Nah, apa yang kau masukkan dalam ramyeon ini? Lihat, Rachel sampai tertawa-tawa sendiri begitu,” katanya dengan nada menuduh.
Ji-Yeon mendengus kesal. “Aku memasukkan racun bahagia pada ramyeon Rachel, dan memasukkan racun tikus pada ramyeonmu, puas?”
Seung-Hun terlihat tidak menyangka. “Racun bahagia?” ia memutar kepala memandang Rachel seolah ingin mengatakan jika seseorang di hadapannya itu sudah gila.
Ada seuntai kebahagiaan ada seuntai kesedihan. Kemarin Rachel merasa sedih sampai-sampai ia merasa tidak mampu untuk bangun lagi. Tetapi hari ini ia di ingatkan dengan seuntai kebahagiaannya yang lain. Ji-Yeon dan Seung-Hun adalah untaian kebahagiannya yang baru. Tingkah mereka selalu saja membuat Rachel merasa bahagia dan... beruntung.
“Oh, aku ingat,” Rachel mengerjap menyentakkan kembali kesadarannya. “Dimana kunci apartemenku?” ia menatap Seung-Hun dan Ji-Yeon bergantian. Yang ditatap langsung berhenti bicara dan saling pandang.