1. Hello, Jakarta.
Aku sudah datang, kembali untuk pulang.
Bukan untuk menemukan yang sudah lama usang.
***
Iris cokelat cantik itu masih saja tertutup oleh kelopak mata berbulu lentik, bahkan bibirnya sedikit terbuka mengimbangi dengkuran kecil yang ia buat, sepasang headset turut melengkapi rasa penatnya seraya bersandar di jok mobil. Perjalanan dari Jepang ke Jakarta yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu benar-benar membuat pantatnya terasa panas meski fasilitas dalam pesawat milik Negeri Sakura itu terjamin, tapi Elsa memang tak suka berlama-lama duduk di dalam kendaraan. Memang beda ya seorang traveler dengan makhluk biasa seperti Elsa, beda p****t.
Sesekali Jojo dan Marko tertawa kecil saat dengkuran lirih Elsa masih bisa mereka dengar, ternyata gadis secantik Elsa pun bisa mendengkur seperti itu. Jika Mentari mendengarnya bisa-bisa gadis berambut cokelat itu kena omel dari selatan ke utara tanpa henti, hingga telinganya berasap.
Mobil warna putih itu sudah memasuki kawasan elite tempat tinggal Elsa yang selama tiga tahun tak pernah dijamah kaki jenjangnya, selama pergi ke Jepang sejak lulus SMA saat itu, Elsa memang tak pernah pulang ke Indonesia. Alhasil, Mentari serta Iqbal yang mengalah untuk datang ke Jepang menjenguk salah satu anak gadisnya.
Mobil sudah memasuki halaman rumah, tapi Elsa masih saja terlelap. Jojo dan Marko kebingungan, mereka harus membangunkan gadis itu atau tidak? Pasalnya Elsa terlihat benar-benar letih. Banyak orang yang berkata jika seseorang tidur sampai mendengkur artinya ia benar-benar kelelahan.
“Panggilin Non Serena aja, siapa tahu dia bisa bangunin,” usul Marko yang dibalas anggukan Jojo, mereka turun meninggalkan Elsa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya, rasanya seperti berada di atas gumpalan awan yang empuk sampai-sampai lupa segalanya.
Tak berselang lama, Serena—kakak kandung Elsa yang sudah tinggal lagi di Jakarta selama hampir setahun itu keluar dari rumah, ia tersenyum mendapati adik kesayangannya akhirnya sudah tiba, Serena memasang wajah jahil saat membuka pintu mobil. Ia manggut-manggut kala mendapati benda yang menutupi telinga itu hingga memilih melepas semuanya.
“BANGUN WOY KEBAKARAN!!!” seru Serena begitu keras hingga Elsa berjingkrak kaget terbangun dari tidurnya, alhasil setelahnya Serena terbahak tiada henti.
Elsa mendelik, “Kak Sere! Jadi, elo dalang di balik jantung gue yang mau copot! Kurang ajar banget, sih!” geram Elsa, ia melipat wajah dan bergegas turun dari mobil. “Nggak lucu tahu! Gue baru aja sampai di rumah, terus mau lo matiin segampang itu!”
“Ya, habisnya elo juga sih, udah sampai rumah malah masih merem aja. Lagi, gue lama nggak jahilin elo, ‘kan, El?” Tiba-tiba Serena menarik Elsa dan memeluk adiknya dengan erat. “Gue kangen banget sama lo tahu!”
Elsa tersenyum tipis, rasa kesalnya berubah saat kehangatan pelukan Serena menjalar ke sekujur tubuhnya. Elsa ikut mengusap punggung Serena.
“Gue juga kangen sama lo.” Mereka sama-sama melepas pelukan. “Kangen sama, ini!” Tangan Elsa menarik rambut Serena hingga si empu menengadah dan menyerukan nama Elsa begitu nyaring, si pelaku lari terbirit-b***t masuk ke dalam rumah seraya tertawa lebar, ia puas sudah membalas kejahilan Serena padanya.
Begitulah mereka jika sudah bertemu, akan sama-sama berbalas kejahilan tanpa henti, seolah dunia hanya milik mereka dan tak boleh protes jika terjadi perang dunia hingga kapal pecah nantinya.
“AWAS LO, EL!!! GUE BAKAL BALAS LO NANTI!!!” teriakan Serena menggema di dalam rumah, tapi Elsa sudah berhasil mengunci pintu kamarnya dengan rapat, jadi bisa dipastikan Serena tak mungkin menyentuh sedikit saja lapisan kulitnya.
Di sinilah dia sekarang, di kamarnya yang luas dengan segala fasilitas lengkap seperti dulu, kamar yang bagi Elsa sudah dianggap jagat raya olehnya karena hanya Elsa yang boleh berbuat sesuka hati di sana. Ia mengedar pandang seraya berkacak pinggang, kamar yang dulu didominasi warna putih, kini berganti biru langit, penataan juga tampak berbeda, tapi Elsa tetap suka. Hal paling penting yang membuatnya berbunga-bunga adalah ranjang besarnya yang empuk, ia seperti singa kepalaran saat melihat benda satu itu. Ia melompat menjatuhkan tubuhnya dengan nyaman, ah ... lelah sekali.
***
Gadis itu terlelap tanpa ada yang mengganggu hingga pukul sepuluh malam, tentu saja karena ia mengunci pintu, jadi semua akan aman dari keusilan Serena.
Elsa terbangun saat sesuatu di dalam perutnya terus saja berdemo minta tanggung jawab alias kelaparan, sejak pulang ia memang langsung tidur tanpa memikirkan urusan perutnya. Gadis itu beranjak bersila seraya mengangkat kedua tangan sekadar merenggangkan otot-ototnya yang kaku, sesuatu yang menyengat hinggap di hidungnya.
“Masa gue belum mandi dari pagi bisa sebau ini, apa kebanyakan makan bawang putih kali, ya,” gumam Elsa menerawang, ia turun dari ranjang, mengedar pandang untuk sesaat sebelum kakinya menghampiri kamar mandi.
Berada di kamar mandi hingga memakan waktu empat puluh lima menit akhirnya Elsa keluar dengan keadaan yang bugar. Waktu sudah menghampiri angka sebelas, orang lain di rumah pasti sudah terlelap. Gadis itu keluar kamar dan melahap anakan tangga dengan kakinya hingga tiba di lantai dasar, ia masuk ke dapur—berharap menemukan sesuatu yang akan menyenangkan perutnya, memang banyak makanan, tapi belum tentu Elsa bersedia melahapnya.
Gadis itu membuka lemari pendingin, banyak cake juga buah, tapi ia tak ingin memakan mereka.
“Nggak ada junk food yang bikin perut gue bahagia gitu,” keluh Elsa seraya mengusap perutnya. “Maaf ya, sayang. Kita harus cari cara lain,” imbuhnya seolah berbicara dengan kandungan.
Gadis itu menghampiri pintu utama dan memutar kunci yang selalu tertancap pada lubangnya dengan pelan agar tak ada yang mendengar, ia melangkah keluar menghampiri gerbang yang harus dibukanya sendiri. Nasib yang kurang baik, sudah kelaparan ditambah harus buang tenaga ekstra.
Apalah daya Elsa yang butuh asupan junk food.
Ia melangkah santai setelah berhasil keluar melewati gerbang, tangannya memutar kunci pintu utama.
“Gue bukan model lagi, jadi boleh kali makan yang berat-berat gitu, yang penting bukan batu.” Elsa terkekeh sendirian. “Adelle aja gendut tetep cantik, masa gue enggak, sih.”
Langkahnya kian jauh saat tak melihat penjual apa pun di sekitar rumah hingga tiba pada pintu masuk komplek, dan Elsa menemukan gerobak nasi goreng yang masih lengkap dengan penjualnya.
“Nggak ada junk food ya nggak apa-apa, deh. Penting perut gue makan,” gumamnya seraya menghampiri gerobak nasi goreng itu.
“Mas, masih ada, ‘kan?” tanya Elsa yang kini duduk di kursi plastik berwarna hijau.
“Masih, Neng.”
“Satu ya, pedas.”
“Oke.” Si penjual nasi goreng mulai menghidupkan kompor gas dan meletakan penggorengan yang baru ia cuci di atas api. Sedangkan Elsa mulai sibuk dengan ponselnya, ia menyapa teman-teman yang ditinggalkannya di Jepang.
Terlihat dari arah utara sebuah mobil putih yang dikemudikan seorang gadis berambut hitam panjang, di sebelahnya seorang laki-laki terlihat sibuk dengan ponselnya.
“Sayang,” panggil gadis itu seraya memelankan laju mobilnya.
“Hm.”
“Teman satu kampus aku ada tuh yang tinggal di komplek sini, dia juga pulang hari ini katanya. Kapan-kapan aku ajak kamu ketemu dia, ya. Anaknya seru kok,” ujar si gadis.
“Oke, gampang,” sahut laki-laki itu tanpa menoleh. Ia terus menunduk saat mobil melewati penjual nasi goreng di mana ada Elsa duduk di sana, tapi memang tak terlihat.
Semua orang tahu, dunia tak selebar daun keloar. Jadi, jangan salahkan Jakarta suatu hari nanti.
***