Bab 11

1555 Words
"Bara, tumben kamu ke sini, hm? Mau ketemu Mas Heru?" Bara menggelengkan kepalanya. "Aku mau ketemu, Kakak." "Ayok duduk, Kakak siapin dulu makan siang sekalian kamu makan sini, ya." Bara menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Kakak kemarin ngomong apa aja sama Kara?" Bianca menaikan alisnya tinggi, namun sedetik kemudian tersenyum sinis. "Pacar kamu ngadu?" Bara diam saja masih memandang Bianca dingin. "Kakak cuman kasih tau, kalau kamu bakalan rujuk sama Wina. Itu aja, kok." "Aku nggak yakin Kakak cuman bilang itu aja sama dia, dan sejak kapan aku mau rujuk sama Wina?!" "Bara, kamu kenapa sih? Apa yang kamu lihat dari Kara? Wanita itu masih muda, miskin gak berpendidikan. Dia akan kesulitan ngimbangin kamu, keluarga kita! Cuman Wina yang mampu!" Pandangan Bara semakin menyorot tajam Bianca. "Kak Bianca tau apa sih soal pernikahanku! Stop urusin keluargaku, urusin aja urusan Kakak. Yang perlu Kakak tahu. Salah satu alasan perceraianku karena Kakak! Jika istriku bukan Wina, rumah tanggaku nggak akan hancur." Dan setelah itu Bara pergi meninggalkan rumah Bianca. Tak mempedulikan wajah Bianca yang berubah. Bianca masih mencerna apa makud Bara padanya, dia masih tidak mengerti. Wina adalah adik kelas Bianca saat di kampus, mereka dekat karena mengikuti salah satu ekskul yang sama. Bara dikenalkan pada Wina saat Bara baru menyelesaikan sekolahnya di luar negri. Dari situ lah Bianca mencomblangkan Wina dengan Bara. Bara yang saat itu masih sendiri menerima-menerima saja, karena dia tahu kakaknya tidak mungkin mengenalkan wanita yang tidak baik padanya. Mereka kemudian dekat dan mulai berpacaran, begitu Bianca tunangan dengan Heru. Tak lama setelah itu Bara yang meminang Wina meskipun mereka berdua menikah duluan. Tapi, Bianca dulu lah yang memiliki keturunan. *** Semenjak hari itu, Kara memilih untuk berjaga di mal lain. Bukan dirinya geer jiga Bara akan menemuinya lagi, namun dia juga menghindari Javier. Takut-takut anak itu menghampirinya, dia belum tahu harus bersikap seperti apa pada remaja itu. Beruntunglah selama beberapa hari ini pikiran dan jiwanya sedikit tenang. Karena di toko ini hanya dia dan Maya saja yang bertugas, karena partner Maya baru resign alhasil hanya mereka berdua saja yang berjaga. Dia juga sedang mencari karyawan baru, namun beberapa belum masuk dengan persyaratan yang ada. Salah satunya dengan persyaratan belum menikah, karena pegawai yang baru saja resign itu akan menikah bulan depan. Sedikit ketat memang, namun itu lah syarat yang diberikan oleh boss-nya itu. Sedangkan dirinya dibebaskan karena sebagai kepala toko, terlebih dirinya paling lama bekerja di sini. Kara yang sedang berjaga di kasir setelah menginput data, kembali ke depan untuk greeting. "Selamat siang, Ibu. Silakan dilihat dulu, ada beberapa model pakaian yang cocok dengan, Ibu. Mari, Bu." Kara menyapa wanita paruh baya yang umurnya diperkirakan di atas umur ibunya. Wanita paru baya yang terlihat elegant itu masuk ke dalam tokonya, dan Kara mengikuti dari belakang. "Saya mau lihat koleksi tas di sini," "Baik, Bu tunggu sebentar." Kara pamit untuk membawakan pesanan si ibu. Sedangkan ibu-ibu itu tengah melihat-lihat. "Ini, Bu beberapa koleksi terbaru kita yang cocok dengan, Ibu." Kara menaruh beberapa tas yang sekiranya cocok dengan pelanggannya itu. Namun raut wajah ibu tersebut tidak menunjukkan minatnya. "Lumayan, saya ambil yang ini dan yang ini." Tunjuk wanita tua itu pada tas berwarna cream dan juga hitam, model tas tersebut sangat simpel namun terlihat elegan. Kara mengangguk, ia mengambil dua tas tersebut. "Kamu sudah lama bekerja di sini?" Wanita itu kembali bertanya sambil melihat-lihat pakaian untuknya. "5 tahun, Bu." "Hmm lumayan," "Bekerja di sini bagaimana? Apa kamu betah?" Meskipun bingung dengan pertanyaan ibu tersebut, karena menanyakan hal yang cukup private Kara tetap saja menjawabnya. "Iya, Bu. "Apakah kalau sudah menikah kamu akan tetap bekerja di sini?" "Eh," Kara semakin bingung saja mendengar pertanyaan yang semakin pribadi tersebut. "Bukankah jika suamimu kaya raya, kamu akan hidup enak. Tidak perlu lagi bekerja, tinggal ongkang kaki saja di rumah?" Seru wanita tua itu lagi dengan senyum sinis. Kara mulai merasa tidak enak, apalagi wanita itu malah tersenyum sinis kepadanya. Seolah mengetahui sesuatu tentangnya, dan mengapa seolah menyidirnya juga? "Ah tidak, Bu. Meskipun saya sudah menikah saya tetap akan bekerja, karena saya tidak tau pernikahan saya nanti ke depannya akan seperti apa." Jelas Kara realistis. Wanita tua itu tersenyum simpul mendengar jawaban Kara. "Bagus, kau cukup tahu diri juga." Amara melenggang menuju kasir di ikuti Kara dari belakangnya. "Debit atau kredit, Bu?" Amara tidak menjawab hanya menyerahkan kartu debitnya. Setelah Kara menyerahkan kartu debitnya, ia juga menyerahkan paper bag berisi tas yang dibeli ibu tersebut. "Terima kasih, Bu sudah belanja di butik kami, jangan lupa datang lagi, ya." Ujar Kara sambil tersenyum manis. "Kita lihat nanti, tampangmu boleh juga. Tapi status kasta kita jelas berbeda, saya tidak menyukai kamu. Jadi, jangan harap saya menyetujui hubungan kamu dengan anak saya--- "Terlebih jika kamu masih ingin bekerja di sini, saya tidak akan mengusik kamu. Tapi, jika kamu masih mempertahankan hubungan kamu dengan anak saya, sepertinya kamu tahu sendiri hal apa yang akan menimpa pekerjaanmu. Dan jangan lupakan saya juga bisa membuatmu untuk tidak diterima di pekerjaan mana pun!" Setelah mengatakan hal itu, dengan ancaman yang biasa digunakan oleh orang-orang berduit. Amara kemudian berbalik pergi meninggalkan Kara yang terdiam membatu. Perasaannya kebas, Kara menghela napasnya berat. Sudah benar dirinya memilih memutuskan Bara karena sejak kemarin keluarga Bara melabraknya, dan sekarang puncaknya. Wanita yang menurutnya itu ibu dari Bara mengancamnya, jelas saja ia merasa ditekan. Ia jelas takut, baginya pekerjaan ini adalah tumpuannya. Jika dirinya dipecat, ia akan bekerja dimana lagi, terlebih ibu Bara juga akan membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan lain. Dan jelas dia tidak mau itu terjadi, tidak apa dia berpisah dengan Bara asalkan pekerjaannya baik-baik saja. Ia bukan wanita yang rela melepaskan apa saja demi cinta, tidak dia bukan wanita seperti itu. Dia wanita yang berpikiran panjang, jika keluarga pria tidak menerimanya, ya sudah dia akan mundur untuk apa dia mempertahankan, membuang-buang waktu saja. Cukup kemarin satu tahun dia membuang waktu, tidak sekarang. Jika mereka tidak menerimanya ya sudah, dia akan mencari pria lain saja yang keluarganya bisa menerima dirinya. Meskipun nanti dirinya akan sakit hati dan sedih berpisah dengan Bara. Tapi ya sudah, toh nanti juga dia akan terbiasa tanpa pria itu. Hidup harus tetap berjalan kan? *** Kara meminta izin untuk dirinya di rolling di mana saja, sekalipun harus keluar kota, dia tidak apa asalkan dirinya tidak diam di tempat. Managernya menyetujui dengan alasan Kara yang ingin membantu omset tiap toko. 1 bulan sudah dirinya berpergian ke mana-mana, dan kini dirinya kembali ke mal tempat di mana dia seharusnya berada. Kebetulan hari ini Kara shift siang jadi dia agak santai saja, kemarin dia baru sampai rumah karena dia di rolling ke bogor. Sedang asyik-asyiknya memakan mie sambil menonton gosip, ibunya datang sambil membawakannya gorengan. "Ra," "Iya," "Kamu udah balikan sama, Bara?" Kara diam saja tidak menjawab, dia masih sibuk memakan mie dengan mata yang fokus ke tv. "Beberapa kali dia datang ke sini, nanyain kamu. Dia juga minta maaf sama, Ibu." Lagi, Kara hanya diam. Malas menanggapi. "Kasihan, Bara. Ra. Kalau ada masalah coba selesein sambil ngobrol Javier juga beberapa kali ke sini, bapaknya malem-malem eh anaknya siang hari nanyain kamu." Kara menghentikan aksi makannya, berhubung mie yang dimakannya juga telah habis. Ia lalu mengambil bakwan buatan sang ibu dan memakannya dengan cabai rawit. Kemudian dirinya membalikkan wajahnya ke samping, memandang sang ibu dengan tatapan super duper datar. "Kita sudah putus, Bu. Jadi, tolong jangan bahas mereka lagi ya," jelas Kara sambil memakan 3 cabai rawit sekaligus tanpa bakwan. Lastri yang melihatnya meringis, melihat anaknya itu yang memakan rawit tanpa apa-apa. Terlebih wajah Kara datar saja tidak menunjukkan kepedasan, yah jelas saja bu. Orang yang pedas itu perasaannya. *** "Mbak Karaaaa !!!" Uti, Desi, segera berteriak memanggilanya begitu Kara sampai di toko. Kara terkekeh melihat kedua juniornya itu yang kaget dan senang melihatnya. "Hi kalian, Mbak bawain pastel sama panna cotta buat kalian." Kara menyerahkan paper bag yang berisi barang bawaannya itu ke atas meja. "Wuih makasih, Mbak/makasih banyak Mbak." Seru Desi dan Uti barengan. "Iya-iya sama-sama. Gimana toko, rame?" Kara bertanya sambil masuk ke dalam ruangan yang diperuntukan untuk para pegawai. "Lumayan, Mbak." Jawab Uti. "Ngomong-ngomong, Mbak. Belakangan ada anak cowok emm SMP kali yah, Ti. Yang ke sini, nanyain terus, Mbak." Kalimat Desi dibenarkan oleh Uti. "Iya, Mbak. Kadang berdua sama temennya, kadang sendirian. Mbak Kara pasti kenal deh mereka siapa, soalnya pernah makan siang bareng mereka juga, kok." Kara yang telah kembali ke meja kasir menghela napasnya. Itu pasti Javier, hah dia tidak percaya Javier akan mencarinya. Bukan hanya ke rumahnya tapi ke tempatnya bekerja, ini benar-benar membuatanya kesulitan. Karena dirinya sudah mulai menyayangi remaja tampan itu. "Dia bilang apa aja ke kalian?" Tanyanya pada kedua juniornya. "Cuman nanyain, Mbak Kara kerja apa nggak. Gitu aja sih," "Iya, Mbak. Mana hampir tiap hari lagi dia ke sininya." Desi kembali menambahkan perkataan Uti sambil dirinya berjalan menuju luar, kembali greeting. Kara menganggukkan kepalanya, hah dia tidak mau memikirkannya. Lebih baik dirinya kembali fokus bekerja. Kara yang sibuk di gudang sedang SO tiba-tiba saja kaget, begitu mendengar suara kecil dengan sedih memanggil namanya. "Mbak Kara?" Javier memanggil Kara. Wajah remaja itu berkaca-kaca melihat Kara membalikkan tubuhnya dengan wajah kaget. "Mbak Kara marah sama aku, yah? Makanya, Mbak nggak kerja di sini?" Javier kembali berbicara sambil menghampiri Kara. "Mbak, adek minta maaf. Tolong jangan tinggalin Ad- Javier udah sayang banget sama, Mbak. Tolong jangan kayak kemarin lagi." Setelah mengatakan itu, pecah lah tangis Javier dihadapan Kara. *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD