12. Semuanya Benar-Benar Dimulai

1113 Words
Kia tahu, orang yang pantas mendapatkan azab dari adanya Kia di dunia ini merupakan kedua orang tuanya. Karena andai kedua orang tuanya tak melakukan hubungan terlarang, tentu Kia tidak akan menjadi hasilnya. Namun ketimbang kedua orang tuanya, Fero menjadi orang yang bagi Kia sangat pantas mendapatkan azab dari segala azab di dunia ini. Sebab cara Fero yang kasar dan terus saja menjualnya, merupakan kejahatan nyata yang sudah seharusnya mendapatkan hukuman fatal. “Aku tidak tahu, apakah ini bakti, atau malah cari mati. Menjual diri sebagai bakti bagi papa maupun usaha keluarga yang sedang sekarat? Kenapa bukan kak Fera saja? Bukankah ketimbang aku, kak Fera jauh lebih banyak menikmati harta keluarga? Ah sudahlah. Setelah ini cukup lakukan serangan balik saja. Siapa pun pria yang membeliku nanti, minimal dia wajib membantuku balas dendam ke kak Fero. Kak Fero beneran keterlaluan. Padahal istrinya sedang hamil besar, enggak takut apa dia, kalau ulahnya ini bikin istri dan anaknya dapat azab? Namun harusnya, ... jangan orang lain. Harusnya yang dapat azab tetap kak Fero secara langsung. Kak Fero saja enggak setia, enggak adil kalau istri dan anaknya sampai merasakan azab perbuatannya!” batin Kia. Kia sudah dikawal oleh empat orang pria sekaligus. Kia yang tampil cantik, memakai mantel panjang nyaris semata kaki. Namun andai mantel itu dibuka, sudah dipastikan penampilan Kia tak beda dari wanita mu rahan pada kebanyakan. Karena jangankan pakaian yang bisa dipastikan serba minim sekaligus transparan. Rias yang menghiasi penampilan Kia malam ini saja, amat sangat menor. Kini, Kia masih berjalan kaki. Di depannya ada dua pria sangar, begitupun di belakangnya. Mereka sudah memasuki hotel bintang lima tempat pembeli Kia menunggu. Terlepas dari semuanya, Tia belum tahu sosok yang membelinya. Apakah dia seorang pria? Muda, tua, belum menikah, atau sudah punya cucu? Bahkan fatalnya malah waria atau bahkan wanita terlalu normal yang mendadak kebelet bersentuhan dengannya. “Teruntuk papa ... hebat banget kamu ya, Pa. Hobi bercocok tanam, dan sengaja menjadikan hasilnya sebagai saham masa depan. Agar kamu bisa memanfaatkannya, dan salah satu caranya menjualnya seperti yang aku rasakan,” batin Kia. Kia sungguh ingin menangis, ia sangat marah dengan apa yang ia rasakan. Namun Kia sadar, menangis apalagi marah tak ada gunanya. Termasuk andai dirinya melarikan diri atau malah bunuh diri. Dirinya terlalu berharga untuk semua luka itu. “Nasi sudah telanjur menjadi bubur. Setidaknya, setelah ini aku akan langsung membuat pembeliku memanjakan aku. Membuat kak Fero celaka, menjadi hal yang akan langsung aku minta. Iya, bukan orang-orang kak Fero yang harus mendapatkan azab nyata karena kak Fero saja tidak setia. Aku pastikan, kak Fero celaka! Istri dan anaknya berhak bahagia dengan laki-laki yang lebih layak,” batin Kia. Ia sudah ada di dalam lift. Suasana di hotel yang kelewat sepi, sebenarnya membuat nyali seorang Kia menciut. Namun sekali lagi, Kia menguatkan diri. Tak ada pilihan yang benar-benar lebih baik atau setidaknya manusiawi. Yang Kia bisa hanyalah mengubah takdirnya sendiri. Kamar nomor 88 menjadi pemberhentian pria yang memimpin langkah Kia. Detik itu juga Kia merinding seiring pintu yang diketuk oleh salah satu dari pria yang mengantarnya. Jantung Kia berdetak sangat cepat sekaligus keras. Seolah pemompa jantung tersebut sudah rusak dan nyaris copot. “Bismillah ... andai di balik pintu kamar ini merupakan pria kejam, ... lunakan lah hatinya ya Allah ...,” batin Kia yang refleks menunduk sekaligus menahan napas. Ikatan tali di kedua tangannya belum dilepas karena ditakutkan, ia kabur lagi. Seseorang akhirnya membukakan pintu seiring suasana dingin yang seketika menyeruak dari dalam kamar hotel no 88 itu. Ac di dalam kamar disetel dengan keadaan sangat dingin hingga Kia langsung teringat sosok Albizar. Karena meski baru satu malam tinggal di apartemen sama, Kia langsung tahu. Bahwa seorang Albizar wajib berada di suasana yang dingin. Apalagi jika sedang tidur. Karena jika tidak, Albizar tidak bisa tidur dan berakhir kepanasan. “Ah bos Albizar ... sudah bikin aku meleot, tapi kamu suami orang. Malahan istrimu sedang hamil anak kedua. Hm ... kamu dan kak Fero sama saja!” batin Kia masih terngiang-ngiang sosok Albizar yang sempat meratukannya. Ikatan tali di kedua tangan Kia yang ada di depan perut, sudah langsung dilepas. Kenyataan tersebut membuat Kia waswas. Terlebih sudah bisa dipastikan, semuanya telah dimulai. Kia akan bertemu pembelinya, dan mau tidak mau, ia harus tunduk. Meski Kia juga sungguh tidak menyangka, jika sosok yang ada di balik pintu justru pak Hamka. “Hah ...? Pak Hamka? Dia berani membayar mahal untuk membeliku? Astaga ... memangnya nih orang enggak punya kebutuhan lain? Atau memang di balik sifat tenangnya, dia sudah terbiasa jajan? Terus kalau gini keadaannya, gimana aku bisa balas dendam ke kak Fero?” batin Kia merasa pengorbanannya jual diri sia-sia. Karena dengan kata lain, dirinya tidak memiliki power untuk balas dendam ke Fero melalui pak Hamka. Terlepas dari semuanya, Kia masih sulit percaya jika yang membeli dirinya pak Hamka, sopir Albizar dan kiranya sudah berusia di pertengahan lima puluh tahun. Pak Hamka berangsur lewat di depan Kia. Hingga Kia yang belum memiliki nyali untuk berinteraksi apalagi disentuh pria itu, buru-buru melipir. Kia nyaris terjatuh dalam melakukannya. Karena Kia yang buru-buru, tersandung kakinya sendiri yang memang memakai heels terbilang tinggi. “Ya Allah ... makin lama jantungku berasa beneran ru sak. Pegel banget rasanya. Namun sebelum menyentuhku, aku harus membuat pak Hamka menikahi aku. Aku enggak mau menjalani hubungan zin a, meski alasan pak Hamka membeli aku, bukan untuk urusan atau setidaknya niat yang istimewa,” batin Kia benar-benar nekat. “Innalilahi, aku belum siap!” panik Kia ketika salah satu dari pria yang mengantarnya, berusaha membuka mantel panjang berwarna hitam yang ia pakai. Mantel yang sengaja ia gunakan untuk menutupi tubuhnya setelah ia diwajibkan tampil seksi. Untungnya, pak Hamka buru-buru menghalangi. Pak Hamka tak mengizinkan pria tersebut melepas jas Kia. Tak lama kemudian, Kia menyandar lemas pada dinding yang keberadaannya tidak begitu jauh dari pintu. Pak Hamka sudah menggiring empat pria yang mengantarnya, pergi dari kamar no. 88 Kia berada. “Ternyata aku tidak seberani itu. Aku tetap wanita biasa yang akan langsung ketakutan jika didekati laki-laki yang jelas akan macam-macam kepadaku. Namun apa pun yang terjadi, aku wajib strong. Aku enggak boleh kelihatan lemah apalagi takut, di depan orang-orang yang sengaja menindasku," batin Kia lagi-lagi menyemangati dirinya sendiri. Kia masih menghela napas pelan beberapa kali ketika dari belakangnya, terdengar ada yang berdeham. Suaranya khas pria dan Kia rasa tidak asing. Ditambah lagi dengan aroma parfum maskulin yang tercium makin kuat seiring langkah dari belakang terdengar makin dekat. “Hah ...?!” batin Kia. Kewarasannya sudah langsung tidak baik-baik saja. Apalagi ketika ketakutannya terbukti. Bahwa yang ada di belakang sana Albizar. Dunia seorang Kia seolah langsung berhenti berputar hanya karena di belakang sana, Albizar yang penampilannya berantakan, memegang segelas wine sambil meliriknya tajam, penuh kebencian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD