WACANA PINDAH KE JOGJA

1141 Words
“Kenapa Mama dan Mas Anto ke sana?” tanya Listy saat makan malam Widuri cerita pada Sutikno bagaimana kondisi Seruni di rumah sakit. “Tadi Mama dapat info dari Irhan katanya Seruni ada di rumah sakit. Lalu Mama bilang Papa, Mama akan ke sana. Walau bagaimanapun Papa adalah imamnya Mama. Jadi Mama izin dulu dan Papa kasih izin ya sudah Mama berangkat sama Mas Anto.” “Mama sengaja nggak bilang kamu karena yakin kamu nggak akan mau datang ke sana. Dipaksa seperti apa pun kamu nggak akan mau karena yakin di rumah sakit akan ketemu Galih. Dan memang Mama juga ketemu Galih. Benar dia masih pakai gibs kakinya dan dibantu kruk jalannya.” “Mama ditemani oleh Irhan dan cuma sekedar memberitahu ini loh kami perhatian. Sudah gitu saja. Mama juga enggak sempat bicara sama Seruni karena dia sudah di bawah pengaruh obat tidur.” “Irhan bilang Seruni depresi, kalau fakta dari data dokter, Irhan bilang Seruni itu depresi cuma kalau secara medis memang dia rendah tensi juga rendah Hb-nya.” “Yang pasti dia di bawah pengawasan dokter jiwa,” ucap Widuri sambal mengambilkan makan untuk suaminya. Sehebat apa pun dia diluar sana, dalam rumah dia adalah ibu rumah tangga. Itu selalu dia utamakan. Kerja adalah kegiatan sekundernya. Wahan dia mengapresiasi dan menyalurkan kemampuannya, bukan untuk cari uanga apalagi untuk melupakan tugas utama sebagai istri dan ibu anak-anaknya. “Pa, kayaknya kok aku males ya urus butikku aku pengen pindah,” Listy memang lebih dekat dengan papanya, walau sedang full kumpul, tapi yang dia ajak bicara papanya. “Kenapa?” tanya Sutikno pada kekasih kecilnya dengan lembut. “Kalau aku pindah ke Jogja boleh nggak Pa?” Listy membuka wacana dia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Sejak lahir hingga saat ini dia tinggal di Jakarta, walau akhirnya sekarang domisili mereka masuk Tangerang Banten. “Boleh, sangat boleh, kenapa nggak boleh?” Jawab Sutikno. “Jangan karena kamu anak bungsu kami lalu kamu nggak boleh ke sana. Papa malah senang kamu tinggal sama eyangmu dan membuat eyang ada teman di masa tuanya. Papa senang, nggak marah kok,” Sutikno tak pernah membatasi anak-anaknya. Mereka yang menentukan mau sekolah atau kuliah di mana. Bila saja mau, anak-anak dipersilakan kuliah di luar kota mau pun diluar negeri, tapi anak-anaknya tak mau. “Planning Papa tak lama juga mungkin bisa saja pindah ke sana. Begitu papa pensiun memang dulu Papa sama Mama niat pindah ke Jogja menemani eyang. Tapi karena mama punya kantor di sini mungkin itu yang akan sulit,” ucap Sutikno, ingat planning masa muda dia dan istrinya, saat mereka berdua kesepian Ketika Listy mulai SMP dan mereka ditinggal kedua anaknya kegiatan seharian. Saat itulah mereka ingin berbakti pada orang tua yang telah mereka tinggalkan di Jogja. Orang tua Widuri sudah tak ada, papanya meninggal tak lama setelah Anto lahir dan mamanya meninggal saat Listy TK. “Kalau memang Papa sama Mama mau pindah ke sana, kantor mama bisa dipegang Mas Anto kan?” usul Listy. “Kalau Papa sama Mama pindah ke sana, aku mendingan ikut pindah. Kantor pindahin saja ke Jogja. Why not? Bisa kok pindah domisili kantor.” “Bangunan kantor sini buang, karyawan kita kasih tahu jauh-jauh hari bahwa kantor akan pindah operasional di Jogja. Kalau mau mundur sampai saat pindah silakan, kita kasih konpensasi sekian, taapi bila mulai pindah sejak pengumuman diberikan konpensasinya sekian yang pastinya lebih rendah. Jadi yang ikut sampai titik terakhir yang diberi konpensasi paling besar.” “Kalau mau mendaftar di Jogja mungkin punya tempat tinggal di sana silakan. Kalau nggak ya sudah, nggak jadi masalah asal kita kasih tahu karyawan jauh-jauh hari.” “Tentu mereka nggak akan ribut dan kita juga beritahu kita bukan memecat mereka, kita mundur karena pindah domisili bukan bangkrut.” “Wah asyyyik banget tuh, butik aku jadi pengen pindahin ke sana juga,” kata Listy. “Papa punya dua tanah di sana memang itu sudah kami persiapkan sejak kalian masih kecil. Karena sekarang sudah ngomong soal menetap di Jogja, walau pembicaraan ini tidak direncanakan, tapi sebaiknya sekarang saja Papa beritahu.” “Papa dan mama memberikan itu buat kalian masing-masing satu bidang tanah luasnya sama dan Papa yakin itu bisa buat usahamu entah untuk kantor Anto atau untuk apa pun pokoknya luasnya sama atau kalian jual lagi juga terserah.” “Rasanya memang sudah waktunya dua tanah itu balik nama pada kalian,” ucap Sutikno. “Daerah mana Pa? Lokasinya seperti apa?” tanya Listy. Sutikno lalu menjabarkan satu daerah ada di area yang kontur tanahnya berjenjang tidak datar dan yang satunya datar keduanya sama-sama bagus tergantung bagaimana pemilik membangun lahan itu. “Kayaknya aku mau deh yang luas eh yang kontur tanahnya berjenjang. aku bisa bikin cafe dengan gradasi setiap saung berbeda keren tuh. Kalau untuk hunian itu agak sulit mendesignya,” kata Anto. “Wah jadi aku dapat yang kontur landai?” Listy tak mau protes atau merebut pilihan kakaknya, kalau dia ambil lahan itu dia juga belum tau mau diolah seperti apa lokasi yang kemiringannya tak beraturan. Jadi lebih aman dia dapat sisa pilihan Anto saja. “Kalau kamu mau yang itu ya enggak apa-apa,” jawab Anto. Mereka memang tak pernah rebut dalam memperebutkan sesuatu. “Enggak Mas, aku yang landau saja. Aku juga mau bikin cafe ah,” kata Listy. “Nanti di depan cafe aku bikin butik aku. Jadi aku satu kantor, ya butik, ya café, ya tempat nulis. Aku nggak kerja di tiga tempat walau usahanya tiga bidang berbeda,” kata Listy dengan mata berbinar. “Ya sudah mulai besok Papa urus pengalihan nama buat kalian dan kalian mungkin bisa urus surat-surat izin usahanya di Jogja sana.” “Tapi bener kan boleh aku pindah ke sana?” tanya Listy. “Nggak apa-apa, pindah saja kalau memang itu untuk kebaikanmu nggak jadi masalah kok. Kalau kamu yakin kamu punya pangsa pasar untuk butikmu di sana,” Widuri memberi dukungan penuh untuk putri bungsunya. Sebagai sesame perempuan Widuri yakin Jakarta dan sekitarnya membuat Listy terluka karena banyak lintasan rekaman kebersamaannya dengan Galih. “Aku yakin bisa Ma. Tenang saja aku juga nanti akan giring pembacaku ke butik dan cafe aku. Aku akan promo secara enggak langsung, aku akan bikin nama butikku di n****+-novelku sehingga orang akan penasaran dan mencari tempat cafe-ku atau butik aku secara real.” “Sip lah, oke, dan aku akan nyontek konsepmu. Mas juga akan bikin kantor di area café milik Mas. Jadi Mas akan satu lokasi juga. malah lebih konsen karena enggak besa tempat,” kata Anto. “Mas tolong bikinin ya designya. Nanti aku kasih tahu garis besar yang akau inginkan. Pokoknya cafe aku itu cafe buat keluarga Mas. Jadi nanti ada area bermain untuk anak-anak, ada mini zoo mungkin, bukan cafe buat remaja atau orang yang pacaran saja. Aku mau bikin konsep untuk keluarga cafenya,” ucap Listy dengan tekad mantab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD