8. Pecahana Kaca

1414 Words
Dari beberapa jam yang lalu rasanya Kirana tidak bisa tertidur dengan nyeyak, bukan karena kasur yang saat ini tengah ia rebahi tidak enak, bukan karena suasana rumah ini yang terlalu dingin, bukan karena gentengnya yang bocor, bukan karena ada suara berisik – yang setiap malam rasanya Kirana dan ibunya rasakan, tidak, hal itu tidak Kirana rasakan detik ini, tapi, Kirana hanya berfikir bagaimana keadaan kehidupannya besok hari, dia tidak punya tempat tinggal, tapi, sejak tadi ibunya selalu menenangkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja, kalau dirinya dan ibunya akan melewati semua ini dengan mudah. Dahulu, hidup Kirana dan ibunya lebih sulit daripada ini, dahulu sejak kelas tujuh sekolah menengah pertama hingga kelas sembilan menengah pertama, Kirana menjaga sang ayah yang masuk ke dalam rumah sakit, dua tahun, dua tahun dirinya menjaga sang ayah yang mengidap kangker otak di rumah sakit, entah bagaimana jadinya dahulu ia bisa berada di rumah sakit dengan bantuan dari pemerintah dan masyarakat sekitar karena kalau hanya mengharapkan pendapatan sang ibu maka ayahnya jelas tidak akan hidup selama itu, dua tahun Kirana dan ibunya bolak balik ke rumah sakit, bekerja dan sekolah, hingga akhirnya Kirana dinyatakan sebagai anak yang tidak memiliki ayah, ya, ayah Kirana meninggal pada perjuangan dua tahun melawan kangkernya. Langkah kaki Kirana melangkah kearah pintu kamar, membuka pintu itu dengan pelan, takut kalau melakukannya dengan kencang dirinya akan membangunkan seluruh orang yang ada di rumah ini, padahal mau sekencang apa pun Kirana membuka pintu kamarnya maka hal itu sama sekali tidak akan menganggu semua orang yang ada di sini. Rumah itu masih terlihat terang, rumah besar ini sama sekali tidak dimatikan lampunya di lantai dua, hanya lantai satu yang bisa Kirana lihat dari tempatnya berpijak lampunya padam, tadi, awalnya dirinya dan ibunya kembali turun dari kamar yang amat bagus itu untuk bertemu dengan suaminya Tante Alesa yang bisa dikatakan juga sebagai ayahnya Raffa yang juga bisa dikatakan sebagai pemilik perusahaan yang mengusur tempat tinggalnya, tapi, setelah dirinya dan ibunya serta tante Alesa yang kembali berkumpul di ruang keluarga rumah ini Alesa mengatakan bahwa suaminya lembur dan sebaiknya saat ini Ayu dan Kirana berisitirahat, karena memang tidak punya pendapat dan argument lebih lanjut jelas saja Kirana dan Ayu melakukan hal itu. Hingga pada akhirnya jam dua pagi Kirana keluar dari kamar ini, memandang rumah ini dengan decakan yang kagum, Kirana tidak bisa tidur, dan Kirana tengah kehausan, walau baru dua kali Kirana ke sini, Kirana mengetahui di mana letak pantry rumah ini, hingga pada akhirnya seluit seseorang membuat dirinya menepuk dadanya sendiri karena sedikit terkejut. Kirana memilih untuk membalik badannya sebelum tubuh Raffa yang tinggi malah menghadangnya, menampakan tubuhnya yang kokoh berada di depan mata Kirana, hembusan napas lega Kirana keluarkan dengan kencang hingga menimbulkan suara, Kirana yang terbiasa dengan rumah yang kecil, terbiasa bisa menyapu seluruh pandang rumah dengan sekali tatap kini sedikit takut karena rumah ini terlalu besar bagi seorang Kirana. “Ngapain lo?” “Cari minum, aku mau minum.” Raffa yang juga kebetulan haus dan akhirnya terbangun, ia juga cukup berdecak kesal saat melihat botol yang berada di atas nakasnya tidak ada isinya, laki-laki itu memilih untuk turun ke bawah, memilih untuk pergi mengambil air, ia melirik Kirana yang kini berjalan di belakangnya. Pantry itu menjadi terang saat Raffa menyalakan lampunya, laki-laki itu mengambil sebuah botol dari lemari esnya dan meletakan botol yang ia bawa dari kamarnya ke tempat cuci piring, ia kembali melangkah, sbeelum suara Kirana kembali menahan langkah kakinya. “Raffa, sebentar, aku minta tolong, temenin aku sebentar,” pinta Kirana dengan cepat, perempuan itu dengan cepta mengambil gelas yang berada tidak jauh dari meja makan dan mengisi gelas itu dengan air di sebuah alat yang Kirana sendiri tidak bisa menggunakannya. Decakan dari mulut Raffa terdengar, dengan mata yang sedikit sayu serta rambut yang acak-cakan, Raffa mengambil gelas yang berada di tangan Kirana dan mengisi gelar itu dengan air, Raffa juga kembali mengambil sebuah gelas baru dan melakukan hal yang sama, lalu menyerahkan dua gelas yang sudah ada isinya itu kepada Kirana. Ya benar sekali saat ini di tangan Kirana sudah ada dua gelas air putih yang ia inginkan. “Cepet naik, kalau enggak lo yang matiin lampunya.” Kirana mendengar suara itu dengan nada yang menakutkan, jam dua pagi Kirana benar-benar tidak takut dengan setan, tapi yang saat ini Kirana takutkan adalah Raffa yang akan marah padanya, dengan melangkah cepat perempuan itu mendahului langkah Raffa, hingga ke dua bola mata Kirana itu sama sekali tidak melihat bahwa ada keset kaki yang bisa-bisanya membuat dirinya jatuh, dan jelas dengan bawaan di dua tangannya. Prank….. Raffa membulatkan matanya, laki-laki berjalan dengan napas yang sudah memburu, begitu kesal karena telinganya mendengar suara itu, ia melangkah mendekat, menatap Kirana yang masih tersungkur, ia sama sekali tidak takut ke dua orangtuanya akan bangun karena mendengar suara gelas yang berada dengan lantai karena kamar ke dua orangtuanya kedap suara, tapi Raffa bisa melihat langkah Mbak Rasi dengan terburu-buru yang keluar dari arah kamarnya, dengan rambut yang acak-acakan karena baru terbangun dari tidurnya. “Lo ngapain sih?” pertanyaan yang terdengar dengan nada sarkas itu tertuju kepada Kirana yang duduk dengan mata yang membola karena melihat pecahan gelas di depannya. Jantung Kirana berdetak sangat kencang, bukan karena suara Raffa yang terdengar menusuk di telinganya, tapi karena dua gelas yang semula berada di tangannya kini menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai, Kirana tahu betul saat ini dirinya di mana, di tempat pemilik yayasan tempat dirinya menuntut ilmu, yang Kirana bisa yakini bahwa uang sakunya selama satu bulan jelas tidak bisa mengganti walau satu biji gelas yang baru saja ia pecahkan itu. “Ngapain lagi lo, enggak usah sok …., kan …,” decakan kembali terdengar saat Raffa melihat tangan Kirana yang pada akhirnya tertusuk pecahan gelas yang ia niatkan ingin ia kumpulkan itu tertusuk pada tangannya, “lo jangan bikin gue susah bisa enggak?” Mbak Rasi yang melihat Kirana yang dimarahi oleh Raffa pun hanya tersenyum, melihat bagaimana Raffa yang berucap seperti itu, “iya sudah biar mbak aja yang bersihin.” Raffa menatap tidak suka pada perempuan yang kini masih berjongkok di bawahnya, Raffa benar-benar tidak suka berinteraksi dengan orang seperti ini, menyusahkan sekali, “obatin tangan dia dulu aja Mbak, ngerepotin,” ucap Raffa lalu kembali melangkah, menjauhi Kirana yang berjongkok itu, dirinya melangkah pergi menuju kamarnya, tanpa memperdulikan Kirana dan Mbak Rasi yang berada di belakang sana. “Kamu kenapa sih sayang?” tanya Mbak Rasi saat melihat Kirana dan mengajaknya untuk segera bangkit, berniat untuk mengobati tangannya. “Terpesona karena ngelihat den Raffa ya?” goda Mbak Rasi lagi. Kirana jelas menggeleng dan akhirnya menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa tidur dan kehausan, perempuan itu juga melanjutkan ceritanya bahwa dirinya tidak bisa mengisi air dan Raffa membantunya, setelah ingin kembali ke kamar permepuan itu malah tersandung dan menghasilkan dua buah gelas yang ia pegang hancur begitu saja, syukurnya orangtua Raffa tidak bangun dan keluar kamar karena mendengar gelas yang tidak sengaja Kirana pecahkan itu. Kirana terdiam, merasakan tangannya yang dibersihkan oleh Mbak Risa, hingga beberapa menit kemudian Mbak Rasi benar-benar menyelesaikan apa yang ia lakukan pada Kirana, jari Kirana dibalut oleh plaster polos dengan luka yang sudah dibersihkan, tidak sampai di sana, Mbak Rasi juga memberikan Kirana sebotol air minum untuk perempuan itu bawa ke kamarnya. “Sudah sana masuk kamar biar Mbak beresin pecahan kacanya.” Kirana menatap dengan tidak enak, dirinya membuat kegaduhan dan malah merepotkan Mbak Rasi yang harusnya bisa beristirahat. Mbak Rasi jelas menggeleng karena mendengar perkataan Kirana, “enggak ngerepotin, ayo sana ke kamar besok kamu ke sekolah kan, nanti malah kesiangan bangunnya, ini sebentar aja kok habis itu mbak masuk kamar lagi.” Kirana akhirnya mengikuti apa yang dikatakan oleh Mbak Rasi, dengan langkah pelan perempuan itu naik ke tangga rumah Raffa dengan menatap jarinya yang berplaster karena tidak sengaja memegang pecahan kaca. “Lama banget sih.” Mata Kirana membola mendengar suara yang sama sekali tidak ia duga bisa terdengar disaat rumah Raffa benar-benar hening seperti ini, ia mengalihkan padangnya menatap Raffa yang berdiri bersandar pada dinding dekat tangga, dengan tatapan matanya. “Biasa aja natapnya.” “Kamu kayak setan Raffa, aku kaget.” Kini giliran Raffa yang membola, menatap tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari ucapan yang keluar dari mulut Kirana itu. “Ah udah ah,” ucap Raffa sedikit kesal lalu masuk ke dalam kamarnya membiarkan Kirana menatap punggunynya. Raffa menggeleng tidak percaya, ada, ada yang memanggilnya setan …, Kirana …, perempuan itu menyamakan dirinya dengan setan, dasar permepuan tidak tahu diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD