Kau Tidak Perlu Ikut Menanggungnya

1227 Words
Apa kabar, Geno? Bagaimana kabarmu setelah menghilang begitu lama dari kehidupanku? Apakah kau sudah menemukan orang lain yang bisa membuatmu senang di luar sana? Setelah sekian lama, akhirnya kau kembali lagi kepadaku. Kembali sebagai seseorang yang ceria, yang selalu menghibur di kala hatiku gundah. Kedatanganmu kembali di hari-hariku, bagai pelangi setelah hujan yang mengembalikan senyum yang sempat hilang dari wajahku. Tapi, Geno, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu sekarang, sesuatu yang belum aku ceritakan kepadamu saat kita masih bersama dahulu. Di saat ini, saat kau kembali lagi di kehidupanku, aku tidak memiliki keberanian untuk mengatakan hal ini kepadamu. Alasannya adalah… Geno, saat itu aku mendapat komentar dari kedua orang tuaku tentangmu. Bukan tentang dirimu secara langsung, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan penolakan mereka terhadapmu. Ayah dan Ibuku menganggap, jika hadirmu di sisiku perlahan mengubah keseharianku. Aku yang sering membantu mereka bekerja, sekarang dianggap selalu mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu bersamamu. Bagi mereka, apa yang kita lakukan hanyalah membuang waktu dan tidak ada artinya. Saat itu aku hanya diam, tidak memiliki keberanian untuk menjawab kalimat mereka, apalagi membantahnya. Jika aku boleh mencurahkan isi hatiku kepadamu saat ini, saat di mana kita sudah tidak bersama lagi, aku ingin meluapkan emosiku terhadap mereka. Emosi yang tidak sanggup aku keluarkan di saat itu, saat semua kejadian tidak menyenangkan ini terjadi. Geno, sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Ayah dan Ibuku jika sebenarnya aku memiliki duniaku sendiri. Aku yakin mereka sebenarnya sadar jika aku memiliki kegemaran merangkai kata ke dalam sebuah kisah penuh makna, tetapi ada sesuatu yang menutup hati mereka terhadap apa yang aku lakukan. Orang tua kita sebenarnya sama, Geno. Sama-sama menganggap jika sebuah pekerjaan haruslah melakukan sesuatu di luar rumah. Belum banyak orang tua yang sadar jika anak mereka mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah dari dalam kamar. Aku akui, akhir-akhir ini aku sering mangkir dari keseharianku membantu orang tua di sawah, tapi itu bukan serta merta karenamu. Aku mangkir, karena mengerjakan sesuatu dengan diriku sendiri. Aku sibuk, sibuk merangkai kata menjadi karya, dan merangkai karya menjadi kaya. Aku ingin bisa menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah dari kegiatan menulis yang biasa aku lakukan. Padahal sudah, aku sudah menghasilkan uang dengan jumlah yang cukup besar dari berbagai tulisan yang berhasil mendapatkan kontrak di berbagai media daring dan memiliki banyak pembaca. Setiap aku mendapatkan uang pun, aku selalu menyisihkan sebagian pendapatanku untuk mereka. Tapi entah, apa yang aku lakukan rasanya tidak pernah mereka hargai. Mereka terus saja menganggap rendah pekerjaanku, meski mereka tidak ragu menerima pemberianku. Rasanya aku ingin marah, ingin berteriak kepada Ayah dan Ibuku demi mempertahankan posisiku di hadapan mereka. Tapi apa yang bisa aku lakukan terhadap mereka? Tidak ada! Aku terlalu sayang kepada mereka! Aku tidak tega jika harus berteriak kepada orang yang sudah melahirkan dan merawatku sejak kecil, Geno! Aku hanya bisa menangis, termenung sendiri di dalam kamar. Geno, sebenarnya Ayah dan Ibuku adalah orang yang sangat baik dan perhatian. Aku tidak pernah diperlakukan dengan kasar oleh mereka. Mungkin faktor itulah yang akhirnya membuat hatiku menjadi lembek saat menghadapi mereka. Kebiasaan lembut yang aku dapatkan sejak kecil, membuat perasaanku rapuh dan dengan mudahnya aku sakit hati terhadap celetukan yang mereka ucapkan kepadaku. Aku tahu, sebenarnya mereka tidak bermaksud menyakiti hatiku, mereka hanya belum benar-benar sadar terhadap dunia yang saat ini sudah berubah. Dunia yang mengizinkan seseorang untuk bekerja hanya dari atas tempat tidur. Daripada marah dan berteriak tidak jelas, mungkin lebih tepat jika aku memberi penjelasan secara lembut dan memberikan pengertian berulang kali kepada Ayah dan Ibuku. Rupanya benar ya, kedewasaan seseorang menentukan bagaimana cara ia mengambil sikap. Mungkin jika aku yang sekarang dihadapkan dengan situasi yang sama, aku bisa memberikan sikap yang lebih tenang dan tidak menyakiti orang lain, dibanding ketika beberapa saat lalu di mana aku masih labil dan cenderung berpikir egois. Meski kau sebenarnya tidak terlibat secara langsung dengan konflik itu, namamu tetap saja tercatut secara tidak langsung. Sebenarnya orang tuaku adalah orang tua yang tidak mengikuti perkembangan zaman seperti media sosial atau aplikasi bertukar pesan singkat seperti yang biasa kita gunakan, sehingga identitasmu secara tidak langsung akan tetap tersembunyi. Tapi mereka tahu secara garis besar, jika aku sedang dekat dengan seseorang di luar sana. Seperti orang tua kebanyakan, mereka menyalahkan sesuatu yang mereka anggap sebagai biang masalah, padahal kenyataan yang terjadi bukan seperti itu. Sebenarnya saat itu aku ingin menceritakan semua ini kepadamu, bercerita tentang seluruh kegundahan dan kesedihan yang aku rasakan. Tapi tidak, aku tidak tega jika harus berbagi air mata kepada orang yang selalu menghibur saat aku sedih. Aku lebih memilih untuk mengabaikan kesedihan ketika berbincang denganmu dan mendengarkan semua kisah yang selalu mampu memperbaiki suasana hatiku. Geno, apakah aku egois? Ya, aku merasa seperti itu. Aku egois, karena tidak ingin berbagi rasa sakit kepadamu. Padahal sejak awal, kisah-kisah yang kau ceritakan kepadaku tidak semuanya berakhir bahagia. Ada banyak kisah sedih yang kau ceritakan, ada banyak air mata yang kau tumpahkan dalam ceritamu. Tapi aku? Aku bahkan tidak berani berbagi rasa sakit kepada orang yang aku akui sebagai sosok yang berharga dalam hidupku. Aku takut, aku takut jika kau pergi lagi saat mendengar kisah sedih atas kehidupanku. Aku takut terhadap asumsi yang terbangun di dalam kepalaku sendiri. Asumsi yang membuat bayang-bayang hitam akan dirimu muncul dengan pekat. Aku takut kau pergi, kau menganggap jika hadirku hanya sebagai beban. Saat kau ingin mencari tempat berteduh di luar rumah, aku takut kau menganggapku sebagai hujan di dalam rumah lain. Rumah? Entah kenapa kata itu terbayang saat itu, saat kau mencurahkan semua kisah sedih itu. Aku ingin menjadi rumah yang benar-benar rumah, di mana kau bebas mencurahkan segala rasa yang ada di dalam hatimu. Marah, sedih, senang, malu, semua perasaan itu, aku ingin kau mencurahkan semua itu kepadaku. Karena di sini, kau adalah penghuni rumah yang bebas mencoret dan memindah semua barang yang ada di dalamnya. Meski kita hanya sebatas teman, tapi aku ingin menjadi rumah yang bisa menjadi tempatmu pulang, rumah yang memberikan kehangatan dan kenyamanan untukmu, sesuatu yang tidak bisa kau dapatkan di rumahmu yang sesungguhnya. Maka dari itu, izinkan aku menahan semua rasa sakit yang aku rasakan untuk diriku sendiri. Izinkan rasa sakit ini hanya aku yang merasakan, aku tidak mengizinkanmu merasakan apa yang aku derita di sini. Tapi sekarang, saat aku menulis surat ini, semua keadaan telah berbeda di mana kau bukan lagi milikku dan aku bukan lagi milikmu. Entah, saat ini aku merasa bebas mencurahkan semua kesedihan yang dulu belum bisa aku curahkan kepadamu. Maka dari itu, meski aku tahu kemungkinan besar kau tidak akan menerima surat ini karena aku tidak memiliki keberanian untuk mengirimkannya, izinkan aku mengatakannya kepadamu. Sekarang kau sudah tahu apa yang simpan di belakangmu waktu itu bukan? Jika kau memang membaca surat ini suatu hari nanti, aku ingin mendengar tanggapanmu tentang kisahku. Aku ingin mendengar perasaanmu setelah mengetahui hal-hal yang aku pendam sendiri. Meski kala itu aku sedang gundah, tapi aku masih mencoba untuk tersenyum dan tertawa di depanmu. Bagaimana aku bisa bersedih di hadapan orang yang sama-sama sedang gundah? Aku tidak akan menambahi bebanmu, Geno, tidak akan! Apalagi setelah kau menghilang sekian lama, kau kembali dengan kisah sedih yang kau bawa dari rumah. Apakah setega itu aku membagi semua kesedihanku kepadamu? Tidak, Geno! Aku tidak bisa! Aku lebih memilih untuk mendengarkan semua cerita darimu dan menahan ego untuk meluapkan perasaanku. Bagiku, kembalinya sosokmu ke dalam kehidupanku sudah cukup, aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Biarlah cukup aku yang menghadapi orang-orang di rumahku, kau tidak perlu ikut menanggungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD