"Wah! Gila, ya, Banyu! Perlu di smackdawn, nih, kayaknya!" Daniel terlihat sangat emosi ketika Laura menunjukkan foto-foto yang dia simpan, foto-foto Banyu dengan wanita itu.
"Tuh, 'kan, Kakak jadi heboh gini, nyesel aku udah ngasih tau Kakak!" Laura malah tersungut melihat ekspresi sang kakak.
"Lho, kok, kamu malah marah sama Kakak? Aku, nih, belain kamu, lho! Bisa-bisanya Banyu foto mesra-mesraan begini sama perempuan lain!" Daniel balik tersungut karena melihat Laura yang kesal padanya.
"Itu belum tentu benar, Kak. Aku, tuh, seribu persen percaya sama Bang Banyu," jawab Laura seraya mengambil ponselnya yang Daniel letakkan di atas meja yang berada di depan sofa yang mereka duduki sekarang.
Mereka berdua menghentikan pembicaraan saat mengetahui sekertaris Daniel datang sambil membawa dua gelas kopi hangat untuk sang atasan dengan adiknya yang sudah ia kenal.
"Terima kasih, Mbak," ucap Laura setelah dua buah cangkir tertata di hadapan mereka, wanita itu menganggukkan kepalanya seraya memberikan senyum manis pada Laura.
"Tapi iya juga, ya, sulit mempercayai Banyu seperti itu," gumam Daniel.
"Kamu udah tanya sama dia?" tanya Daniel kemudian sebelum mengambil cangkir kopi dan menyesap isinya.
"Belum, aku sengaja enggak bilang dulu," jawab Laura santai lalu melakukan hal yang sama dengan sang kakak, menyesap kopinya yang selalu ia pesan tanpa gula.
"Kenapa?" tanya Daniel dengan satu alisnya terangkat.
"Seandainya Bang Banyu emang beneran selingkuh, dia pasti akan melakukan segala cara untuk menutupinya, pasti nanti bakalan susah bagi aku buat menyelidiki apa yang sebenarnya sedang terjadi," jawab Laura serius lalu kembali menyesap isi cangkir berwarna putih gading itu, terdapat gambar bunga tulip di salah satu sisinya.
Daniel berdecak mendengar jawaban sang adik. "Tadi katanya percaya seribu persen!"
"Iya, aku percaya, tapi enggak ada salahnya berjaga-jaga. Bukankah seorang ratu harus memiliki tentara rahasia untuk mempertahankan singgasananya?" Daniel hanya tersenyum mendengar jawaban sang adik yang menurutnya semakin dewasa semakin kuat dan cerdas, dia tidak seperti wanita lain yang pastinya akan terbakar emosi dan meledak-ledak jika sedang berada dalam posisi seperti sekarang ini.
"Terus, kenapa kamu cuma ngasih tau aku?" tanya Daniel merasa heran padahal selama ini ia lebih dekat dengan Dimas daripada dengannya.
"Kakak pasti punya kenalan yang bisa menyelidiki tentang foto ini, asli atau editan, dan kapan foto ini diambil," jawab Laura, Daniel tersenyum kecut karenanya.
"Tuh, 'kan, ada maunya!" ledek Daniel seraya mencibirkan bibirnya.
"Oh, jadi Kakak enggak mau bantuin aku yang lagi berduka ini? ya udah, aku nangis aja!" ujar Laura dengan bibirnya yang terlihat maju menggemaskan, kalau saja Banyu yang melihatnya sudah pasti jika ia akan segera melahapnya.
"Iya, iya! Tadinya aku sempet bangga sama kamu, tapi ternyata masih cengeng juga," gerutu Daniel seraya bangun dari duduknya untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kerjanya, ia mengatakan hal itu hanya untuk menggoda Laura padahal jauh dalam lubuk hatinya tetap mengagumi kekuatan dan ketegaran sang adik.
Laura menatap Daniel yang sedang menelepon seseorang dengan perasan harap-harap cemas, lalu ia merasakan ponsel dalam tasnya berdering.
'My Hot Husband'
Nama yang Laura pakai untuk menamai nomor telepon sang suami yang kini berusaha menghubunginya.
"Halo, Sayang," ucap Banyu begitu Laura menerima panggilan itu.
"Halo, Abang. Lagi ngapain?" tanya Laura dengan nada bicara yang manis seperti biasa.
"Lagi kangen istri Abang yang cantik," jawab Banyu serius, "Abang pulang, ya, kita makan siang bareng."
Laura mengerutkan keningnya dengan wajah panik sekarang, "enggak bisa, Bang, aku lagi di kantor Kak Daniel, sekarang.
"Lho, kamu ke sana? Kok, enggak bilang sama Abang?" tanya Banyu, yang merasa terkejut dengan apa yang dilakukan sang istri. Biasanya mau kemana pun ia pergi pasti selalu pamit dengannya.
"Oh, iya. Maaf, ya, Bang. Aku lupa bilang. Jadi, tadi itu ceritanya aku abis nemenin Mama ke arisan. Terus, aku mau ke kantor Abang buat kasih kejutan. Eh, di tengah jalan Kak Daniel telepon katanya mau ketemu aku," jawab Laura lancar dan mulus meski yang ia ucapkan adalah kebohongan, bohong demi kebaikan tidak masalah menurutnya.
"Oh, ya udah, enggak apa-apa. Kalau begitu Abang sekarang ke sana aja, ya, kita makan bertiga," jawab Banyu, Laura semakin merasa bingung sekarang.
"Eh, jangan, Bang." Banyu kembali merasa bingung karena larangan sang istri.
"Lho kenapa, Sayang?" tanya Banyu lembut.
"Soalnya, Kak Daniel lagi pengen ngobrol berdua sama aku, dia mau tanya-tanya soal istrinya, masalah perempuan. Masa Abang juga dengerin!" jawab Laura berlagak berbisik, tetapi ucapannya tetap terdengar oleh Daniel yang kini memelototkan mata padanya.
Laura hanya nyengir kuda, merasa bersalah karena telah menjadikan Daniel sebagai alasan kebohongannya.
"Oh ... ya, ya ... Abang ngerti, kalau begitu Abang makan di kantor aja, nanti minta Celine bawain," jawab Banyu, Laura merasa lega mendengarnya.
"Iya, Bang, maaf, ya. Nanti pulang dari sini, aku langsung ke kantor Abang, deh," jawab Laura dengan sebuah senyum menghiasi wajahnya.
"Iya, Sayang, Abang tunggu. Salam buat Daniel, ya," pungkas Banyu.
"Iya, Abang Sayang, bye!" Laura menghela napas lega setelah Banyu menutup teleponnya.
"Nelpon sambil senyam-senyum, emang Banyu bisa liat!" ledek Daniel, Laura tidak menggubrisnya ia sibuk memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
"Gimana, Kak?" tanya Laura pada lelaki tampan yang kini duduk di atas meja kerjanya seraya menatap sang adik.
"Bentar lagi meluncur, kita ketemuan di restoran deket sini. Sekalian makan, aku laper!" jawab Daniel yang lalu melepaskan jas yang ia kenakan dan menaruhnya di sandaran kursi kebesarannya.
"Yuk," ajak Daniel pada Laura yang tengah menatap lekat foto keluarga kecil sang Kakak, Mika terlihat sangat menggemaskan dengan senyum ceria di dalam gendongan sang Mama dan Daniel yang berpose tengah memberikan bucket bunga pada mereka seraya menekuk kedua tulutnya, sungguh foto keluarga yang sempurna.
"Iya," jawab Laura yang lalu mengikuti langkah sang Kakak.
* Dita Andriyani *
Suasana restoran di jam makan siang itu sedikit ramai hingga Daniel memesan sebuah privat room dan meminta seorang pelayan mengantar jika ada seseorang bernama Adit yang mencarinya.
Tidak begitu lama, Laura dan Daniel telah menyantap makan siang mereka kini, Daniel membuka ponsel yang beberapa detik lalu berbunyi lalu berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
"Kak, ngapain, sih, foto-foto aku!" protes Laura saat menyadari Daniel mengambil fotonya saat sedang menyuap makanan.
"Buat kirim ke Banyu, gila, posesif banget sih, nih, aki-aki. Enggak percayaan istrinya sama aku!" gerutu Daniel seraya mengetik sebuah pesan untuk adik iparnya itu.
"Enak aja aki-aki! Suami aku itu!" protes Laura, yang cepat ia hentikan saat menyadari ada seseorang yang memasuki ruangan mereka.
Laura ikut berdiri saat Daniel berdiri seraya menyalami lelaki berpawakan bongsor itu, lalu ikut menyalami saat Daniel memperkenalkan mereka.
"Sorry, ya, Bro. Macet!" ujar Adit yang merasa tidak enak hati karena datang terlambat.
"Enggak apa-apa, santai aja, yuk makan dulu, kita ngobrol sambil makan," pinta Daniel, Adit menuruti menyantap makanan yang sudah Daniel pesankan untuknya.
.
"Foto ini asli, tanpa editan!" Jawaban yang Adit berikan membuat napas Laura menjadi sedikit terasa sesak.
"Foto ini diambil pake mode cepat dari sebuah kamera canggih, jadi tetap dapat fokus yang baik meski objeknya bergerak," sambung Adit.
"Tuh, 'kan, aku bilang apa, ini pasti enggak seperti yang terlihat," gumam Laura, ia merasa senang karena Daniel memilik seorang teman yang ahli dalam bidang informasi dan teknologi.
Dan dari waktu yang Adit sebutkan sebagai waktu pengambilan gambar Laura sudah bisa menyimpulkan sesuatu.
"Waktu itu aku lagi sama Celine dan Meisya, Bang Banyu lagi rapat di salah satu stasiun televisi. Dan kalau enggak salah, siang itu aku sama Bang Banyu chating-an kayak biasa," gumam Laura, Daniel yang duduk di sampingnya mendengarkan tanpa banyak bicara.
"Kak Adit, makasih banyak, ya, bantuannya," ujar Laura yang merasa sudah sedikit menemukan titik terang karena bantuan Adit.
"Iya, Ra, dengan senang hati. Kalau kamu dapet foto-foto lagi, kamu bisa langsung tanya aja sama aku," jawab Adit dengan senyum ramahnya, lelaki itu langsung berpamitan setelah bertukar nomor ponsel dengan Laura, harus segera kembali ke kantor menjadi alasannya.
"Aku harus bantu apa lagi, sekarang?" tanya Daniel setelah Adit meninggalakan mereka hanya berdua kembali.
"Belum ada, aku masih harus menyelidiki identitas perempuan itu dulu, nanti kalau aku butuh bantuan Kakak, baru aku kasih tau," jawab Laura sambil bersiap-siap pergi.
"Oke," jawab Daniel ringan.
"Aku mau ke kantor Bang Banyu, dulu, ya. Kakak yang bayar makanan sekaligus jasa Kak Adit!" celetuk Laura, yang lalu keluar dari privat room itu setelah mencium ringan pipi sang kakak yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Kebiasaan kamu!" pekik Daniel, Laura tertawa kecil mendengarnya tetapi tidak menjawab apapun ia terus saja melangkah keluar restoran.
"Aku akan jagain kamu, Ra. Siapa pun yang a
berusaha menyakiti kamu akan berurusan sama aku!" gumam Daniel.
"Sama Dimas juga, sama Papi juga tentunya," sambung Daniel lagi, kali ini sambil terkekeh lalu berjalan keluar ruangan itu meninggalkan piring-piring kosong yang isinya telah berpindah ke dalam perut mereka bertiga.