Pagi-pagi sekali, pintu kamar Kia ada yang mengetuk. Kia pikir siapa, atau setidaknya Albizar. Namun ternyata itu petugas hotel.
Seorang wanita cantik berpenampilan rapi, membawa kemeja perempuan warna merah, celana bahan panjang warna hitam, dan juga jas warna merah. Selain semua itu juga ada tas dan sepatu heels.
“Semua ini yang harus Nona pakai hari ini. Sementara setengah jam lagi akan ada sarapan,” ucap wanita cantik tersebut dan berangsur Kia balas anggukan paham.
“Ternyata dia tetap perhatian,” batin Kia sengaja mundur. Sebab petugas hotel tadi izin masuk untuk menaruh pakaian maupun perlengkapan yang dibawa.
Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil juga sudah menunggu Kia di depan hotel. Persis di pintu masuk utama hotel Kia berada, mobil sedan hitam sudah menunggu Kia. Kia yang menenteng kantong berisi pakaian sekaligus heels bekas semalam, lagi-lagi dibuat terkejut dengan fasilitas yang didapatkan.
“Sampai detik ini enggak begitu bu ruk. Apalagi aku juga bukan tipikal rese kalau sekadar pakaian saja harus diatur. Malahan merasa terbantu karena aku enggak mungkin salah kostum. Andai dia enggak suka, ya aku balikin lagi ke dia. Karena dia juga yang udah tentuin,” batin Kia yang sudah duduk di tempat duduk penumpang.
Mobil sedan hitam yang menjemput Kia, sudah membawa Kia mengarungi perjalanan. Ternyata, selain menyediakan semua keperluan Kia, termasuk membuat perut Kia kenyang, Albizar juga tetap mengizinkan Kia bekerja di kantor.
“Lalu, apa yang membuatnya begitu membenciku? Dia marah karena aku jual diri? Lah kenapa? Dia saja sudah menikah dan istrinya lagi hamil lagi. Sebelumnya pun, kami ya biasa saja. Aku maupun dia enggak sampai sekadar panggil pun pakai panggilan spesial. Beneran enggak kan? Serius aku yakin karena aku belum amnesia," batin Kia yang jadi kerap melirik layar ponselnya.
Kia sengaja memegang ponsel yang juga masih dari Albizar, menggunakan tangan kanannya. Namun, hingga akhirnya mobil tersebut turun agak jauh dari depan kantor, ponsel Kia tetap sepi. Albizar sama sekali tidak menyapanya di pagi ini.
“Mungkin dia masih sama istri dan anaknya. Makanya dia enggak berani nyenggol-nyenggol aku. Lagian ngapain juga sih masih sama aku? Padahal andai dia pengin yang kayak aku, ya cukup istrinya dipermak!” lirih Kia uring-uringan sendiri sambil terus melangkah menuju kantornya.
Masih ada sekitar 200 meter agar Kia sampai depan pintu masuk utama di kantornya. Kia begitu bersemangat dan memang tidak mau memusingkan statusnya yang kini telah menjadi istri rahasia bosnya sendiri.
“Aku enggak mau gil*a, apalagi kalau aku mengalaminya hanya sendirian. Enak saja, ini hidupku, kenapa mereka terus berusaha meru*saknya?”
“Termasuk untuk keadaan papa. Sekadar menanyakan kabarnya pun, aku enggak akan melakukannya. Masa iya, istri dan anak-anak yang papa urus dan merasa terzalimi olehku, nggak bisa urus papa mereka? Masa iya, ... apa-apa harus serba aku, sementara bagi mereka aku ini anak harom keturunan set*an? Mada iya kalah dari anak set*an, padahal seta*nnya mereka sama papa mereka!”
Ucapan panjang lebar Kia di tengah kesibukannya yang buru-buru melangkah, refleks berhenti.
“Aaaa!” refleks Kia yang berakhir jatuh dalam keadaan meringkuk.
Keadaan tersebut terjadi lantaran heel yang Kia pakai tersangkut di drainase depan kantor.
Tak jauh dari Kia, mobil Albizar mendekat. Sementara di dalam mobil, di tempat duduk penumpang tengah, Albizar tengah melihat setia kiriman foto terkini Kia. Baru saja, ia juga mendapat kiriman foto terbaru Kia yang meringkuk di depan pintu masuk.
Albizar langsung ketar-ketir. Ia membuat kaca jendela pintu di sebelahnya terbuka. Dari sana, ia mencari-cari melalui tatapannya. Bertepatan dengan itu, akhirnya Albizar mendapati Kia. Begitu juga dengan Kia yang baru saja berhasil duduk kemudian membuat kaki kanannya meninggalkan sepatu heel merahnya.
Dunia Albizar maupun Kia seolah menjadi berputar sangat lambat ketika tatapan mereka bertemu. Albizar yang sebenarnya khawatir, tapi karena di sana sedang ramai-ramainya karyawan berdatangan. Juga Kia yang malu luar biasa karena menjadi bahan tontonan bahkan itu oleh Albizar.
Albizar tetap tidak membantu Kia, meski pak Hamka menawarinya. Dari yang pak Hamka amati, Albizar sebenarnya sangat ingin menyelamatkan Kia. Namun, Albizar terlalu gengsi dan memang sudah menjadi watak bosnya itu. Padahal pak Hamka yakin, mereka yang baru melihat Albizar dalam sekadar menatap Kia, sudah bisa melihat. Betapa seorang Albizar sangat peduli sekaligus menyayangi Kia.
“Sakitnya sih enggak seberapa, tapi malunya sampai tahun depan pun masih terasa. Lagian, ini sepatu mahal kok membahayakan,” batin Kia sambil melirik sebal kepergian mobil Albizar. Tadi, mobil berwarna hitam itu sempat berhenti. Kia pikir Albizar akan menyelamatkannya. Namun nyatanya tidak. Untungnya, beberapa karyawan menolongnya, tapi itu malah membuat Kia makin malu.
•••
Bekerja di kantor yang sama, mau tak mau membuat Kia maupun Albizar bertemu. Namun ketika Kia sama sekali tidak pernah merencanakan pertemuan mereka. Tidak dengan Albizar yang di beberapa kesempatan sengaja ingin bertemu, meski itu hanya akan membuatnya melihat Kia dari kejauhan. Melalui tatapan tajamnya, Albizar memastikan tidak ada pria lain yang mendekati Kia.
Padahal, tanpa harus melakukannya secara langsung, sebenarnya Albizar memiliki banyak mata-mata. Mata-mata yang selama Kia jauh darinya, akan menjadi CCTV Kia, untuknya.
“Seharian ini kok aku enggak lihat Nanda, ya?” batin Kia yang langsung putar balik lantaran di lorong depan, ia kembali memergoki Albizar.
Di lorong depan dan terpaksa Kia tinggalkan, Albizar memang tengah sendiri. Masalahnya, Kia belum pikun dan membuatnya lupa peraturan yang suami rahasianya itu terapkan. Bahwa Kia dilarang berurusan dengan Albizar, apalagi jika mereka sedang di tempat umum, khususnya di kantor sekaligus di depan keluarga Albizar.
“Loh—” Albizar yang ada di depan lift khusus untuk bos, jadi ketar-ketir sendiri lantaran Kia langsung meninggalkannya. “Apaan sih Kia. Sepi gini saja langsung pergi!” batin Albizar buru-buru menyusul.
“Nda ... aku mau ngobrol—”
“S—sori, Ki ... aku lagi sibuk banget. Aku buru-buru. Nanti saja, ya!”
Obrolan di lorong yang akan ia tuju, membuat Albizar bersembunyi di balik tembok. Albizar yang sempat menyandarkan punggungnya pada tembok dirinya bersembunyi, memergoki Kia yang ditinggalkan oleh Nanda. Nanda masuk ke dalam lift, sementara Kia yang ditinggalkan tampak khas orang bingung sekaligus kehilangan. Namun ketika Albizar sengaja menghampiri kemudian berdiri di depan Kia, Kia langsung mengembuskan napas panjang melalui mulut.
“Duniaku mendadak seperti hanya diisi nih orang,” batin Kia yang berangsur balik badan, tapi Albizar langsung menahan pergelangan tangan kanan Kia.
Awalnya, dunia Kia seolah berhenti berputar akibat apa yang Albizar lakukan. Bahkan meski Albizar baru menggenggam tangan kanannya. Namun ketika lift di belakang mereka bunyi tanda terbuka, detik itu juga mereka apalagi Albizar layaknya maling yang tertangkap basah.
“Dasar laki-laki aneh!” batin Kia sambil melepas kepergian Albizar. Albizar sampai berlari hanya untuk menghindari penghuni lift.
Padahal, yang keluar dari dalam lift hanya pak Hamka. Pak Hamka yang mengaku sedang mencari Albizar. Alasan yang membuat Kia sibuk menahan tawa.
“Nona Kia, kenapa?” tanya pak Hamka yang memang penasaran.
“Si bos langsung buru-buru kabur. Sampai lari-lari karena takut kelihatan sama yang keluar dari lift. Eh, liftnya ternyata hanya berisi Pak Hamka!” ucap Kia di sela tawanya. Tawa yang langsung menular kepada pak Hamka juga.
“Enggak apa-apa, Non. Sekali-kali, biar pak Bos olahraga,” ucap pak Hamka di sela tawanya dan malah mengajak bercanda.