Masih dengan senyuman yang sama, sebelah tangan Rachel mengusap kaca bingkai yang menutup foto itu. Takdir setiap orang akan terus datang dan pergi. Ketika Yamaken pergi, Seung-Hun dan Ji-Yeon datang menjadi cahaya baru di hidupnya. Dulu Yamaken menjadi segalanya untuk Rachel. Tetapi sekarang Ji-Yeon dan Seung-Hun seolah menjadikan ia segalanya bagi mereka.
Mereka itu teman yang baik, kan?
Ya, tentu saja. Dan dugaan Karin tentang mereka sama sekali tidak benar. Ia tahu. Mereka tidak akan mungkin mencintai dirinya. Mereka menyayanginya sebagai seorang teman. Keyakinan itu membuat Rachel merasa aman. Karena dengan itu, ia tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan salah satu di antara mereka.
Mereka akan menjadi teman selamanya. Rachel berjanji pada dirinya sendiri ia akan menjaga mereka. Sama seperti yang mereka lakukan padanya. Dan tentang kesalahan di masa lalunya pada Yamaken, seperti yang Seung-Hun katakan ia akan meminta maaf, seperti yang Ji-Yeon katakan juga, bukannya malah menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Senyum Rachel mengembang. Lalu ia meletakkan bingkai foto itu di meja kerjanya. Ia meyakinkan dirinya akan menerima segala kemungkinan yang akan datang.
“Terima kasih untuk segalanya, Yamaken Onisan,” ia menatap lekat foto itu. Foto yang memperlihatkan sosok seorang Yamaken Hamada memakai almamater berwarna biru gelap, dan di sampingnya berdiri seorang gadis bertubuh mungil yang tersenyum cerah. Di sudut foto ada rangkain angka yang terbaca 25-09-2012.
Kini Rachel bangkit dan berbalik pergi. Sekarang ia akan berangkat ke kampus. Pulangnya ia akan mengajak Seung-Hun dan Ji-Yeon ke toko buku. Ia juga sudah memasukkan laptopnya ke dalam ransel, jadi nanti ia bisa menunjukkan foto-foto dari Karin pada Ji-Yeon.
Rachel melangkah ringan ke luar apartemen. Ia juga tidak lupa mengunci pintu, lalu berjalan menuruni tangga dan menyapa paman Osada di bilik kecilnya dengan ramah. Ia keluar dari gedung apartemen dengan wajah cerah. Menghirup udara pagi dan mengembuskannya perlahan. Cerahnya musim gugur memang sayang jika hanya di abaikan. Rachel tidak tahu apakah ada orang di luar sana yang menghargai kebahagiaan sederhana dengan hanya menghirup udara pagi dan menikmati langit.
“Selamat pagi, Hime. Kau terlihat cerah melebihi mentari.”
Kalimat itu menerjang gendang telinga Rachel sampai membuatnya terlonjak. Ia mengalihkan pandangan pada Ji-Yeon, melipat tangan di d**a dan berlagak terlihat kesal.
“Aku tahu... aku tahu...” Ji-Yeon menunjukkan senyum lebarnya. “Aku minta maaf sudah membuatmu terkejut.”
“Oke. Selamat pagi juga Ouji yang senyumnya lebih menenangkan dari langit biru,” nada suaranya terdengar dramatis sengaja untuk membalas Ji-Yeon, ia juga mengangkat sebelah tangan menunjuk langit. Ji-Yeon memperlihatkan wajah terpukaunya dan bertepuk tangan dengan semangat.
Tiba-tiba seseorang menurunkan tangan Rachel sambil berkata, “sejak kapan kalian jadi puitis berlebihan begini. Jangan-jangan ini akibat ramyeon buatan Ji-Yeon kemarin,” Seung-Hun menempelkan punggung tangannya pada kening Rachel. Lalu dengan wajah panik yang berlebihan ia berkata, “oh, astaga. Kurasa kau memang agak keracunan.”
“Kau masih saja membahas ramyeon buatanku,” Ji-Yeon mendengus kesal. “Lihat saja, aku tidak akan memasak ramyeon lagi untukmu.”
Seung-Hun menjauhkan tangannya dari kening Rachel dan berpaling menatap Ji-Yeon. “Aku juga tidak mau makan ramyeon instan lagi. Tidak akan. Titik.”
Alis Ji-Yeon terangkat heran, memangnya siapa juga yang mau memaksa Seung-Hun untuk makan ramyeon lagi?
“Kalau aku selalu koma,” kata Rachel sambil mengerjapakan mata dengan genit, meniru gaya Ji-Yeon sewaktu di restoran tadi malam.
“Sudah kuduga, kau benar-benar keracunan,” Seung-Hun melingkarkan tangannya di leher Rachel dan membawanya menjauh dari Ji-Yeon seolah-olah ia adalah virus yang harus dihindari.
“Hei, apa-apaan kau ini?!” kontan Ji-Yeon mengejar mereka dengan wajah kesal.
Rachel tertawa saja mendengar mereka berdebat, nanti juga akan berhenti sendiri jika sudah lelah. “Oh ya,” Rachel menjentikkan jarinya, lalu menyingkirkan tangan Seung-Hun karena pundaknya mulai terasa pegal. “Sepulang kuliah aku ingin mengajak kalian ke toko buku.”
Dua temannya tertegun sesaat, tetapi mereka segera bersikap sebiasa mungkin. Rachel tahu, pasti mereka teringat dengan hari itu. Tidak apa-apa, ia mengerti.
“Ayolah cepat, aku tidak menerima penolakan,” Rachel melingkarkan tangannya pada lengan Ji-Yeon dan Seung-Hun bersamaan, lalu berjalan secepat mungkin menyeret mereka.
* * *
Ponsel Seung-Hun berdering ketika mereka berjalan keluar dari toko buku. Rachel berhenti berjalan dan memutar tubuh memandang Seung-Hun yang sedang menjawab telepon. Ekspresi wajahnya berubah agak aneh. Sepertinya seseorang di seberang menyuruhnya untuk pergi ke suatu tempat.
“Maaf,” kata Seung-Hun setelah mengembalikan ponselnya ke dalam saku. “Aku harus pergi sekarang, ada urusan,” desahnya muram.
Ji-Yeon mengangkat sebelah tangan sambil tersenyum. “Baiklah, sampai jumpa,” katanya sambil menggoyangkan sebelah tangan.
Rachel mengerjap tanpa ekspresi menatap Seung-Hun. Sedetik kemudian ia sadar Seung-Hun sedang menunggu jawabannya. “Oh, iya, tidak apa-apa. Aku bisa pulang bersama Ouji. Hati-hati di jalan.”
Alis Seung-Hun terangkat menatapnya. “Baiklah, sampai jumpa,” kata Seung-Hun akhirnya, lalu berbalik dan berjalan pergi.
“Mau beli es krim?”suara Ji-Yeon membuat Rachel tersentak dan mengalihkan perhatiannya pada Ji-Yeon.
“Kau tahu saja aku sedang ingin es krim,” senyumnya mengembang sempurna.
Mata Ji-Yeon agak menyipit karena tersenyum, lalu ia memutar tubuh dan mengajak Rachel ke sebuah mini market di dekat sana. Ji-Yeon berkata akan mentraktir es krim untuk Rachel, karena itu ia pun memilih menunggu di depan minimarket.
“Hmm,” Rachel mendesah muram. Tidak ada Seung-Hun jadi agak sepi, tetapi bukan berarti bersama Ji-Yeon tidak menyenangkan. Hanya saja akan lebih menyenangkan dan terasa lengkap jika Seung-Hun juga bersama mereka. Rachel menjatuhkan pandangan pada sepatu putih yang ia kenakan, lalu berpaling pada n****+ baru di tangannya. Ia jadi ingin membaca n****+ itu sekarang.
“Hime,” Ji-Yeon berdiri di samping Rachel, gadis itu mendongak memandangnya dan tersenyum. Ia balas tersenyum dan memberikan salah satu es krim di tangannya. “Maaf membuatmu menunggu lama.”
Rachel menggeleng. “Tidak juga. Terima kasih, ya, Ouji,” Rachel menerima es krim Ji-Yeon dan menggigitnya perlahan. “Oh ya, aku ingin membaca n****+ ini,” Rachel menunjukkan n****+ di tangannya. “Mau membacanya bersama tidak?”
Ji-Yeon menggigit ujung es krimnya lalu berpikir sejenak. “Aku tidak terlalu suka membaca sebenarnya. Tapi aku akan menemanimu. Ayo ke taman?”
Sebelum Rachel sempat membuka mulut untuk menjawab Ji-Yeon sudah lebih dulu mencengkeram sebelah tangan Rachel dan menyeretnya pergi.
“Di sekitar sini ada sebuah taman yang cukup bagus,” kata Ji-Yeon tanpa memalingkan perhatiannya dari trotoar jalan dan tetap menahan tangan Rachel dalam genggamannya. Seolah-olah Rachel bisa menghilang di tengah keramaian jika ia sedikit saja melepas genggamannya dari gadis itu.
Ji-Yeon tidak mengada-ada. Belum lama mereka berjalan m,ereka sudah sampai di sebuah taman yang cukup menarik.
Sementara Rachel membacakan n****+, Ji-Yeon duduk di sebelahnya sambil bertopang dagu. Kini mereka berada di sebuah taman tak jauh dari toko buku. Taman ini cukup luas, dengan deretan pohon Gingko dan Maple di sepanjang jalan dan beberapa kursi kayu yang masing-masing jaraknya cukup jauh. Juga ada beberapa kursi yang di lindungi kanopi warna kuning yang letaknya agak jauh dari jalan taman.
Sebuah kursi kayu yang letaknya tepat di bawah pohon Gingko dengan daun berwarna hijau, kuning dan oranye menjadi pilihan Rachel. Ia bilang pohon Gingko ini unik karena warna daunnya agak berbeda dari kebanyakan pohon Gingko yang sudah mereka lihat. Memang agak aneh, pohon-pohon Gingko yang lain sudah hampir berwarna oranye sempurna, karena perbedaan inilah yang membuat Rachel merasa pohon ini spesial. Walau Ji-Yeon sendiri tidak mengerti apa hubungannya sebuah pohon spesial dan kursi kayu tua? Tetapi ia tidak terlalu memikirkan hal itu, Rachel menyukai perbedaan, dan mungkin hal itu membuatnya merasa lebih nyaman. Jadi Ji-Yeon hanya tinggal mengikutinya saja, selama Rachel senang ia juga akan senang.
Rachel mengerjap lalu mengalihkan pandangan pada Ji-Yeon. Yang ditatap malah terkesiap membuat Rachel memberengut dan menatapnya curiga. “Kenapa senyum-senyum begitu? Sejak tadi kau tidak mendengarkanku ya?”
“Eh?” Ji-Yeon tidak sadar sudah tersenyum tadi.
“Hei, kenapa malah diam?”
Ji-Yeon tersenyum dan berhenti menopang dagu. “Tidak. Aku selalu mendengarmu Hime. Aku selalu melihatmu.”
Sesaat mereka hanya saling bertatapan. Sampai tiba-tiba Rachel mengerjap dan mengalihkan pandangan, mengerjap lagi dan kembali memandang Ji-Yeon tanpa ekspresi. Laki-laki itu masih tersenyum, masih menatapnya dengan tulus. Rachel sadar jantungnya mulai berdegup tak beraturan. Tatapan itu. Senyuman itu. Membuat ketidak yakinan Rachel pada dugaan Karin semakin berkurang.
Ya Tuhan... Il Ji-Yeon tidak boleh menyukainya! Pikir Rachel cemas. Sedetik kemudian ia berpaling dan memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian Ji-Yeon. “Ouji, menurutku pohon Gingko ini spesial,” katanya sambil mendongak menatap dedaunan di atas kepalanya.
Ji-Yeon ikut mendongakkan kepala. “Ya, kau sudah mengatakan itu.”
“Benarkah?” tanya Rachel pada dirinya sendiri. Kalau begitu ia harus mengatakan hal lain. “Um... itu. Menurutku pohon ini juga agak terlambat. Seharusnya daun-daun itu sudah berwarna oranye atau merah semua,” Rachel berusaha mengatakan semua itu tanpa memandang wajah Ji-Yeon dan itu tidak semudah yang ia kira, apalagi ketika lehernya mulai pegal karena terus mendongak.
“Mungkin. Tapi suatu hari mereka juga akan berubah warna seperti seharusnya lalu mulai berguguran.”
Rachel masih belum ingin memandang Ji-Yeon, ia ingin tetap mendongak sampai keyakinannya seratus persen kembali. “Ya, aku suka melihat dedaunan berwarna merah,” kata Rachel berusaha agar terdengar sebiasa mungkin.
“Aku juga. Tapi aku lebih suka melihatmu tersenyum.”
Kali ini Rachel tidak bisa tidak menatap Ji-Yeon. Kalimat terakhir yang didengarnya itu seakan menggerakan kepalanya berpaling menatap sepasang mata dalam dan seulas senyum tipis yang tulus. Tulus sekali. Seolah-olah Il Ji-Yeon sungguh-sungguh mengatakannya. Ia tidak bercanda. Rachel tidak bisa menemukan bukti di balik sorot mata Ji-Yeon jika ia sedang bercanda.