9. Pak Albizar Itu Boss Kita!

1197 Words
Di ruang kerjanya, Nanda masih bekerja sambil sesekali melirik ponsel miliknya yang ada di sebelah tangan kanannya. Nanda tengah menunggu balasan WA dari Kia. Karena meski sudah lima menit telah berlalu, dan pesannya juga sudah dibaca Kia, ia belum juga mendapat balasan. “Tumben si Kia enggak langsung balas. Apa ... dia lagi sibuk banget, ya?” pikir Nanda. Di tengah kesibukannya, Nanda juga jadi teringat ucapan Fero. “Apa pun alasannya, bawa dia kepadaku. Atau jika tidak, ... bawa dia ke sini saja biar nanti aku yang urus. Dia adikku. Kami beda Ibu, dan dia dijodohkan dengan laki-laki yang sudah membantu keluarga kami. Awalnya dia setuju, tapi di pertemuan kemarin, dia mendadak kabur. Kami sekeluarga benar-benar akan malu bahkan harus membayar banyak denda, andai Kia tetap tidak menikah dengan calonnya. Papa bahkan sudah sampai koma. Itu mengapa, akhir-akhir ink, aku makin sibuk. Sayang, kamu cukup percaya kepadaku! Kamu jangan pernah percaya kepadanya, apalagi sederet drama yang akan dia buat hanya untuk lari dari tanggung jawab ini!” Karena terlalu percaya ke Fero, Nanda juga tak berniat mendengarkan penjelasan apalagi drama dari Kia. Yang akan Nanda lakukan hanyalah membawa Kia ke kost-nya, bagaimana pun caranya. Apalagi bagi Nanda, ketimbang Kia, baginya Fero jauh lebih penting. “Kia sudah bikin malu Fero. Ku rang ajar dia, aku beneran enggak terima, meski ternyata mereka masih saudara! Apalagi andai aku berhasil bikin Fero mendapatkan Kia, pasti bukan hanya Fero saja yang makin sayang ke aku. Karena keluarga besarnya pasti akan kasih lampu hijau ke hubunganku dan Fero!” batin Nanda yang langsung terusik oleh bisik-bisik dari kubikel sebelah. Gita selaku rekan kerja Nanda yang bisik-bisik, berkata, “Karyawan baru yang teman kamu, katanya deket banget sama boss Al? Mereka pacaran apa gimana? Cara bos Al menatap teman kamu, katanya beda banget. Aku jadi penasaran, secantik apa sih teman kamu? Apa cerdas banget, ya? Soalnya kalau aku pikir-pikir, sepertinya bos kita sukanya ke yang cerdas-cerdas!” “Hah? Gimana maksudnya?” kaget Nanda yang memang ketinggalan gosip terhangat di kantor mereka. Karena sejauh ini, Nanda terlalu dipusingkan dengan hubungannya dengan Fero. Nanda dan Fero sudah pacaran dua tahun. Hubungan mereka amat sangat dekat, terlebih gaya pacaran mereka juga terbilang sangat bebas. Dari menginap dan tidur bersama layaknya suami istri, sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Hingga keinginan untuk segera dinikahi, membuat Nanda melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Karenanya, kesempatan mendapatkan Kia yang Fero minta, akan Nanda manfaatkan agar dirinya segera Fero nikahi. Kini, setelah mendengar cerita dari Gita, Nanda merasa bahwa kedekatan Kia dengan bos mereka, bisa menjadi ancaman rencana Fero. Apalagi lagi-lagi, Nanda teringat pesan sang kekasih. Bahwa andai Fero tak secepatnya membawa Kia pulang, bukan hanya nama baik Fero sekeluarga yang terancam. Sebab Fero sekeluarga juga harus membayar denda. Ditambah lagi, pak Hartawan papa Fero, masih koma. “Enggak bisa dibiarin kalau gini caranya. Bahaya, ... pokoknya sepulang kerja, aku wajib langsung nyamperin Kia!” batin Nanda. Seperti niatnya, ketika jam kerja sudah beres, Nanda langsung buru-buru ke ruang kerja Kia. Ia langsung gelisah lantaran Kia sudah tak ada di balik kubikelnya. Untungnya, ternyata Kia hanya sedang mengantar gelas bekas minuman karyawan divisi-nya, ke pantry. “Ambil kuncinya karena aku masih ada pekerjaan tambahan,” ucap Albizar sambil memberikan kunci pintu apartemen kepada Kia. Kia yang masih mencuci gelas bekas minuman dan kebanyakan bekas kopi, refleks menggeleng. “Kenapa?” tanya Albizar masih berucap lirih. Kia refleks menghela napas dalam. “Jujur, aku lebih nyaman di luar ruangan daripada aku justru ada di dalam ruangan. Apalagi kalau hanya sendirian,” ucap Kia yang dalam hatinya berdalih, ketika dirinya di luar ruangan, andai ada keadaan genting contohnya mendadak dikejar-kejar Fero. Atau malah, si pria tua yang membelinya datang, Kia masih bisa berlari sejauh mungkin. Beda dari ketika Kia ada di dalam ruangan, pasti Kia akan makin sulit melarikan diri. Meski apa pun yang terjadi, Kia akan selalu melarikan diri. Kia tidak akan menyerah untuk lepas dari jerat Fero maupun keluarga papanya yang lainnya. “Apartemenku aman. Keadaan di sana dipantau CCTV selama dua puluh empat jam. Andai kamu tetap takut, ... aku bisa minta orang buat temui kamu. Lagipula, sebelum pukul sepuluh malam, ... aku janji bahwa aku sudah pulang,” ucap Albizar. “Kalau begitu, aku tunggu di kafe bawah apartemen saja. Aku mau sambil baca beberapa buku di sana. Kuncinya biar kamu saja yang pegang,” balas Kia, tapi Albizar mendadak mendekat, hingga ia buru-buru kabur. “Aku terlahir dari rahim wanita simpanan. Aku bahkan jadi trauma memiliki hubungan, termasuk itu menikah, apalagi kalau sampai punya anak. Aku enggak mau, hal yang sama juga harus anakku rasakan. Karena jadi aku, ... beneran menyakitkan. Aku dibenci oleh keluarga papaku hanya karena aku lahir dari wanita simpanan papa mereka. Parahnya, meski sudah satu tahun lebih aku menjadi bagian dari papa di Jakarta, ... tak pernah sekalipun papa mengajakku berbicara,” batin Kia memilih tetap menjaga jarak dari Albizar. Ia sampai membiarkan air keran di wastafel dan awalnya ia pakai untuk mencuci gelas, tetap mengalir. Karena tadi, ia refleks melarikan diri. Andai Albizar mendekati Kia dengan jauh lebih lembut tak sampai buru-buru seperti sekarang, Kia pasti tak akan ketakutan layaknya sekarang. Namun pada kenyataannya, selain trauma, identitas aslinya juga membuat Tia insecure. “Kamu punya pengalaman yang kurang mengenakan?” lirih Albizar yang bisa melihat ketakutan berlebihan dari seorang Kia. Reaksi Kia yang buru-buru meninggalkannya, khas orang trauma. Sambil menghela napas pelan, Kia berangsur mengangguk sebab pada akhirnya, Albizar menyetujui keinginannya. “Saat aku ke kafe nanti, kamu mau aku bawakan makan apa?” tanya Albizar. “Nasi. Nasi padang, ... makanan merakyat yang selalu bikin kenyang, dan ... harganya pun aman di kantong!” ucap Kia sambil menahan senyum dan ia refleks melakukannya meski kini, ia tengah menatap kedua mata Albizar. Menyaksikan Kia senyum kepadanya dan itu sangat manis sekaligus imut, Albizar juga refleks tersenyum. Karena memang, senyum Kia langsung menular kepadanya. “Memangnya kamu enggak tahu, ada nasi padang yang harganya enggak begitu ramah di kantong?” ucap Albizar jadi tersipu malu. “Hah? Masa, sih? Ya ... ya jangan beli yang mahal-mahal. Beli yang paketan sebelas apa dua belas ribu. Masih awal bulan tetap wajib hemat. Takutnya ... takutnya baru tanggal belasan, cuma makan pakai garam!” ucap Kia. “Sumpah, pengin peluk Kia banget!” batin Albizar yang hanya bisa mencubit hidung mancung Kia. “Asli ...,” lirih Kia yang kemudian mengusap-usap hidungnya. “Hah?” bingung Albizar. “Maksudnya bukan hasil oplas atau perawatan sulam-sulam,” ucap Kia yang kemudian dikagetkan oleh kedatangan Nanda. Di belakang Albizar, di balik tembok, Nanda memegang kertas HVS berisi tulisan serba huruf kapital. Kia yakin, Nanda sengaja menunjukkan tulisan itu kepadanya. PAK ALBIZAR ITU BOS KITA. DIA SUDAH NIKAH DAN ISTRINYA SEDANG HAMIL ANAK KEDUA, KIAAAA! SUDAH JAUHIN DIA! KELUARGANYA BUKAN ORANG SEMBARANGAN! “I—innalilahi ... ternyata ... astaghfirullah ... ternyata Albizar sudah menikah, bahkan istrinya sedang hamil anak kedua, tapi dia justru mengajakku tinggal di apartemen yang sama!” batin Kia benar-benar ketakutan. Jantungnya jadi berdentam kacau seiring ia yang jadi tak berani menatap kedua mata Albizar. Kia sakit hati bahkan kecewa. Yang mana detik itu juga, Kia tak mau mengenal Albizar lagi apa pun alasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD