Pelangi Di Antara Badai

1037 Words
Maaf, itu adalah kata pertama yang aku dengar darimu. Maaf, pertama kali kau mengucapkan itu padaku. Maaf, entah kenapa, kata itu benar membekas di dalam pikiranku saat itu. Maaf, aku rasa kata itu bisa menjadi titik balik, di mana kau mau mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Maaf, kata itu benar-benar meruntuhkan pertahananku terhadapmu untuk kesekian kalinya. Saat itu aku benar-benar berharap, seorang Geno yang kasar, manipulatif, dan busuk itu benar-benar mau memperbaiki kesalahan yang selama ini diperbuat. Aku rasa, kita bisa memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak menyiksa, sesuatu yang bisa membuat kita sama-sama merasa nyaman. Aku rasa kita benar-benar bisa memulainya lagi, setelah melihatnya tampak semakin dewasa. Geno, hari itu, setelah aku mematikan ponsel lebih dari satu hari lalu kau muncul dengan pribadi baru, aku benar-benar merasa bahagia. Rasanya, badai yang selama ini menghinggapi hari-hariku telah sirna, digantikan pelangi dengan hembusan angin hangat yang meneduhkan. Aku berharap, setelah ini tidak ada lagi sikap menuntut berlebihan, tidak ada lagi sikap mengekang berlebihan, tidak ada lagi seorang Geno yang merengek dan mengeluarkan sumpah serapah kepadaku. Hari itu, aku bersiap-siap untuk bekerja. Pukul dua siang, aku sudah tiba di apotek. Rekan kerjaku menyambut dengan gembira, menanyakan keadaanku. Dengan senyum dan tawa renyah yang terukir di wajahku, aku menanggapi bercandaan yang ia lontarkan. Lalu rekan kerjaku tiba-tiba berkomentar di tengah aktivitas siang apotek yang sedikit padat. Rekanku berkata bahwa ia merindukan sosok diriku yang tampak seperti hari ini. Ceria, selalu mengukir senyum, dan penuh dengan aura positif. Rekanku berkata jika ia tidak suka dengan diriku yang sebelumnya di mana selalu terlihat murung seakan penuh dengan masalah. Aku hanya terkekeh mendengar komentarnya dan membalas jika keadaan sakitku dua hari ke belakang mengubah banyak hal. Jadwal jaga rekan kerjaku telah berakhir, namun ia masih belum beranjak dari apotek. Entahlah, senyuman yang terukir di wajahnya benar-benar tampak mencurigakan. Ia seakan ingin mengintrogasiku lebih lanjut. Benar saja, pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutnya adalah tentangmu, Geno. Rekan kerjaku bertanya apakah aku masih bersamamu. Sambil menata beberapa barang di etalase aku menjawab tanpa kata. Hanya anggukan ringan sambil menoleh ke arahnya dengan senyum yang tidak luntur dari wajahku. Tapi entah kenapa, reaksi yang ia keluarkan sedikit aneh menurutku saat itu. Bukannya ikut bergembira, rekan kerjaku justru memberikan tatapan heran kepadaku, seakan tidak percaya jika aku masih bersamamu. Lagi, rekan kerjaku kembali menanyakan keteguhan hatiku terhadapmu. Aku pun menjawab, jika kau telah berubah sejak aku sembuh hari ini. Kau sudah menjadi pribadi yang lebih baik, tidak lagi menjadi orang yang suka mengekang, dan tidak ada kewajiban untuk selalu mengabari seperti sebelumnya. Intinya, aku sekarang merasa lebih bebas, namun juga tidak kehilanganmu. Bagiku, keadaanku hari ini benar-benar membuatku bersyukur. Aku sempat takut akan kehilanganmu jika memang memilih untuk mengutamakan diriku, karena kita sama-sama tahu bahwa saat itu kau benar-benar egois. Tapi rupanya, tepat di hari itu, kau mau mencoba untuk mulai lebih memahami diriku, mencoba tidak mengekang, dan lebih menaruh kepercayaan lagi kepadaku. Rekan kerjaku hanya tertawa geli mendengar kalimat-kalimatku. Menurutnya, aku hanya sedang terbuai dengan rayuanmu. Rekanku berkata jika aku lagi-lagi harus terjun ke dalam jebakan buaya busuk berbentuk manusia sepertimu. Ia memperingatkanku agar berhati-hati, karena hati manusia tidak akan berubah secepat itu. Aku hanya mengangguk, aku tidak menyangkal apa yang dikatakan olehnya. Aku juga tahu, hati manusia tidak mudah diubah seperti membalikkan telapak tangan. Aku tahu, maka dari itu aku sekarang lebih berhati-hati. Jika kau mulai bersikap tidak wajar, maka saat itu aku akan meneguhkan hati untuk meninggalkanmu. Sayangnya saat itu aku masih terlalu naif, mengira hatiku seteguh itu untuk melepasmu. Aku kira, keputusan itu bukanlah sebuah keputusan sulit dan aku akan sanggup mengatasinya. Hahhh… ego seorang gadis muda memang selalu keras. Di tengah sibuk bekerja, aku hanya sesekali memegang ponsel. Kali ini, aku memberikan kabar kepadamu bukan karena kau yang meminta, melainkan inisiatifku sendiri agar kau tahu apa yang sedang aku lakukan di sini. Saat itu, kita benar-benar tampak seperti pasangan baru. Selalu mesra, dipenuhi dengan kata-kata manis, seakan pelangi setelah badai itu tidak akan pernah pudar. Rasanya, semua benar-benar berjalan indah, aku merasa benar-benar seperti seorang gadis yang dicintai dengan tulus. Tulus? Iya, seperti itulah aku menganggap perhatianmu saat itu. Pikiranku yang lurus, membuatku tidak berpikir hal-hal aneh. Aku tidak pernah berpikir tentang sebuah pelangi di antara badai. Maksudku, benar-benar di tengah-tengah yang diapit oleh dua badai. Ada satu kejadian yang masih aku ingat hingga hari ini. Kejadian yang membuatku harus berpikir dua kali apakah memang benar aku akan melanjutkan kisah asmara dengan orang sepertimu atau tidak. Sebenarnya kejadian itu adalah sebuah momen sederhana, tidak ada orang yang disakiti secara langsung kala itu. Aku hanya ingat, karena kejadian itu membuatku merasa rendah, kecil, dibandingkan dengan dirimu. Saat itu kita sedang bersenda gurau di dalam panggilan telepon. Benar, bahkan kita saat itu bisa bercanda satu sama lain. Sebuah kejadian langka di mana saat aku mengingat betapa kejamnya dirimu atas diriku, sepertinya kita tidak akan pernah bisa bercanda satu sama lain. Tapi tidak, aku yang sedang kembali kasmaran, mencoba menjalani kisah kita dengan senang hati saat itu. Di tengah bercandaan kita, tiba-tiba ada sebuah celetukan yang tidak aku sangka bisa keluar dari mulutmu. Kau berkata jika saat ini masa depanku tidak akan baik, apabila aku berpisah denganmu. Kau bilang, kau lah orang yang bisa menyelamatkan masa depanku. Jika aku bersamamu, maka kebahagiaan di hari esok akan terjamin, karena kau yang berasal dari keluarga kelas atas menurutmu, berbeda jauh jika dibandingkan dengan keluargaku yang sederhana. Aku terkejut, bisa-bisanya kau berkata seperti itu. Padahal, aku tidak pernah sama sekali menyinggung dan merendahkan kau beserta keluargamu, namun entah kenapa saat ini aku merasa kau sedang menyinggung keluargaku dengan sangat keras. Padahal, jika aku mau, bisa saja aku berkata jika keluargaku jauh dan jauh lebih baik dari keluargamu, karena keluargaku utuh dan aku hidup dalam kasih sayang yang lengkap, tidak sepertimu yang tercerai berai. Tapi maaf, mulut dan jariku tidak sampai hati untuk mengatakan kalimat pedas sepertimu. Saat itu, aku kembali meminta maaf kepadamu. Meminta maaf? Iya, kau tidak salah mendengarnya, aku minta maaf. Kenapa? Padahal aku sama sekali tidak salah. Lalu kenapa? Yah… aku minta maaf karena tersinggung denganmu. Aku juga minta maaf, karena aku sangat marah karena ucapanmu yang merendahkan keluargaku. Maaf, Geno, maaf, aku harus menunjukkan bagaimana caranya seseorang untuk marah dengan cara berkelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD