Setiap luka akan membekas, jangan berharap kulit baru lekas datang mengganti yang terkelupas.
***
Keenan masuk ke kamar Affan begitu saja meski si empu tengah terlelap tanpa mengenakan kaus alias shirtless, ia menjatuhkan tubuh di sebelah Affan cukup keras hingga si empu terusik dan berganti posisi tidur. Namun, bukan Keenan namanya jika keusilannya tak berhasil mengganggu manusia bernama Affan, Keenan meniup telinga hingga tengkuk Affan—membuat si empu benar-benar kegelian dan beranjak, ia menguap seraya menggucak matanya.
Affan menoleh, ia mendapati Keenan tersenyum bahagia setelah usahanya berhasil, lagi pula sekarang baru pukul delapan, tapi Affan sudah terlelap seperti anak perawan.
“Ngapain lo di kamar gue,” celetuk Affan mengernyit.
“Gue kangen sama lo, gimana dong?”
“Bangsul!” Affan melempar bantalnya ke wajah Keenan hingga terdengar kekehan temannya saat Affan turun menghampiri lemari, ia mengambil kaus lantas memakainya.
“Lo kenal Elsa?” tanya Keenan to the point, memang itu tujuannya datang dan mengganggu tidur nyenyak Affan.
“Elsa?” Affan menerawang, ia duduk di tepian ranjang. “Elsa temannya Lova maksud lo?”
“Iya, gue ketemu mereka tadi di mall.”
“Oh, kenapa lo mau tahu tentang Elsa, hm? Baru lihat udah langsung naksir?”
“Gue laki-laki, kayak lo kalai lihat cewek bening dikit enggak naksir aja.” Giliran Keenan melempar punggung Affan dengan guling.
“Lo tahu nggak sih Elsa itu siapa?” Affan tersenyum miring, ia beranjak menghampiri jendela dan membukanya, lalu duduk di sana.
“Gue tadi nanya duluan kalau Elsa itu siapa, kenapa lo malah tanya balik.”
“Elsa itu mantannya Satria.”
Keenan mengernyit, ia beranjak menghampiri Affan dan duduk di depan remaja itu, tapi Affan bangkit dan memilih berdiri pada balkon kamarnya, tatapannya mengarah pada pekat purnama.
“Satria? Maksud lo Satria yang pacarnya—”
“Nggak usah diperjelas, semua orang juga tahu Satria siapa, walaupun masa SMA gue nggak terlalu kenal dia, kadang Lova yang suka cerita tentang mereka. Apalagi zaman Elsa sama Satria putus, gue sampai pusing karena Lova nggak mau ditinggal Elsa ke Jepang.”
“Apa hubungannya mereka putus sama Elsa ke Jepang?” Keenan bangkit, ia ikut berdiri di sisi Affan.
“Hubungannya cukup jelas, Satria yang bikin Elsa milih kuliah di Jepang ketimbang Jakarta. Ya, gue tahu diputusin itu emang sakit. Cuma ’kan waktu itu masa-masa SMA, kenapa nggak anggap semua itu cuma cinta monyet?”
“Mungkin Elsa kecewa berat,” asumsi Keenan.
“Lova pernah bilang kayak gitu, Satria itu segalanya buat Elsa, sampai Elsa nggak peduli sama pamornya sebagai seorang model.”
“Model? Elsa itu model?”
“Lo lihat aja muka dia udah kentara cantik gitu, apalagi blasteran, Man!” Affan menyentil kening Keenan. “Siapa yang nggak mau sama cewek sesempurna Elsa, gue doang kali ya karena udah kecantol sama Lova.” Affan terkikik.
Keenan terdiam, ia berpikir keras menyatukan kepingan puzzle yang satu dan lainnya, semua terasa rumit.
“Tadi Lova juga chat gue, katanya suruh ....” Affan melirik Keenan yang sama sekali tak mendengar perkataannya. “Sabar Ya Robbi.”
“Lo tahu apa aja tentang Elsa?” Akhirnya Keenan angkat bicara, ia makin penasaran dengan sosok itu, apalagi terhubung dengan nama salah satu pemilik perusahaan kontraktor terbesar PT. Danuarta Karya yang dimiliki oleh Hasan Danuarta—ayah kandung Satria sendiri.
Keenan, Affan dan Satria bertemu dalam satu kampus yang sama yakni Universitas Pancasila, tapi antara Keenan dan Affan tak pernah saling berkomunikasi dengan sosok mantan kekasih Elsa itu, mereka sebatas mengenal kalau ayah Satria adalah salah satu pemegang saham di kampus itu, jadi nama remaja itu terkenal seantero kampus bahkan bisa jadi Jakarta.
Sikap Satria dikenal dingin, bahkan hanya beberapa orang yang terlihat akrab dengannya, ia juga jarang terlihat di kampus—atau memang sengaja madol seperti masa SMAnya, dan tak pernah terdengar desas-desus hubungan Satria dengan seorang gadis. Baru beberapa bulan terakhir nama gadis itu melambung setelah berpacaran dengan Satria.
“Gue nggak tahu banyak, Ken. Gue sebatas dengar apa yang Lova bilang, ya kali gue ngegosip si Elsa sama Lova. Nggak lucu dong.” Affan merangkul bahu Keenan. “Kenapa? Lo penasaran banget pasti.”
“Kalau mereka ketemu lagi gimana?”
Affan menghela napas, “Itu juga yang bikin gue sama Lova bingung, nggak bisa bayangin perasaan Elsa gimana kalau mereka suatu hari ketemu lagi. Kalau emang Elsa udah move on, dia pasti bisa biasa ajalah.”
“Nggak semudah itu,” ujar Keenan.
“Apa yang lo pikirin, Ken?”
“Gue rasa Elsa belum move on, buktinya dia masih sendiri. Lova yang bilang.”
Affan manggut-manggut, “Bisa jadi, terus kenapa lo nggak bantu dia move on?”
“Maksud lo?”
“Halah, masa nggak tahu. Lo pacarin dia, buat dia move on dari Satria. Kasihan kalau nggak bisa pindah ke lain hati, Satria aja udah bahagia.”
Keenan menurunkan tangan Affan dari bahunya, tanpa izin dia melengos pergi keluar kamar.
***
Siang itu, Elsa duduk sendirian di dalam sebuah kafe seraya menyesap minuman yang ia pesan, Elsa tengah menunggu seseorang yang harus dijumpainya karena mereka pernah satu kampus saat di Jepang, dia Fransiska. Sekitar lima belas menit ia menunggu hingga terlihat jeep merah menepi di depan kafe, Elsa bisa melihat gadis itu lewat kaca tebal yang berada di sebelahnya, tapi hanya Fransiska yang turun seraya melambaikan tangan—barulah mobil melaju pergi.
Fransiska masuk ke dalam kafe, ia mengedar pandang hingga menemukan Elsa sudah berdiri seraya melambaikan tangan ke arahnya. Segera Fransiska berlari lantas menghambur memeluk gadis itu.
“Astaga, Elsa. Akhirnya kita bisa ketemu di Jakarta,” ucap Fransiska, ia melepas pelukan itu dan menatap Elsa tersenyum padanya. “Nggak ada yang berubah, sih. Tetap aja cantik.”
“Bisa aja, syukur kalau kita masih bisa ketemu lagi. Elo juga nggak balik-balik ke Jepang, udah punya jodoh ya di Jakarta, hm?” goda Elsa, “ayo duduk.”
Mereka berdua lantas duduk, Fransiska adalah salah satu teman Elsa saat kuliah di Jepang, sayangnya gadis itu tak menyelesaikan pendidikannya dan memilih pulang ke Indonesia, sekitar setahun mereka tak bertemu dalam jarak yang cukup jauh. Beruntungnya Elsa karena Fransiska juga tinggal di Jakarta, jadi bisa atur jadwal untuk bertemu kapan saja.
“Jodoh? Iya, semoga aja jodoh.”
“Sama siapa hayo?”
“Namanya Hiro, tadi dia mau ikut ke sini tapi ada urusan. Kapan-kapan gue kenalin kok sama lo.”
“Jangan repot-repot dong, intinya kelarin dulu sampai ke pelaminan.”
“Amin, El. Lo sendirian?”
Elsa mengangguk, “Kan tujuan gue cuma ketemu elo, jadi nggak perlu ramai-ramai dong.”
“Benar juga, sih. Lo gimana? Udah ada yang cocok?”
Elsa mengernyit, lagi-lagi pertanyaan seperti itu. “Gue masih sendiri.”
“Lo pasti bakal lama di Jakarta, ‘kan? Atau gue cariin aja?” Sepertinya sifat Fransiska dan Lova sama—tukang cari jodoh.
“Nggak usah, jangan dipusingin dong. Gue aja nggak pusing, ngomong-ngomong lo kuliah di mana sekarang?” Elsa mengalihkan pembicaraan.
“Universitas Pancasila, dan di sana gue ketemu—”
“Sebentar.” Elsa merogoh ponselnya yang berbunyi, ia mengangkat panggilan dari Serena. “Gue angkat telepon dulu ya, lo bisa pesan makanan. Gue ke toilet,” izin Elsa.
Fransiska mengangguk dan membiarkan Elsa meninggalkannya. Gadis itu juga membuka chat dari Hiro.
Udah ketemu?
Jemarinya menyentuh keypad dengan cepat, lantas mengirim pesan balasan.
Udah, kalau kamu udah sampai rumah langsung istirahat ya.
Terlihat wallpaper ponsel Fransiska menampilkan fotonya serta Hiro, tapi sosok Hiro tak terlihat jelas karena berdiri membelakangi senja, jadi hanya siluetnya saja yang terlihat.
***