Kau Merengek Seperti Anak Kecil

1047 Words
Hai, Geno, bagaimana rasanya orang yang selama ini kau anggap tidak akan bisa marah dan selalu bisa kau kendalikan, tiba-tiba melampiaskan kemarahan yang selama ini terpendam? "Aku sakit," adalah kalimat sederhana namun pedas, yang seharusnya bisa menampar egomu dengan keras jika kau peka. Peka? Iya, itulah sikap yang kuharapkan darimu. Tapi apakah saat itu kau langsung berpikir untuk memikirkan sikapmu? Sayangnya tidak. Saat aku sakit, ponselku sengaja kumatikan untuk menghindari cecaran hujatan darimu yang mungkin bisa menghambat kesembuhanku. Jika aku hitung, lebih dari satu hari aku mematikan ponsel demi membuat perasaanku menjadi lebih damai, tenang, dan tidak memikirkanmu. Satu setengah hari aku rasa cukup, kesehatanku sudah jauh lebih baik. Suhu tubuhku tidak lagi demam, rasa pusing dan pegal yang ada di tubuhku pun telah pergi jauh. Hari ini aku siap menghadapi hari. Hari itu, jadwalku jaga siang di apotek. Setelah sarapan, aku bersiap untuk membuka kembali ponselku. Tanganku gemetar, membayangkan betapa mengerikannya cercaan yang akan kuterima darimu. Aku menarik nafas panjang, bersiap akan sesuatu yang mungkin menyakitkan. Aku meyakinkan diriku bahwa aku sudah siap menghadapimu, sudah siap menerima semua hinaan, cacian, bahkan sumpah serapah darimu, dan juga siap menghadapi kemarahan yang benar-benar terasa seperti akan membunuhku perlahan. Oke, aku siap menghadapi semua kemungkinan terburuk. Jantungku berdebar kencang saat data seluler ponsel kuhidupkan. Benar saja, seketika ponselku menjadi sedikit macet memuat betapa banyaknya pesan yang masuk, di mana kebanyakan pesan itu darimu. Aku hanya tersenyum geli, sudah menduga jika akan menjadi seperti ini. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya ponselku selesai memuat semua pesan dan berjalan seperti sedia kala. Sambil tetap gemetar, aku membuka pesan darimu dan membacanya dari atas. Ada lebih dari seratus pesan aku terima hanya dari dirimu, Geno. Dan yah, semua sama persis seperti dugaanku. Hujatan dan sumpah serapah ada di barisan paling atas deretan pesan darimu, membuatku tidak henti-hentinya menghela nafas untuk menguatkan diriku. Aku terus menggulir pesan-pesan itu dengan wajah datar, aku sudah biasa menerima semua hujatan itu, tidak ada yang aneh. Namanya juga Geno, pasti akan datang dengan hujatan tak berujung. Di awal-awal, kau membalas pesan dariku dengan kalimat "kau memang tidak peduli denganku, Nanda," namun aku tetap tidak menghiraukan pesan itu, karena sudah dua hari yang lalu. Pesan selanjutnya menurutku sangat menggelikan. Kau tahu jika aku sedang mematikan data seluler, terlihat dari tanda centang pesan yang hanya berjumlah satu buah, yang berarti aku belum menerima pesan itu. Namun kau mengirimkan pesan berkali-kali kepadaku, berkata agar aku segera membalas pesan darimu jika aku benar-benar sayang padamu. Aku hanya menepuk jidat membaca pesan-pesan itu, apakah logikamu sakit, Geno? Kau menyuruh orang membalas pesan yang tidak terbaca? Bagaimana bisa? Lama kelamaan, pesan ancaman itu berubah menjadi pesan rengekan. Di sinilah senyum yang ada di bibirku berubah. Jantung yang semula sempat berdetak normal, kini kembali meningkat seakan sedang menaiki wahana pemacu adrenalin ketika membaca pesan tersebut. Aku tidak menyangka, seorang Geno yang super duper egois mau merengek dan memohon kepadaku agar membalas pesan darimu. Sejak pertama kali aku mengenalmu, ini adalah kali pertama kau memohon dengan lembut kepadaku. Kau menulis di dalam ruang obrolan kita, bahwa kau sangat membutuhkan kehadiranmu. Kalimat selanjutnya berbunyi, "kaulah satu-satunya orang yang kumiliki saat ini, Nanda." Saat aku membacanya, rasanya ini seperti bukan kau, Geno. Aku seakan sedang berbincang dengan orang lain. Kalimat selanjutnya pun masih sama, pesan darimu terkesan seperti rengekan dari seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya di taman bermain, di mana anak kecil itu menangis histeris seakan tidak akan bertemu dengan orang tuanya lagi. Seperti itulah aku membaca pesanmu, Geno, hal itu membuatku sedikit tersentuh. Hatiku memang selemah itu, Geno. Aku mudah tersentuh, mudah terbawa perasaan. Aku menggeser pesan hingga ke baris paling bawah, semua pesan berisi kalimat sejenis. Sayangnya, aku tidak serta merta percaya dengan pesan-pesan itu. Bisa saja kau menyuruh orang lain membalas pesan dariku seperti di masa lalu. Bisa saja ada orang lain yang melihat ruang obrolan kita, lalu ia sengaja membalas pesan dariku untuk mengerjaiku. Atau bisa juga ada orang lain yang mengarahkan cara untuk membalas pesan dariku kepadamu. Pesan terakhir darimu dikirim saat fajar, hari ini. Berarti, hingga hari ini pun kau masih mencariku. Aku ingin menguji sekaligus melihat, apakah kau benar-benar tulus mencariku? Atau semua ini hanya retorika semata? Aku membalas pesanmu dengan singkat, meminta maaf padamu dengan singkat juga, dan mengatakan jika kemarin sengaja mematikan ponsel karena ingin fokus untuk pemulihan tubuh. Aku juga menegaskan bahwa aku tidak peduli padamu meskipun kau akan marah padaku, karena aku ingin badanku lebih cepat pulih. Aku pun mengatakan bahwa tidak masalah apabila kau berkata aku tidak peduli kepadamu, karena badanku lebih membutuhkan perhatianmu, dan jika kau ingin pergi, aku akan mempersilakan untuk pergi. Satu menit, dua menit, tidak ada balasan darimu. Kau pun masih belum berstatus online, aku berpikir jika kau tidak berada dekat dengan ponsel. Aku memutuskan untuk beranjak dari ponselku dan pergi membantu Ibu di dapur. Sekitar pukul 1 siang, tepat setelah aku selesai bersiap untuk pergi bekerja, aku kembali memeriksa ponselku. Saat melihat notifikasi, terdapat beberapa pesan darimu masuk. Di pesan itu kau bercerita, mengulang kembali kalimat yang mengisahkan tentang bagaimana seorang Geno kecil harus hidup tanpa kasih sayang orang tua, hingga menyaksikan pertengkaran Ayah dan Ibumu, dan berakhir dengan perpisahan mereka. Membuatmu sedih, marah, kecewa, juga merasa sangat kesepian. Perpisahan mereka pun membuatmu haris hidup di jalanan, dengan seluruh pergaulan bebas uang melengkapi penderitaanmu di sana. Kau juga bercerita, bahwa sejak mengenalku, hidupmu menjadi lebih indah dan berwarna. Kau bisa merasakan lagi bagaimana menjadi orang yang dicintai, diperhatikan, dan dikhawatirkan. Kau bilang, faktor kesendirian lah yang membuatmu menjadi orang yang posesif, karena kau sangat takut kehilanganku. Kau berkata padaku untuk mewajari sikapmu terhadapku, karena itu adalah bentuk rasa sayangmu padaku. Kau bilang, sebelumnya tidak ada orang yang dapat mengerti dirimu sebagaimana aku memahamimu. Kau bilang aku yang terbaik, mampu memperhatikanmu jauh dibanding bagaimana para mantan memperlakukanmu. Geno, saat itu kau kembali berhasil merebut hatiku untuk kesekian kalinya. Lagi dan lagi aku jatuh ke lubang yang sama, padahal aku sudah berhati-hati. Saat setelah kau mengatakan kalimat-kalimat manis itu, aku kembali memaafkan apa yang kau perbuat, dengan catatan bahwa kau tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Kau tidak akan kasar, tidak akan menekanku lagi, dan kau akan memberikan waktu untukku sendiri. Geno, saat itu, aku benar-benar memegang kalimatmu. Aku kembali memberikan kesempatan kepadamu, agar kau dapat memperbaiki kesalahanmu, lagi dan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD