Chapter 18

953 Words
Langkah Rachel terhenti ketika tanpa sengaja ia menjatuhkan buku-bukunya. Ia mendecak kesal dan memutar bola matanya sebelum akhirnya berjongkok mengambil buku-bukunya yang berserakan. Suasana hati Rachel sedang berbanding terbalik dengan hari yang cerah ini. Itu karena ia tidak bisa melupakan, atau lebih tepatnya tidak bisa berhenti memikirkan tentang Ji-Yeon. Tentang tatapannya yang berbeda... tentang sikapnya... dan tentang apapun yang ada pada laki-laki jangkung itu. Seung-Hun juga sama. Rachel jadi merasa tidak yakin dengan keyakinannya sendiri. Ia tidak mau, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan jika ucapan Karin itu benar. Ya Tuhan... ia sama sekali tidak ingin hal itu terjadi. Rachel menyayangi mereka-sangat menyayangi mereka, sebagai seorang teman. Ia tidak ingin kehilangan salah satu diantara mereka, apalagi jika kehilangan mereka berdua sekaligus! Itu terasa seperti mimpi buruk! “Tidak! Tidak!” dengan sekali sentakan Rachel kembali berdiri. Sial, gara-gara gerakannya yang tiba-tiba ini malah ponselnya yang jatuh sekarang! rachel terpaksa berjongkok lagi dan mengambil ponsel. “Aku sangat bodoh,” Rachel tertawa aneh. Ia sangat yakin tawanya terdengar jelas dipaksakan. “Itu tidak mungkin terjadi... mereka adalah temanku...” mendadak otaknya terasa kosong. Detik berlalu isi otaknya perlahan kembali dan ketika itu Rachel mengerjap dengan tatapan kosong. “Il Ji-Yeon, Han Seung-Hun...” ia kembali tertawa aneh. “Mereka dua manusia sempurna sementara aku hanya gadis jelek, bodoh, merepotkan... tidak tahu diri...” Rachel mengembuskan napas berat. Bagian “tidak tahu diri” itu membuatnya dadanya terasa sakit. Lalu ia menggeleng dan mendongak. “Menyukaiku? Aku? Hah.. yang benar saja!” Rachel menyeret sebelah sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum. Senyum sinis yang ia tujukan untuk dirinya sendiri. “Aku pasti sudah agak gila memikirkan hal itu!” Senyum sinisnya lenyap dan kini ia termenung dengan tatapan kosong. Ya Tuhan ia tidak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Ia tidak bisa menerima kenyataan seperti itu! Tidak bisa...! itu terlalu menyakitkan... Apa yang harus ia lakukan sekarang?! Bertanya? Apa bertanya bisa membantu? Tetapi apa yang harus atau bisa ia tanyakan?! Rachel memukul keningnya dengan sebelah tangan. Astaga, rasanya ia sudah hampir gila! Rachel kembali menunduk dan berusaha untuk berpikir tenang. Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan semua pikiran buruknya ini adalah dengan memastikan. Ya, Rachel akan memastikannya sendiri! Ia akan mengatakan sesuatu pada Ji-Yeon dan Seung-Hun. Ia tidak yakin apa hal ini bisa memastikan perasaan mereka, tetapi, setidaknya Rachel sudah mencoba. Ya... tergantung dari jawaban mereka... semoga mereka menjawab sesuai harapannya. Rachel menatap ponselnya dan mulai menelepon Seung-Hun. Beberapa saat menunggu akhirnya terdengar suara operator. Kenapa Seung-Hun tidak menjawabnya? Rachel mencoba sekali lagi, namun tidak ada perubahan. Seung-Hun tetap tidak menjawab teleponnya. Kapan Seung-Hun pernah tidak menjawabn telepon Rachel? Sejauh yang Rachel ingat, tidak pernah. Rachel menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat. Ia memutuskan akan menelepon Seung-Hun nanti. Sekarang menelepon Ji-Yeon, katanya dalam hati. “Halo?” Kata Rachel ketika terdengar suara sapaan dari seberang. “Ouji,” panggilnya nyaris tak terdengar. “Tidak, aku. aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Aku. aku sangat berterima kasih karena kau, eh, selama ini kau sudah sangat baik padaku. Kau teman yang sangat baik, baik sekali...” Rachel mengeratkan genggamannya pada ponsel, tidak peduli jari-jari tangannya sampai terasa sakit. Jantungnya berdegup cepat –cepat sekali, mendengar suara Ji-Yeon yang bertanya kenapa ia berkata begitu. Rachel terdiam sejenak. Otaknya yang berubah lambat sedang berusaha menyusun kata. Belum. Rachel masih belum menemukan jawaban yang tepat. “Kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku akan melakukan apapun untukmu, Hime.” Tidak! harusnyaJi-Yeon tidak menjawab begitu. Harusnya JI-Yeon berkata “sama-sama, sebagai seorang teman sudah seharusnya begitu” atau apapun itu yang mengatasnamakan pertemenanan mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi dentingan yang cukup menyakitkan telinga. Rachel cepat-cepat menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatapnya dengan kening berkerut. “Ya ampu, ponselku low-batt,” gumamnya samar. *** Ji-Yeon menatap ponselnya dengan kening berkerut berlebihan. Kenapa tiba-tiba Rachel memutus hubungan? Ia mencoba menelepon Rachel tapi ponselnya sudah tidak aktif. Apa yang terjadi? “Apa?” Pandangan Ji-Yeon beralih pada Il Woo-Sung. Ia menatap Ji-Yeon dengan tatapan bertanya-tanya. Apa barusan Ji-Yeon sudah menyuarakan pikirannya? Pasti begitu. Lagipula sejak kapan kakaknya bisa membaca pikiran? “Apa maksudnya apa yang terjadi?” Woo-Sung mengulangi pertanyaannya. “Hime, maksudku, itu...” Ji-Yeon merasa tubuhnya membeku. “Sesuatu terjadi padanya?” Ji-Yeon mengangkat wajah lalu berkata dengan nada merenung. “Kakak, apa artinya jika tiba-tiba seseorang berterima kasih padamu atas semua yang sudah kau lakukan untuknya... lalu dia memutus hubungan dan ponselnya tidak bisa dihubungi...” Air muka Woo-Sung berubah serius. Bahkan majalah di tangannya hampir jatuh jika ia tidak cepat-cepat menggenggamnya lebih erat. “Itu berarti,” suara Woo-Sung terdengar lebih berat dari biasanya, “seseorang itu akan meninggalkanmu.” Bukan jawaban tanpa alasan. Woo-Sung menjawab berdasarkan pengalamannya sendiri, berdasarkan apa yang sudah terjadi padanya dan mantan kekasihnya dulu. Menyakitkan memang. Tetapi Woo-Sung tidak bisa berpura-pura pada adiknya sendiri. Ji-Yeon tertegun. Tubuhnya semakin menegang. Mendadak ia teringat dengan seseorang yang pernah diceritakan Rachel. Apa ini ada hubungannya dengan orang itu? Ah, sial! Ji-Yeon tidak bisa mengingat namanya! Astaga, rasanya sakit sekali. Ia juga merasa takut. Meninggalkan? Meninggalkan seperti apa maksudnya? Apa, itu berarti seperti kekasih kakaknya dulu? Tidak. Pasti ia salah. Ia tahu Rachel akan melupakan orang itu dan mulai melihatnya. Sebelah tangan Ji-Yeon bergerak cepat menjejalkan ponsel ke saku celananya. Dan tanpa berklata apa-apa lagi ia meraih jaket yang tergeletak di atas ransel dan bergegas meninggalkan Woo-Sung di ruang duduk itu. Woo-Sung tak bergeming. Lalu ia memaksakan sebelah tangannya bergerak untuk menelepon temannya dan menempelkan ponsel di telinga. Ia berharap JI-Yeon tidak mengalamihal yang sama dengan dirinya. “Yamaken,” katanya ketika seseorang di seberang sudah menjawab teleponnya. “Kau ada waktu? Aku butuh udara segar sekarang... tentu, ajak mereka juga. Kita selalu pergi bersama di saat seperti ini...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD