7. Tinggal Bersama

1358 Words
“Memikirkan nasibku saja, aku sudah pusing. Karena melarikan diri saja dirasaku tidak cukup. Nah ini, sahabatku justru dengan orang yang paling aku hindari. Bagaimana jika persahabatan kami harus tergadaikan karena hubungan Nanda dan kak Fero? Terus, kenapa kak Fero sampai menjalin hubungan gelap, sementara dia saja begitu membenciku? Kenapa Kak Fero justru mengulang kesalahan papa? Apakah ini bertanda, sudah waktunya aku melakukan pemberontakan besar-besaran? Namun, bagaimana jika kak Fero melaporkanku ke polisi? Bagaimana jika kak Fero menggunakan kuasanya untuk menjatuhkan aku sejatuh-jatuhnya? Apakah aku sekuat itu? Di pukuli saja, aku masih kesakitan,” pikir Kia benar-benar pusing. Kia tidak tahu, bahwa kedua mata tajam Albizar, sudah sibuk mengawasinya dengan tatapan sendu. “Sayang, kamu kenapa? Kamu mau ke mana? Ayo masuk!” lembut Nanda. Suara Nanda terdengar mengkhawatirkan yang ditanya. Tentu yang Nanda khawatirkan Fero. Bersamaan dengan itu, kedua mata Kia dan Albizar jadi bertatapan. Keduanya yang memang berhadapan, jadi merasa canggung. Apalagi Kia, yang memang tak terbiasa berinteraksi dengan laki-laki selain untuk hal darurat. Namun kini, lagi-lagi mereka sedekat sekarang. Kia memilih menjaga jarak dari Albizar. “Kenapa kami jadi sering bertemu? Ngapain juga dia ke sini? Apakah dia sengaja mengikuti aku? Atau ... hanya kebetulan saja?” pikir Kia yang kemudian dikejutkan oleh ulah Albizar. Setelah menggandengnya dan membawa paksa dirinya dari sana, Albizar juga sengaja membuat punggung Kia ada di hadapannya. Hingga Fero yang ada di belakang sana, tak bisa melihat Kia dibawa Albizar. “Sepertinya Kia memang menghindari pria berkemeja lengan panjang abu-abu itu,” pikir Albizar tak sampai melihat wajah Fero dengan jelas. Selanjutnya, yang Albizar lakukan ialah membawa Kia masuk ke dalam mobilnya. Pak Hamka sudah menunggu di dalam mobil yang diparkir persis di depan mobil Fero. “I–itu mobil kak Fero. Namun, ini mau ngapain? Si Albizar mau bawa aku ke mana?” bingung Kia. Tanpa bertanya, ia nyaris kembali keluar meski Albizar baru saja menutup pintu mobil penumpang untuknya. Maksudnya, Kia juga ingin melarikan diri dari Albizar. Karena meski mereka bekerja di kantor yang sama, selain suasana yang sudah malam, pada kenyataannya mereka juga belum begitu kenal. Namun ternyata di luar sana, Fero sampai keluar dari area kost. Fero nyaris melewati gerbang pintu masuk kost-kostan dan Kia yakini karena masih untuk mencarinya. Kia tak jadi keluar dari mobil, tapi Fero melihat Albizar sekilas karena Albizar sangat buru-buru. Di waktu yang sama, sebenarnya ketika Albizar masuk mobil, Fero juga jadi melihat Kia. Hanya saja selain jarak yang terbilang jauh, suasana termasuk suasana dalam mobil Albizar, sangat gelap. Hanya kemeja putih lengan panjang yang disingsing hingga siku milik Albizar saja yang terlihat paling terang. “Langsung ke apartemen, Pak!” ucap Albizar setelah menghela napas pelan sekaligus dalam. Kemudian ia menoleh dan sengaja untuk menatap Kia. Seperti yang ia yakini, Kia tengah kebingungan menatapnya. Namun, dengan segera Kia menepis tatapannya, selain Kia yang ia pergoki geser menjauhinya. Padahal jelas, Kia sudah duduk di pinggir tempat tidur mepet ke pintu. “Masih tentang apartemen dan sepertinya juga masih sambungan yang tadi pagi,” batin Kia. “Kenapa dia terkesan jadi takut kepadaku?” pikir Albizar. Bahkan sepanjang perjalanan, Kia hanya diam. Hingga Albizar berpikir, memang dirinya yang harus memulai. “Yang di kost tadi,” ucap Albizar sengaja memulai. Disinggung mengenai Fero, Kia merasa serba salah. “Dia siapa? Pacarmu? Kenapa kamu begitu menghindarinya?” tanya Albizar ragu. “Bukan, itu bukan pacarku ... aku enggak punya pacar. Aku juga baru tahu kalau dia pacar sahabatku,” ucap Kia yang berangsur menatap Albizar. Ia dapati, Albizar yang menatapnya intens. “Nih orang tipikal yang selalu menatap intens lawan bicaranya. Sweet sih, tapi jika konteksnya dia pasanganku,” batinnya yang kemudian menyudahi tatapannya. “Dia tidak punya pacar,” batin Albizar kegirangan seiring senyum tipis yang menarik kedua ujung bibirnya. “Aku selalu memiliki pengalaman kurang baik kalau ketemu pacar atau pasangan orang, termasuk pasangan sahabatku,” ucap Kia sambil menyibukkan diri mengawasi suasana luar yang makin gelap tapi tetap penuh kendaraan. “Kenapa? Mereka selalu berpaling kepadamu, dan itu menjadi alasan hubungan kalian hancur?” tanggap Albizar masih dengan suara lirih. Balasannya barusan mampu membuat Kia menoleh sekaligus menatapnya. Ia pastikan, dugaannya memang benar. Bahwa setiap pasangan teman bahkan pasangan sahabat Kia, langsung kesemsem kepada Kia. Karena memang, Kia secantik itu. “Kia sangat cantik ... belum pernah aku melihat wanita secantik Kia,” batin Albizar yang kemudian berkata, “Mulai sekarang, ... semua urusanmu berarti menjadi urusanku. Kamu tak perlu ragu melakukan apa pun karena aku akan selalu di pihakmu.” “Heh? Apa, ini? Maksudnya, ... dia? Ini semacam pertolongan atau malah merangkap jadi kencan, sih?” pikir Kia belum berani berkomentar. Termasuk juga meski mereka sudah sampai di sebuah kawasan apartemen mewah. Karena ketika ia izin pergi saja, yang ada Albizar justru menggandeng tangan kanannya. “Kamu bilang, kamu enggak punya tempat tinggal?” “Ya enggak gini juga konsepnya. Kalau gini caranya, mending aku pulang ke kampung!” “Apartemen ini akan menjadi tempat paling aman untuk kamu. Ternyata kamu dari kampung? Oh iya ... dalam waktu dekat, tolong catat semua tentang kamu. Dari apa yang kamu suka, ... termasuk apa yang kamu tidak suka. Agar aku tidak salah langkah karena kebanyakan wanita selalu membuat para laki-laki menjadi paranormal dengan kedok balasan terserah. Namun ketika laki-laki salah memberikan apa yang para wanita mau apalagi kalau jauh dari ekspetasi, ujung-ujungnya ribut,” ucap Albizar sambil terus menggandeng tangan kiri Kia. “Ini maksudnya dia ngajak kencan dan sebagainya? Kami hanya baru beberapa kali bertemu loh. Terus ini aku dikasih tempat tinggal khusus. Nih orang agak lain apa gimana? Apakah dia juga seperti laki-laki pada kebanyakan? Dia tertarik ke fisik dan juga kecantikanku, kemudian sengaja ... ya ampun ... semoga saja dia belum punya istri dan memang serius akan menikahiku secara resmi!” batin Kia yang masih berusaha menolak Albizar. Ia terlalu takut karena pada kenyataannya, ia dan Albizar belum kenal. Di tempat berbeda, Fero sengaja menunjukan foto Kia yang sedang sendirian, kepada Nanda. “Kamu kenal wanita ini?” tanya Fero. Nanda yang baru melepas jas hitam yang dipakai, langsung mengernyit bingung. Tentu saja ia mengenali Kia, hingga ia juga segera mengangguk, mengabarkannya kepada Kenzo. “Tadi dia juga sempat ke sini karena per hari ini, kami kerja di perusahaan yang sama,” lembut Nanda yang sekadar menatap Fero, selalu melakukannya penuh cinta. “Ib lis menang si Kia. Berarti tadi aku enggak salah dengar? Berarti tadi memang suaranya dia, tapi sepertinya dia sengaja menghindariku!” batin Fero benar-benar emosi. Sementara itu di apartemen Albizar, Kia layaknya orang tersesat. Apalagi pada kenyataannya, ternyata Albizar juga akan tinggal di sana. “Ini aku harus senang, apa nangis kejer? Ketika seorang laki-laki perhatian ke kita, biasanya dibarengi dengan harapan agar kita memberi mereka imbalan, kan?” pikir Kia seyakin itu. Ia amat sangat yakin ada maksud lain kenapa Albizar sampai membawanya tinggal bersamanya. “Kita akan berbagi apartemen, tapi jangan khawatir karena aku tidak akan menganggu privasimu. Pergi ke kamarmu dan istirahatlah. Aku akan menyiapkan makan malam,” ucap Albizar. “Hei ... tadi dia bilang apa? Dia mau menyiapkan makan malam? Tanpa melakukannya saja, dia sudah sangat keren. Nah ini, ... maksudnya dia mau masak secara langsung?” pikir Kia yang beberapa saat kemudian membuktikannya sendiri. Bahwa seorang Albizar yang masih memakai pakaian kerja, dengan sangat cekatan menjadi raja di dapur. Albizar terlihat sudah sangat terbiasa menyiapkan masakan di dapur. Tampaknya, Albizar akan memasak pasta, hingga Kia segera menegurnya. “Kamu mau masak pasta?” tanya Kia dan Albizar langsung menatapnya bertabur senyuman. “Kamu suka rasa apa? Nanti aku masakin,” ucap Albizar sangat manis, tapi mendadak heran karena Kia berdalih tidak doyan pasta. “Aku lebih suka mi instan apa ramen, ketimbang pasta. Ke pasta aku beneran enggak doyan,” ucap Kia. “Kalau kamu mau masak pasta, ya masak saja. Namun buat kamu saja karena aku memang enggak doyan,” yakinnya yang berangsur melihat-lihat suasana di sana. Dapur tidak begitu luas di sana sangatlah rapi, dihiasi banyak bumbu kering untuk memasak masakan khas masakan orang bule. Kesan mahal nan elegan jelas menghiasi di sana. Membuat Kia yakin, bahwa sebenarnya, Albizar memang orang kaya raya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD