Pengingat Jatidiri

1215 Words
Beberapa hari terakhir, aku selalu terburu-buru untuk pulang ke rumah. Kau tau kenapa? Padahal sebelumnya aku suka berbagi cerita bersama temanku. Menghabiskan waktu berjam-jam disana hingga lupa waktu. Aku bertanya padamu, apa kau benar-benar tidak tahu? Hah, benar sekali, kau pasti tidak tahu, karena kau selalu menganggap semuanya sempurna dan baik-baik saja. Tapi, ada perubahan besar yang terjadi setelah kita menjalin hubungan lebih lama. Waktu untukku bertukar cerita dengan temanku berkurang drastis. Saat aku selesai bekerja, aku pun harus segera pulang dan berpamitan padamu. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk untuk tiba di rumah, kau bahkan menghafalnya. Entahlah, aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Sebegitu posesif kah kau padaku? Hingga karena kau yang bersikap begitu posesif, mengetahui berapa lamanya hingga aku tiba di rumah, aku ketakutan. Setiap harinya, selesai bekerja aku selalu terburu-buru untuk segera pulang. Bahkan, bila rekan kerjaku yang lain tak kunjung datang tepat waktu, kau selalu mengirimkan pesan tepat di saat jam kerjaku selesai. "Sudah jam pulang, kamu pulang jam berapa? Aku belum mendapat pesan kamu sudah pulang." Itulah kalimat yang aku baca di layar ponsel setiap jam kerjaku berakhir dan aku belum bisa pulang. Aku panik saat membaca tiap kata di jendela pesan notifikasi ponselku. Aku gugup dan cemas, sementara rekan kerjaku tak kunjung datang. Aku sudah menghubungi rekan kerjaku, tapi tak di balas. Aku semakin panik saat mendapat satu pesanmu yang tak sengaja ku buka. Kau marah, kau mengira aku tidak membalas pesanku padahal telah membukanya. Bentakan dan kalimat kasar yang tertulis di sana, membuatku menegang di tempatku berdiri. Jemariku tak dapat menekan papan ketik di ponsel untuk memberi penjelasan seperti biasanya, seakan mataku terpaku pada pesanmu yang tak sengaja k*****a. Satu tepukan di bahuku mengagetkanku, aku menoleh. Terlihat rekanku sudah tiba, wajahnya menatap diriku bingung. Rekanku bertanya padaku, apa yang membuatku terdiam sedari tadi? Ia berpikir aku sedang tidak sehat dan hendak memintaku segera pulang. Apa sebegitu nampak jelas? Segera aku menyentuh kedua pipiku, lalu menggeleng padanya. Aku menjawab jika aku baik-baik saja, tapi tubuhku berkata sebaliknya. Aku tersadar, jika aku harus segera pulang. Aku langkahkan kaki membawa tas serta ponselku, tak lupa menulis pesan bahwa aku akan segera pulang. Belum sempat aku membuka room chat kami, aku menatap kosong pada foto profilnya. Sekelebat pikiran buruk terlintas, benarkan ia marah padaku lagi? Aku berharap ia hanya menghapus foto profilnya, bukan memblokir nomorku. Segera aku mengirim pesan padanya, berharap segera bertanda centang dua. Satu detik, dua detik, hingga detik-detik terlewati. Centang satu itu tak berubah menjadi centang dua. Masih betah disana, bahuku tertunduk lesu. Dia marah padaku. Senggolan di bahuku membuatku tersentak, aku menoleh pada rekanku yang kini menatapku dengan pandangan penasaran. Ia bertanya mengenai kondisiku, apa aku memiliki masalah? Rasanya aku ingin berkata "Iya" tapi kutahan. Aku memilih bungkam sembari tetap meratapi nasib yang kembali kau acuhkan. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku sudah menyerahkan seluruh hidupku padamu, namun tetap saja kau bersikap egois, tidak peduli dengan perasaanku. Merasa diacuhkan, rekanku pergi. Kupikir, dia marah padaku. Tetapi aku salah, dia kembali duduk di sebelahku dengan sekotak minuman kemasan yang entah dia dapat dari mana. Kini, justru aku yang merasa bersalah padanya karena mengabaikan perhatian seseorang yang berada tepat di depan mataku demi kekasih yang kini entah sedang apa disana. Satu kalimat yang tidak akan aku lupakan hingga saat ini adalah, rekanku berkata bahwa tidak masalah jika aku belum ingin bercerita, karena tidak semua hal yang terjadi kepada kita harus diumbar ke orang lain. Rekan kerjaku menyodorkan minuman yang ada di tangannya, sambil memberikan senyum tipis yang meneduhkan pikiran gundahku saat ini. Aku pandangi minuman kemasan yang berada di genggaman, lantas segera aku minum. Terasa menyegarkan di tengah rasa kepanikan yang melanda. Tanpa terasa minuman yang semula ada di genggamanku kini teronggok tak terisi di depanku. Rekanku tertawa kecil, aku pun ikut tertawa malu. Melihat usahanya yang begitu perhatian, membuatku tak tahan. Ingin rasanya aku bercerita, namun aku merasa bimbang. Ada sesuatu yang begitu mengganjal tak seharusnya aku mengatakan masalahku pada rekanku. "Untuk apa?" Pertanyaan semacam itulah yang kerap kali membuatku menambah beban pikiran, membuatku semakin lama semakin tersiksa sendirian, membayangkan bagaimana kehidupan ku selanjutnya ketika aku memilih bertahan bersamamu. Rupanya, rekanku juga khawatir padaku. Ia bertanya, kenapa aku tak kunjung pulang? Karena biasanya, saat jam kerja berakhir, aku segera beranjak dari apotek. Pertanyaan itu seperti alarm bagiku. Tanpa sadar, aku mengabaikan pertanyaannya lagi. Aku mengambil ponselku, menyalakannya dan melihat notifikasi pesan. Apakah kamu mengirimiku pesan? Ternyata tidak, sepertinya kau begitu marah padaku hingga betah memblokir akses untukku. Melihatku yang tampak sangat kacau saat itu, membuat rekan kerjaku mengeluarkan pertanyaan yang menyakitkan untukku, namun juga menampar dengan keras. Rekanku berkata jika aku terlalu takut, terlalu panik, rekan kerjaku bahkan bertanya, apakah kau pantas diperlakukan seistimewa ini? Aku tercengang mendengar pertanyaan yang lagi-lagi rekanku lontarkan. Jemariku sesaat mengeratkan genggaman pada layar pipih yang selalu ku bawa ke mana-mana tanpa tertinggal sekalipun. Benarkah? Benarkah aku seperti itu? Aku berkata bahwa aku baik-baik saja, kurasa. Entahlah aku tertunduk lesu setiap kali rekanku menyinggung soal dirimu. Apa yang harus aku katakan? Kebohongan apa yang harus aku rangkai saat bahasa tubuhku tak bisa membohonginya? Rekanku lagi-lagi menghujaniku dengan kalimat-kalimat pedas yang menampar. Ia bertanya, berapa jam waktu yang harus dihabiskan untuk membalas pesan darimu? Apakah sepuluh menit? Satu jam? Atau bahkan berjam-jam aku habiskan untuk hanya untukmu saja? Ia juga bertanya kepadaku, saat aku bersamamu, apakah aku memiliki waktu untuk diriku sendiri? Seperti main keluar bersama teman, memanjakan diri dengan menonton drama, atau bercengkrama bersama keluarga? Sesaat kemudian, aku tidak mendengar lagi celotehannya yang panjang seperti rel kereta api tanpa rem itu. Aku terdiam, termenung akan sesuatu yang baru aku sadari sekarang. Apakah aku sebegitu mengerikannya? Jika aku kembali mengingat beberapa hari ke belakang, aku merasa jika ini bukanlah diriku. Aku tidak terbiasa dengan ponsel berada di ganggaman setiap saat. Aku selalu bebas ke manapun tempat yang aku sukai tanpa mengenal waktu. Aku bagai kupu-kupu terbang kesana kemari tanpa harus terperangkap di dalam plastik hingga akhirnya mati. Aku memandang ponselku yang kini berdenting pelan, tanganku terbiasa membukanya segera. Notifikasi dari jendela ku geser ke bawah, tampak dirimu mengirimiku sederet pesan yang lagi lagi membuatku terdiam, di mana pesan yang kau kirimkan selalu saja sama seperti sebelum-sebelumnya, yaitu menjatuhkan kesalahan sepenuhnya ada padaku. Hidupku seperti tercekik karena aku harus berpikir dimana kesalahanku yang membuatmu marah, memikirkan bujukan apa yang harus aku ucapkan untuk meredakan kemarahanmu, janji apa yang lagi-lagi membuatku terbebani karena sesungguhnya aku tak bisa menyanggupi. Batinku tertekan karena kalimatmu yang tertanam di alam bawah sadarku. Pikiranku tak karuan memikirkan bagaimana cara untuk membuatmu senang dan nyaman bersamaku, membujukmu dengan rayuan manis nan menggelitik hati. Semuanya tentangmu, selalu tentangmu. Lalu, bagaimana dengan dirimu? Apakah aku sudah masuk begitu jauh ke dalam hidupmu? Apakah kehadiranku membuatmu merasakan takut akan kehilanganku? Atau hanya kau yang selalu menekanku dengan kalimatmu agar aku tak pergi dari hidupmu? Setelah berdiam beberapa saat, rekanku memberikan pesan agar aku tidak terlalu memaksa diri, aku harus ingat bahwa ingat hidup tidak hanya tentang menyenangkan orang lain. Semuanya adalah tentang diriku. Ia memberikan pesan agar aku tidak kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Sesaat kemudian, ia kembali ke dalam karena ada pembeli yang membutuhkan bantuannya. Aku memandangnya yang sibuk bekerja. Tatapanku menatap ke arah luar dengan pandangan sendu. Dalam hati aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku melepas ponsel dari genggaman tanganku, setelah bersamamu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD