Chapter 14

1720 Words
Ji-Yeon menoleh ketika mendengar suara dentingan ponsel gadis di sebelahnya. Rachel terlihat sedang merogoh saku sweaternya, menatap layar ponsel sesaat sebelum akhirnya menempelkan benda itu ke telinga. Tadinya ia ingin bertanya dari siapa telepon itu, tetapi itu pasti akan mengganggu Rachel. Lalu Ji-Yeon kembali memusatkan perhatiannya pada trotoar jalan yang cukup ramai. Ia mengerjap. Sepertinya ada yang aneh. Ia tidak bisa menemukan sosok Rachel dari sudut matanya. Kepalanya berputar ke samping. Rachel tidak ada di sana. Ia berhenti dan berbalik. Mengangkat wajah memandang Rachel yang tertegun di sana. Raut wajah Rachel berubah. Ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu ketika ia menyadari Seung-Hun juga berhenti di sampingnya. Tangan Seung-Hun bergerak seolah menanyakan siapa. Rachel hanya mengangkat bahu acuh. “Dari siapa Hime?” katanya memastikan Rachel baik-baik saja. Rachel tidak menyahut, hanya menatapnya sekilas karena setelah itu pandangannya beralih pada seseorang di samping belakang tubuh Ji-Yeon. Rachel bergumam tidak jelas. “Siapa?” tanya Ji-Yeon bingung. Ia memutar tubuh sedikit. Apa yang Rachel lihat? Ji-Yeon terkejut ketika mendengar suara benda terjatuh. Ia memutar tubuhnya kembali memandang Rachel dan ponselnya yang sudah tergeletak di trotoar. Tetapi Rachel langsung mendorong lengannya. Ji-Yeon terkesiap, ia terpaksa menyingkir. “Hime kau kenapa? Apa yang kau lihat?” Rachel berjalan melewatinya begitu saja. Seung-Hun mengambil ponsel Rachel lalu menatapnya dengan tatapan bertanya. Ji-Yeon mengangkat bahu dan berbalik. Tepat saat itu Rachel melangkah cepat akan menyeberangi jalan. Ia terkesiap. Tanpa sadar ia berteriak memanggil Rachel. Langkahnya bergerak cepat dan menarik tangan Rachel menjauh dari jalan. “Hime apa yang kau lakukan? Kau hampir terserempet mobil!” Ji-Yeon tidak bisa menahan kecemasannya. Ia mengguncangkan lengan Rachel untuk menyadarkan gadis itu. Rachel terus bergumam tidak jelas. Ji-Yeon tidak bisa mendengar apa yang digumamkannya. Sebelah tangan Rachel terangkat menyangga kening. Ia menangis. Ji-Yeon tidak bisa bicara. Mulutnya terkunci. Dadanya terasa sakit melihat Rachel menangis. “Rachel kau kenapa? Ada apa?” Seung-Hun mencengkeram lembut lengan Rachel. Seung-Hun juga merasa sangat cemas. Tak ada jawaban. Hanya ada isakan halus yang terdengar. Untuk pertama kalinya, seumur hidup, Ji-Yeon merasa menjadi sangat lemah. Ia tidak bisa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Astaga, Hime... jangan menangis, pikirnya kalut. Kedua tangan Rachel bergerak menekan d**a. Ia mengerjap, menggeleng, lalu mengangkat wajah. “Maaf... aku tidak bisa ke toko buku... dan tidak bisa... menunjukkkan foto dari Karin,” katanya bercampur isak. “Jangan pikirkan itu, kau sedang tidak baik-baik saja sekarang,” Seung-Hun menatapnya cemas. “Aku akan memanggil taksi, kita ke rumahku sekarang,” tanpa menunggu jawaban ia berlalu. Rachel tidak menjawab, sepertinya ia kesulitan bicara. Ia hanya menunduk, menahan tangis sambil menekan d**a. Sepuluh menit dalam perjalan menuju rumah Seung-Hun tak ada satupun yang bicara. Rachel tidak menangis, hanya diam sambil bersandar pada sandaran kursi dan memandang ke luar jendela. Seung-Hun yang duduk di sampingnya juga diam. Ia ingin memberikan ketenangan pada Rachel. Sementara Ji-Yeon, ia masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Otaknya lumpuh. Ia merasa sangat bodoh. Bodoh sekali. Setelah sampai Seung-Hun mengantar mereka ke ruang tengah. Sepi. Tak ada orang lain selain mereka di rumah ini. Rachel termenung. Tanpa berkata apa-apa Seung-Hun meninggalkan mereka di sini. Ji-Yeon menatapnya. Hanya menatapnya. Pandangan Rachel terlihat kosong ke tengah meja. Ia ingin tahu, ia ingin bertanya... tapi tidak bisa. Lehernya sakit seperti dicekik. “Hime,” Ji-Yeon mendapati suaranya terdengar serak. Rachel mendongak menatapnya dan tersenyum kecil. Jelas itu senyuman yang dipaksakan. “Aku baik-baik saja,” katanya pelan. “Maaf...” lanjutnya sambil menjatuhkan pandangan muram. Ia memang tidak bisa menyembunyikan perasaan. “Aku tahu semua masalahmu, karena kau selalu menceritakannya padaku. Tapi kali ini, aku merasa tidak tahu... aku merasa bodoh,” Ji-Yeon sangat yakin kata “bodoh” yang ia ucapkan terdengar seperti bisikan, hampir tidak terdengar. “Kau tidak bodoh,” kata Rachel penuh penyesalan. “Aku... aku memang tidak pernah menceritakannya pada siapaun... aku. aku tidak tahu harus memulainya dari mana...” “Aku akan mendengarmu, sepanjang apapun ceritanya aku akan mendengarmu,” kata Ji-Yeon sungguh-sungguh. Rachel memejamkan mata. Air matanya mulai jatuh lagi. “Aku tahu,” ia tersenyum. “Kau sangat baik Ouji, terima kasih. Tapi...” Rachel menggigit bibir dan mengalihkan pandangan, ia tidak ingin Ji-Yeon melihatnya menangis. Seung-Hun datang membawa sebuah cangkir kaca berisi teh yang masih mengepul. Ia meletakkan cangkir itu di meja. “Minumlah agar kau merasa lebih baik,” katanya pada Rachel, lalu duduk di samping Ji-Yeon. Kepala Rachel berputar ke arahnya, di saat yang sama ia mengusap pipinya dengan tangan. “Terima kasih,” katanya sambil tersenyum singkat. Ia menggenggam cangkir dengan dua tangan, menatap kepulan asap yang mengepul di atasnya. “Astaga, aku sangat bingung sekarang,” Rachel mengerjap dan cepat-cepat menaruh cangkir itu di meja lagi. Lalu tangannya bergerak cepat mengusap pipi. “Aku tahu, jangan dipaksakan,” Seung-Hun mengulurkan sekotak tisu padanya. Rachel mendesah. “Aku sangat merepotkan,” ia tersenyum muram dan menggeleng. Memejamkan mata singkat dan berusaha mengatur napas untuk menenangkan diri. “Kau tahu...” tepat saat itu setitik air mata lain jatuh dari ujung matanya. Rachel beranjak turun dari sofa dan duduk di samping meja, ia menggenggam cangkir teh dengan dua tangan. Berharap kehangatannya bisa membuat tubuhnya yang mendadak terasa dingin menjadi lebih baik. Ji-Yeon dan Seung-Hun ikut turun dan duduk bersila di samping meja. “Aku memang bodoh,” Rachel memaksakan dirinya tertawa. “Aku ingin bertanya pada kalian,” ia mengangkat wajah memandang Seung-Hun. “Satu tahun, apakah satu tahun waktu yang lama?” sebelum sempat Seung-Hun menjawab Rachel kembali bicara,”tidak. Maksudku... apa kau pernah... membuat kesalahan yang sangat buruk?” air mata Rachel semakin deras berjatuhan. “Kadang seseorang membuat kesalahan terburuk dalam hidupnya, tetapi semua kesalahan masih bisa diperbaiki,” kata Seung-Hun meski ia belum mengerti dengan arah cerita Rachel. “Tidak,” Rachel menggeleng. “Menurutmu Ouji, jika kau sudah bersikap sangat baik pada seseorang tapi akhirnya seseorang itu membalasmu dengan sangat buruk apa kau masih bisa memaafkannya?” Ji-Yeon tercekat. Ia tidak menemukan jawaban di otaknya. “Tidak. Jawabannya adalah tidak,” Rachel menggigit bibir. Melipat tangan di meja dan menjatuhkan kening di atasnya. Tubuhnya bergetar. Rachel tidak bisa berhenti menangis, untuk saat ini tidak bisa. “Aku masih mencintainya...” Seung-Hun dan Ji-Yeon tertegun. Tidak, bahkan tubuh mereka membeku. Meski Rachel terisak tapi mereka masih dapat mendengar suara Rachel. Ji-Yeon merasa jantungnya hampir melompat keluar. Mencintainya...? Mencintai siapa? Tubuh Rachel masih bergetar dan terisak. Ia belum bicara. Belum bisa. Ia tidak tahu dua orang di hadapannya membeku karena terkejut. “Siapa?” Ji-Yeon mendapati suaranya bergetar. Rachel berhenti menangis, mengangkat wajah memandang Ji-Yeon lekat. “Kau benar Ouji. Kau akan meninggalkan seseorang yang tidak menghargai perjuanganmu, kan? tidak seperti kakakmu, kan?” Seung-Hun tidak bisa bergerak. Tidak bisa bicara. Apa yang mereka bicarakan? Apa seseorang yang dimaksud Rachel adalah Ji-Yeon? Il Ji-Yeon teman dekatnya sendiri? “Aku sudah terlambat, satu tahun... dia tidak akan memaafkanku, Seung-Hun,” Rachel berpaling menatap Seung-Hun. “Dia sudah melakukan banyak hal untukku, berkorban untukku. Tapi karena kesalah pahaman aku membencinya, memakinya, dan mengusirnya dari hidupku. Padahal aku sangat membutuhkannya, Seung-Hun... tolong aku...” Kepala Seung-Hun berputar memandang Ji-Yeon, tapi temannya juga menatapnya dengan tatapan yang sama. Itu berarti bukan Ji-Yeon... “Aku... aku akan menolongmu Rachel,” kata Seung-Hun meski hatinya berkata sebaliknya, ia tidak rela. Sama sekali tidak rela melihat Rachel bersama orang lain, bersama orang yang dicintainya itu. Rachel menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Menurutmu apa yang harus aku lakukan?” Seung-Hun sangat ingin menjawab, tidak ada yang perlu Rachel lakukan, lupakan orang itu dan lanjutkan hidup. Ia akan selalu ada untuk Rachel bahkan tanpa di minta... Tapi itu sangat egois. Seung-Hun tidak bisa mengatakannya. “Meminta maaf padanya.” “Aku tidak mengerti, siapa yang kau masud itu Hime?” “Yamaken Onisan.” Tangan Ji-Yeon terkepal di samping tubuhnya. Ia menyesal sudah bertanya. Ia ingin berteriak, hatinya hancur, sakit. Ia berharap bisa menghilang detik ini juga. “Dia orang Jepang?” Ji-Yeon merasa ingin berteriak. Kenapa Seung-Hun harus bertanya? Padahal sudah jelas jawabannya iya. Yamaken itu nama orang Jepang, dan Onisan berarti kakak dalam bahasa Jepang. Apa hal seperti itu saja ia tidak tahu? Rachel mengangguk. “Yamaken Onisan...” Ji-Yeon berharap pendengarannya lumpuh, ia tidak ingin mendengar apapun jawaban Rachel. “Memang orang Jepang. Tapi ia tinggal di sini sejak kecil. Aku mengenalnya saat SMA, dia kuliah di kampus yang sama dengan kita,” pandangan Rachel berubah menerawang. “Satu-satunya alasan kenapa aku masih tinggal di sini meski orang tuaku pindah ke Jepang adalah dia...” Ji-Yeon tahu orang tua Rachel pindah ke Jepang sejak Rachel kelas tiga SMA, tapi ia tidak tahu alasan Rachel tetap tinggal di sini. Jadi karena orang lain... itu terdengar sangat menyakitkan. “Aku mati-matian berusaha masuk ke kampus ini juga karena dia, meski aku tahu dia sudah lulus. Tapi aku tetap ingin masuk di kampus yang sama dengannya...” “Kau masih mencintainya?” suara Seung-Hun terdengar berat. Rachel mendongak. “Mungkin. Kadang aku merasa begitu, kadang juga tidak. Di saat seperti ini aku merasa masih sangat membutuhkannya.” Ji-Yeon merasa dadanya tidak terlalu sesak lagi. Ia yakin, sangat yakin jika Rachel tidak mencintai laki-laki itu. “Lalu?” tanya Ji-Yeon penuh harap. “Satu hal yang ingin aku lakukan. Menghilangkan semua rasa bersalah ini,” Rachel memandang Seung-Hun lurus-lurus. “Aku harus meminta maaf?” Seung-Hun mengangguk dan tersenyum. “Minta maaflah dan semua rasa bersalahmu akan hilang. Dengan begitu kau tidak akan memikirkannya lagi.” Benar, yang Seung-Hun katakan itu benar. Ji-Yeon setuju dengannya. Minta maaf dan lupakan orang itu. Rachel harus tahu ada dirinya di sini. “Meminta maaf,” ia mengangguk lalu melanjutkan, “bukannya malah menangis dan menyalahkan dirimu sendiri.” Rachel tidak langsung menjawab, ia terlihat merenung sejenak. “Kurasa kau benar. Tujuanku bertahan di sini karena ingin meminta maaf. Tapi... bagaimana jika dia sudah terlanjur membenciku? Tidak mau memaafkanku?” “Aku akan membantumu meminta maaf padanya,” kata Ji-Yeon sungguh-sungguh. “Apapun reaksinya, yang terpenting kau sudah meminta maaf,” Seung-Hun menambahkan. Rachel mengusap pipinya dengan sebelah tangan. “Baiklah, jika suatu hari nanti aku bertemu dengannya, aku akan meminta maaf. Tidak peduli apapun reaksinya...” “Ya. Dan setelah itu kau akan melupakannya, melupakan semuanya,” Ji-Yeon merasa semakin lega. Rachel menjatuhkan pandangan memandang kepulan asap dari cangkir dan bergumam tanpa sadar, “hmm.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD