Ke Bali tanpa istri

1782 Words
"Abang tau, sebenernya yang ngebet pengen nikah, tuh, kamu. Kamu takut kalau Celine berpaling dari kamu, 'kan?" Excel hanya diam, kaki jenjangnya yang tertekuk ke bawah karena ia duduk bersandar di sofa sedikit ia goyangkan untuk meredakan sedikit perasaannya yang tidak menentu. "Kamu tau enggak, Cel, perasaan kamu yang kayak gini ini yang bisa bikin hubungan kalian merenggang. Kalian bakalan sering ribut dan enggak menutup kemungkinan hubungan kalian akan berakhir tidak baik," sambung Banyu. Excel yang semula bersandar santai lalu duduk tegap seraya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Dih, amit-amit. Abang doainnya gitu!" Protes Excel, Laura tertawa kecil melihat ekspresi pemuda itu. "Siapa yang ngedoain? Emang dasar kamu, tuh, pikirannya buruk terus sama orang!" gerutu Banyu. "Udah, deh, Sayang, kamu aja yang ngomong sama dia, males Abang ngomong sama ABG labil kayak dia," pinta Banyu pada sang istri yang masih menertawakan tingkah Banyu dan adik sepupunya itu. "Maksud Bang Banyu, tuh, gini, Cel. Ketakutan yang kamu rasain ini pertanda kalau kamu belum bisa yakin dan percaya seratus persen sama Celine bahwa dia itu bakalan setia dan nungguin kamu sampe selesai kuliah lalu kerja, ya ... pokoknya sampe kamu siaplah." Excel mendengarkan, sama sekali tidak menyela apa yang Laura katakan padanya berbeda saat Banyu yang berbicara, maka Excel akan terus menyela dengan segala protesnya. "Dan rasa tidak percaya itu yang akan membuat hubungan kalian enggak sehat, karena dalam sebuah hubungan fondasi utama yang harus dibangun adalah kepercayaan, lalu ditopang dengan komunikasi dua arah yang baik, maka hubungan itu akan berjalan baik." Excel manggut-manggut mendengarkan perkataan Laura dengan gaya seriusnya, ia menopang dagunya dengan tangan kirinya. "Gila, ya, Ra. Ternyata nikah bikin orang tambah dewasa!" ujar Excel, membuat Laura mengerutkan keningnya. Banyu melempar Excel dengan bantal sofa, membuat pemuda itu terperanjat dan menatap kesal pada Kakak sepupunya itu. "Apaan, sih, Bang?" tanya Excel yang tidak mengerti mengapa Banyu lemparnya dengan bantal sofa. "Laura lagi nasehatin kamu, masuk pikiran enggak, malah OOT!" sembur Banyu. "Iya, Bang. Aku dengerin, dan aku pikirin, tapi aku cuma kagum aja sama Laura." Excel membela diri, ia sedikit menggerutu saat mengucapkannya. "Sekarang kamu inget-inget, deh, berapa kali Celine pernah bilang sama kamu kalau dia bersedia nungguin kamu dewasa?" tanya Banyu. "Aku udah dewasa, Bang! Laura sama Meisya aja udah jadi emak-emak." Lagi-lagi Excel protes dengan ucapan Banyu, meski perbedaan usia keduanya terpaut jauh tetapi mereka terlihat akrab layaknya seorang sahabat yang selalu berbeda pendapat tetapi tetap saja sebagai saudara keduanya saling menyayangi. "Enak aja kamu bilang Laura emak-emak, bidadari ini!" protes Banyu, Excel lalu menyemburkan tawanya. "Kenapa ketawa? Enggak inget kamu dulu pernah ngejar-ngejar dia? Seandainya kita bukan saudara, Abang udah cekek kamu sampe kamu hanya tinggal nama dulu!" ujar Banyu, Excel tersenyum kecut mengingat kenakalannya dulu. "Ya maaf, Bang. Dulu, 'kan, aku khilaf, aku lagi tersesat waktu itu. Kalau sekarang aku udah menemukan jalan yang benar, jalan menuju hidup bahagia bersama Celine," jawab Excel membuat Laura tersenyum bahagia mendengarnya, ia senang karena Celine telah dipertemukan dengan pemuda yang benar-benar mencintainya. Laura berharap semoga Excel dan Celine benar-benar berjodoh. "Kalau begitu mulai sekarang, kamu enggak boleh lagi, tuh, nurutin kegalauan kamu. Konsentrasi aja buat kuliah biar cepat lulus, aku yakin banget, kok, kalau Celine bener-bener menjaga komitmennya sama kamu," sahut Laura santai. "Tapi aku, tuh, enggak bisa kalau harus seratus persen konsen ke kuliah, Ra, Bang. Karena pikiran aku bercabang antara selalu memikirkan Celine dan memikirkan bisnis aku," ujar Excel dengan gaya bagai seorang profesor yang tengah memikirkan masalah serius. Laura mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Excel, "Enggak usah ngegombal, Celine juga enggak denger!" "Siapa yang gombal, ini semua beneran!" jawab Excel membela diri, Banyu juga akhirnya mencebikkan bibirnya seperti sang istri lalu bangun dari duduknya. "Makan aja, yuk, Sayang. Abang udah laper," ajak Banyu, Laura langsung bangun lalu menempelkan kedua tangganya pada bahu Banyu dari belakang. "Tapi gendong!" pinta Laura yang langsung melompat kecil ke punggung sang suami. Excel membulatkan matanya melihat hal itu. "Tuh, tuh, 'kan, kalian itu gitu!" gerutu Excel, Banyu dan Laura hanya tertawa kecil lalu meninggalkannya ke ruang makan. Excel menggelengkan kepalanya lalu kembali bersandar santai di sofa memikirkan semua perkataan Banyu dan Laura tadi sampai suara Miranda memasuki indera pendengarannya. "Excel, ayo makan!" "Iya, Budhe." * Dita Andriyani * "Hari ini ada acara, Sayang?" tanya Banyu yang sedang mengancing kemejanya dari bagian bawah, Laura yang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang langsung bangun dan mengambil alih, ia memasukkan anak kancing kemeja Banyu dengan telaten ke dalam lubangnya Banyu langsung menggunakan kedua tangannya yang terbebas dari tugas untuk memeluk pinggang ramping sang istri. "Enggak ada acara keluar, cuma meriksa laporan mingguan resort," jawab Laura yang tetap fokus dengan kegiatannya. Laura mengehentikan gerakan jemarinya menyisakan dua anak kancing yang belum memasuki lubangnya, lalu menciumi d**a dan leher sang suami, Banyu mengulum senyum mendapat perlakuan seperti itu. "Lusa Abang harus Ke Bali, kamu mau ikut?" tanya Banyu, Laura langsung menghentikan ciumannya. "Pertanyaan macam apa, itu? Tentu aja aku ikut, aku harus ikut ke mana pun Abang pergi!" jawab Laura yang sudah mulai meneruskan memasang kancing kemeja Banyu. "Dasar posesif," ujar Banyu lirih untuk menggoda sang istri. "Emang, dan itu harus. Punya suami tampan dan kaya raya kayak Abang emang harus ekstra pengawalan, di luar sana banyak singa betina lapar yang siap memangsa Abang!" jawab Laura yang lalu melepaskan diri dari pelukan Banyu, berjalan menuju lemari, menarik laci di mana tersusun rapi dasi milik Banyu dan memilihkan yang menurutnya paling cocok dengan warna kemeja dan jas yang akan suaminya kenakan. "Tapi sebanyak apapun singa lapar di luar sana, enggak akan pernah bisa bikin Abang berpaling dari ratunya singa yang ada di sini!" ujar Banyu seraya memeluk tubuh sang istri dari belakang. "Ih, Abang. Kok aku di samain ama singa juga, sih!" protes Laura, tangan kirinya telah memegang dasi pilihannya sedang tangan kanannya menutup laci dan lemarinya kembali. "Ya emang kamu kalau malam mirip singa, ganas. Eeeerrraaaawwww ...." Banyu menirukan suara singa yang sedang mengaum untuk menggoda sang istri lalu menggigit lembut leher jenjangnya. "Ih, Abang!" Laura kembali protes tetapi kini disertai tawa renyah akibat rasa geli yang Banyu berikan. "Tapi Abang suka, 'kan, kalau aku jadi kayak singa?" tanya Laura seraya membalikkan badannya agar bisa memasang dasi pada leher sang suami. "Hem ... jadi Singa kalau malem, Abang suka," jawab Banyu seraya menatap wajah sang istri yang tengah serius memasangkan dasi berwarna coklat muda dengan garis coklat tua di lehernya. "Jadi sukanya kalau malem aja? Kalau sekarang enggak suka?" tanya Laura sengaja untuk menggoda sang suami. "Lebih suka sebenernya, tapi, Abang harus kerja." Banyu mengecup kening Laura yang telah selesai memasang dasinya. Lalu keduanya turun bersamaan untuk sarapan pagi bersama Miranda yang telah menunggunya. * Dita Andriyani * "Udah nyiapin bajunya?" tanya Banyu saat Laura telah menutup koper yang baru ia isi dengan berbagai perlengkapan mereka, dua hari rencananya mereka di Bali, banyaknya restoran Banyu di pulau itu membuat sehari saja tidak cukup bagi mereka untuk menyambanginya itu pun sepertinya hanya akan ada beberapa restoran saja yang mereka datangi, baru bulan depan mereka akan mengunjungi cabang restoran yang lain. "Udah, Bang. Ayo kita sarapan, terus berangkat." jawab Laura yang ingin mengejar penerbangan paling pagi. "Nanti, Abang pengen peluk dulu, Abang kangen banget," ujar Banyu seraya menarik sang istri dalam pelukannya. "Kita tiap hari barengan, Bang. Bo'ong banget bilang kangen!" jawab Laura seraya mengeratkan tangannya di punggung sang suami. "Enggak bohong, Sayang. Walaupun barengan kalau dedek enggak bisa ketemu mamahnya tetap aja kangen," jawab Banyu seraya menciumi kening dan pipi Laura. Laura mengulum senyumnya ia sudah hafal betul sang suami pasti akan selalu uring-uringan jika tamu bulanannya datang, lelaki dewasa itu pasti akan selalu sibuk dengan rengekannya seperti seorang anak kecil meminta permen dari ibunya. "Baru juga dua hari, Bang!" jawab Laura. "Lama banget, Sayang. Abang harus puasa seminggu!" gerutu Banyu, Laura hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum lalu melepaskan pelukan Banyu dan menurunkan kopernya dari atas kasur. "Ayo, ah, kalau Abang ngerengek terus gitu malah kerasa lebih lama!" jawab Laura, Banyu meraup wajah merananya lalu mengambil alih koper yang Laura bawa. . Mereka berdua berjalan beriringan menuruni anak tangga, lalu saat berada di pertengahan Laura langsung berlari kecil mendengar suara Miranda yang sedang mengeluarkan isi perutnya di dalam kamar mandi yang ada di dapur. Banyu juga melakukan hal yang sama, ia mempercepat langkahnya mengikuti sang istri koper yang berada di jinjingannya ia letakkan begitu saja di bawah tangga. "Ma, Mama kenapa?" tanya Laura panik seraya mendekati Miranda yang berada di dalam kamar mandi yang pintunya tidak tertutup. "Kenapa, Ma. Mama sakit?" Selang sedetik suara Banyu yang terdengar khawatir. Miranda membersihkan wajahnya lalu mengelapnya dengan tissu, dengan sigap sang putra mengambilnya air putih yang sudah Mbak Tuti siapkan. Laura memeluk tubuh Miranda keluar dari kamar mandi lalu memintanya duduk di kursi dapur. "Mama enggak apa-apa, kayaknya cuma masuk angin aja," jawab Miranda setelah meneguk air putih hangat yang Banyu berikan. "Kita ke dokter, yuk, Ma." Banyu segera meraih kunci mobilnya yang tergantung di tempat kunci yang berada di dekat dapur. "Enggak perlu, Mama enggak apa-apa. Kalian, 'kan, mau berangkat ke Bali. Nanti kalian kesiangan," jawab Miranda tetapi tetap saja tidak bisa menghilangkan raut kekhawatiran di wajah anak dan menantunya. "Tapi Mama sakit, kita harus ke dokter sekarang," jawab Laura yang terus merangkulkan tangannya pada bahu Miranda. "Beneran, Mama, enggak apa-apa. Nanti istirahat sebentar juga, Mama, baikan." Miranda tetap berusaha meyakinkan Banyu dan Laura tetapi sayangnya saat itu ia merasakan kepalanya berdenyut dan spontan tangannya memegangi pelipisnya. "Tuh, 'kan, Mama sakit, pokoknya enggak boleh nolak, kita ke dokter sekarang," ujar Laura. "Eh, tapi, Abang ada rapat penting di Bali. Abang berangkat tanpa aku, ya, biar aku yang anterin Mama ke rumah sakit, Abang ke Bali sama Sella aja," pinta Laura. "Tapi, Sayang, Abang—." "Iya Banyu, Mama enggak apa-apa. Laura juga kamu temani saja suami kamu, Mama enggak apa-apa," ujar Miranda. "Enggak, Ma. Badan, Mama, panas ini," sanggah Laura seraya menempelkan punggung tangannya di kening sang Mama. "Rapat itu juga penting, Bang. Abang harus berangkat, ajak Sella aja." Laura menatap yakin pada sang suami, yang sedang memikirkan perkataan Laura. Sang istri memang benar, rapatnya kali ini benar-benar penting sehingga ia tidak bisa melewatkannya, sayangnya ia tidak bisa didampingi sang istri. Selama ini jika ada pekerjaan keluar kota, pasti Laura yang akan menggantikan tugas sekertaris-nya selain tidak nyaman jika harus dekat-dekat dengan wanita lain hal itu juga Banyu lakukan agar Laura mengerti betul pekerjaannya. "Ya udah, deh, kalau begitu. Abang berangkat sekarang, ya. Kamu jaga Mama dan jaga diri baik-baik," pungkas Banyu. "Iya, aku juga mau langsung ke rumah sakit, Abang hati-hati, ya," jawab Laura yang lalu menyambut tangan sang suami dan menciumnya. Banyu menciumi kedua wanita kesayangannya bergantian lalu berjalan menuju garasi, tangan kanannya menarik koper dan tangan kirinya menaruh ponsel di telinga. "Hallo, Sella. kamu ikut saya ke Bali sekarang." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD