Untuk apa datang sekadar singgah, menetaplah sebagaimana kau pernah bersumpah.
***
Mereka sudah bergabung di meja makan untuk menikmati sarapan pagi. Ada Elsa, Serena, Mentari juga Iqbal yang kebetulan sedang berada di rumah karena cuti sekitar sebulan, pria itu ingin menikmati kebersamaan bersama keluarganya yang lengkap lagi setelah Serena dan Elsa kembali ke rumah, meski Serena lebih dulu tiba sekitar setahun yang lalu.
Usia Elsa sudah menginjak dua puluh tahun, ia terlihat makin dewasa, cantik, memesona dan smart tentunya. Setidaknya tekadnya untuk pergi ke Jepang dirasa sudah membuatnya memiliki banyak perubahan, khsusunya soal pandangan terhadap orang lain.
Elsa tak ingin menoleh ke belakang, biar yang lalu lekas berlalu, dan semoga ia takkan lagi mengingat apa-apa tentang masa itu, masa terperih yang pernah ia lewati hingga sulitnya percaya pada laki-laki lagi sampai saat ini.
Kadang orang lain bertanya, kenapa gadis secantik itu sendiri?
Jawaban Elsa sangat mudah; karena aku datang dan akan pergi sendiri juga.
Maka, mereka diam setelahnya. Tidak salah bukan? Apa aneh jika seorang gadis cantik memilih sendiri lebih dulu, toh jodoh entah kapan datangnya. Intinya sambil menyelam minum air, sambil menikmati masa remaja juga mendewasakan diri dengan keadaan sekitar.
Elsa melahap nasi gorengnya, padahal semalam ia juga memakan masakan yang sama—secara diam-diam, tak ada yang tahu kalau Elsa keluar rumah semalam.
“Elsa mau ikut Mama ke tempat pemotretan?” tawar Mentari, sejak Elsa memilih melanjutkan pendidikannya di Jepang, dan terbebas dari kekangan Mentari—hubungan mereka perlahan membaik, jarang lagi ada konflik.
Elsa melihat semua orang menatapnya, “Elsa, Ma? Maaf nggak bisa, hari ini Elsa harus ke rumah Lova karena bantu-bantu persiapan dia sama Affan pas hari H lusa,” kilah Elsa, sejujurnya ia sama sekali tak ingin datang lagi ke tempat pemotretan yang pernah jadi ladang uangnya, ia khawatir jika Mentari akan memintanya jadi model seperti dulu, apalagi sekarang gadis itu masih free tanpa bekerja.
Mentari manggut-manggut, ia beralih pada Serena. “Kalau Sere? Sibuk juga?”
Serena mengangguk, “Iya, Ma. Sere hari ini harus ketemu teman yang baru pulang dari Jogja gitu, teman SMA. Dia cuma seminggu di Jakarta, nggak enak dong, apalagi teman dekat.”
“Oke, Mama ke sana sendiri,” pasrah Mentari.
Diam-diam Elsa tersenyum tipis, sekarang ibunya lebih banyak mengalah ketimbang memaksa.
***
Seperti janji yang sudah terucap jauh-jauh hari bahwa Elsa akan datang ke rumah Lova dan membantunya berbenah sebelum hari H pertunangannya dengan Affan akan dilangsungkan, Elsa bahagia sekaligus iri. Mereka berdua berpacaran sejak SMA dan terus berlanjut sampai kuliah—hingga segera melangsungkan pertunangan, bukankah itu bisa disebut cinta sejati?
Sedangkan Elsa, siapa yang mau menghampirinya—ralat, siapa yang mau ia tunjuk sebagai Guardian Angel untuknya suatu hari nanti, bahkan memikirkannya pun tidak, Elsa tampak bahagia meski masih sendiri.
I'm single happy!
Tangan kanan Elsa terangkat menekan bel yang berada di atas pintu, untunglah ia sanggup meraihnya, jadi tak perlu repot-repot sampai mengambil kursi untuk naik.
Terlihat gagang pintu bergerak, dan terbukalah benda persegi panjang itu hingga memunculkan wajah Lova yang masih sama seperti dulu, hanya saja sekarang terlihat lebih cantik.
“Astaga, Elsa!” Lova menghambur memeluk Elsa dengan erat, menekan dadanya hingga empunya sesak napas.
“Sabar, Lov, sabar. Kalau gue lo matiin sekarang, besok pas acara tunangan nggak bisa datang dong,” celoteh Elsa.
“Matiin? Siapa yang mau matiin elo.” Lova menarik tangan Elsa masuk ke rumah besarnya begitu saja, ia memperkenalkan Elsa sebagai sahabat terbaik masa SMA kepada sanak keluarga yang memang sengaja berkumpul guna menghadiri pertunangan Lova lusa nanti.
Elsa sampai bingung harus bersalaman dengan siapa saja, terlampau banyak keluarga besar Lova, jika dikumpulkan bisa jadi satu RT. Bahkan mereka menawarkan berbagai macam makanan yang tersedia pada Elsa, meski gadis itu hanya menjawab dengan satu kosa kata; nanti.
Setelah sesi bersalaman ala Idulfitri itu selesai, Lova menarik Elsa masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.
“Astaga, El. Gue kangen banget sama lo.” Lova memeluk sahabatnya lagi seolah belum puas sudah melihatnya lagi. “Lo di Jepang lama banget, gue takutnya amnesia terus lupa sama gue.”
“Gimana bisa gue lupa sama manusia absurd kayak lo ini.”
Lova mengurai pelukan, ia mengamati Elsa dari ujung kaki hingga kepala, setelah itu mencubit kedua pipinya.
“Lo makin cantik aja, El. Bagi dong rahasianya.”
“Rahasia apaan. Ngibul lo, gue mana pernah macam-macam.” Elsa mengedar pandang, terlihat banyak gaun berserakan di atas sofa juga ranjang milik Lova. “Lo mau jualan baju, Lov?”
Lova nyengir kuda, kebiasaan yang tak pernah lepas darinya jika sudah memasang wajah innocent.
“Enggak, gue bingung aja nanti mau pakai yang mana pas hari H itu, El. Bantuin gue dong.” Lova menarik lengan Elsa, menghampiri tumpukan gaun di atas sofa. “Gue bingung, kayaknya norak semua.”
Elsa menggaruk kepala, ia mengambil dua buah gaun lantas mengamatinya sejenak, mencocokan benda itu di badan Lova dengan cara menempelkannya sesaat.
“Bukan, deh. Elo krempeng,” celetuk Elsa, ia mengganti dengan gaun yang lain, dan melakukan hal seperti tadi.
Hingga sepuluh gaun sudah Elsa cocokan untuk Lova, tapi ia kurang puas dengan hasilnya.
“Nggak ada lagi, Lov?” tanya Elsa.
Lova menggeleng, “Tuh ‘kan, nggak ada yang bagus buat gue. Gimana dong?”
“Cari dress yuk, sekalian gue cari juga buat gue. Masa datang ke tunangan perempuan comel ini nggak cantik.” Giliran Elsa yang mencubit pipi Lova. “Nggak nyangka gue kalau kalian berdua bakal ke jenjang yang lebih serius, Lov. Gue kira cuma cinta monyet anak SMA aja.”
“Iya, gue juga nggak nyangka kalau Affan bakal serius gini sama gue. Udah minta izin mama sama papa lagi, nggak nolak dong gue.” Lova menyikut Elsa. “Lo kapan?”
Elsa merotasikan bola matanya, “Pacar aja nggak punya, gue bahagia sendirian kok.” Lalu mengedipkan sebelah mata.
“Tenang aja, orang cantik kayak lo pasti banyak yang antre kok. Gue tunggu undangannya, El.”
“Halah, udah sana siap-siap. Katanya mau cari dress, mumpung gue free banget, nih. Besok mau ketemu sama teman gue juga yang pernah kuliah di Jepang.”
“Siapa?”
“Fransiska.”
Lova manggut-manggut, “Oke, gue ganti baju dulu sebentar, lo duduk aja dulu.”
Elsa mengangguk, membiarkan Lova kembali mengobrak-abrik isi lemari dan masuk kamar mandi untuk berganti pakaian.
***
Sedangkan gadis bernama Fransiska itu baru saja turun dari sebuah jeep merah, ia melambaikan pada laki-laki yang masih duduk di balik kemudi.
“Hati-hati ya, Hiro,” ucap Fransiska melempar senyum pada laki-laki yang ia panggil dengan nama Hiro.
“Oke,” sahut Hiro ikut melambaikan tangan.
“Jangan lupa, jam lima jemput aku.”
“Oke.” Hiro melajukan mobilnya setelah mengantar Fransiska ke kantor tempat ayah Fransiska bekerja, atau lebih tepatnya bos pemilik kantor yang bergerak dibidang kontraktor.
Hiro membelah jalanan kota Jakarta yang mulai lenggang pagi ini sekitar pukul sepuluh, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana dan mengambilnya sebatang, lantas menyalakan pemantik yang kini ditempelkannya ke ujung benda silindris itu dan keluarlah asap lewat lubang hidungnya. Hiro membuka jendela mobil agar asap tak memenuhi ruang kecil itu.
Ah, Jakarta memang selalu membuat penat setiap orang. Entah sekadar penat bekerja, kebanyakan uang, atau masalah yang tak kunjung berhenti.
Harusnya pagi ini Hiro juga datang ke kantor sang ayah karena telah memintanya untuk magang di sana, tapi Hiro terlalu malas melakukan semua itu. Masih seperti dulu, ia suka menikmati dunianya yang ingar-bingar tanpa tersentuh siapa-siapa, kehadiran Fransiska memberikan warna baru untuk Hiro, warna yang dulu ia sebut sebagai kelabu.
Ia terus melajukan jeep merahnya seraya menyalakan musik bernuansa beat hingga jemarinya mengetuk kemudi—ikut bergoyang karena si tubuh tak bisa melakukannya.
“Mungkin begini setelah lama nggak menikmati hidup, gue akan jadi apa pun yang gue mau,” gumam Hiro seraya tersenyum menatap jalanan di depannya.
Iya, memangnya siapa yang tahu besok akan jadi apa?
***