…
Dia membelalakan mata ketika pria itu semakin bersikap kasar. Tangan kirinya refleks membuka pintu mobil yang masih terkunci.
“Apa ada sesuatu, Tuan?” tanya Clave menoleh ke kanan, melirik supir yang juga tampak bingung.
Gaza diam saja, menatap ke arah sana. Dia tidak mungkin turun dari mobil ini lalu membantu wanita itu.
Karena sepertinya wanita yang ia kira mungkin pekerja Althafiance, mungkin wanita itu mengenal pria yang mengejarnya. Mereka tampak mengenal satu sama lain walau tengah bertengkar disana.
Tapi entah kenapa dia sangat tidak suka dengan sikap kasar dari pria itu.
“Coba kalian lihat ke arah sana,” ujarnya memberitahu dan mulai bersikap normal.
Clave dan supir itu melihat ke arah yang dituju Tuan Besar mereka. Entah yang mana yang dimaksud oleh pria dingin ini. Tapi sepertinya mereka tahu arah yang dimaksud.
“Sepasang kekasih yang sedang bertengkar disana, Tuan Abraham?” tanya Clave masih memperhatikan wanita itu. Wajah wanita itu tidak asing di penglihatannya.
Gaza terus menatap ke arah sana, memastikan jika pria itu tidak memukulnya.
“Ya. Suruh seseorang untuk mencegah pria itu. Tanya apa masalahnya dan lindungi dia,” ujarnya memberi perintah.
“Baik, Tuan.”
Clave dan supir pribadi di sebelahnya saling melirik satu sama lain. Hanya dengan isyarat mata saja, mereka sudah paham kode satu sama lain.
Supir itu mengangguk kecil sambil melepas sabuk pengamannya. Dia segera membuka setelan formal hitam putihnya dan menyisakan kaus tipis hitam di tubuhnya yang tegap dan besar. Tidak lupa ia melepas earphone yang menempel di telinganya, lalu mengambil ponsel miliknya disana. Dia segera keluar dari dalam mobil sebab lampu masih berwarna merah.
Sedangkan Clave, dia mengambil alih stir dan melihat lampu sudah berwarna hijau. Dia segera melajukan kendaraan yang ia bawa.
Seiring dengan mobil yang melaju, Gaza melirik sekilas ke arah pria yang masih memaksa seorang wanita disana. Entahlah, dia benar-benar tidak menyukai pemandangan itu.
Namun, dia bisa sedikit lega sebab supirnya akan menuntaskan masalah itu. Dan dia tidak akan merasa bersalah lagi karena sudah membantunya lewat tangan supir pribadinya.
…
“Sssh! Ada apa ini, b******k! Jangan ikut campur!”
Farhat menatap tajam pria itu.
“Kau sangat kasar sekali, Tuan.” Pria itu menatapnya lekat dan melindungi Syefa dengan tubuhnya yang besar, setinggi pria yang hendak menarik kembali lengan Syefa.
“Minggir kau! Aku ada perlu dengannya! Jangan ikut campur!” ketus Farhat merasa tidak suka.
Orang-orang di sekeliling mereka sudah menatap heran. Namun, tidak ada satupun yang berani membuka suara atau melerai mereka.
Sedangkan Syefa masih ketakutan dan bersembunyi di belakang pria yang tidak ia kenal ini.
“Tolong aku, Tuan. Dia memaksaku. Aku tidak mengenalnya!” ujar Syefa seraya meminta tolong, menatap tajam Farhat.
Ucapan Syefa membuat Farhat mengeraskan rahangnya.
“Apa kau bilang?! Kau tidak mengenalku?! Apa kau lupa kalau aku ini suamimu?!” ujarnya bernada sangat pelan dan ketus.
Glek!
Syefa semakin ketakutan. Entah kenapa dia merasa berani dengan adanya pria ini. Seharusnya ia tidak berbicara seperti itu kepada Farhat. Karena ia tidak tahu bagaimana dengan nasibnya untuk ke depannya jika bertemu dengan Farhat lagi.
“Pergi dan jangan ganggu Nyonya ini atau aku akan lapor polisi!” ketusnya menatap tajam pria itu.
Farhat mundur beberapa langkah, membalas tatapan tajam pria itu.
“Dengar, Syefa! Aku bersumpah tidak berniat menyelakaimu! Aku hanya ingin berbicara sebentar saja. Atau kita ke kafe?? Kau mau??” tanya Farhat mencoba memberi tawaran untuk wanita yang ia anggap masih berstatus istri sirinya.
Pria itu sedikit menghindar dan menatap Syefa yang masih tampak takut.
“Nyonya? Apa kau benar-benar mengenalnya?” tanyanya.
Glek!
Syefa tidak tahu mau menjawab apa. Sebab Farhat memang sudah bukan suaminya lagi. Mereka sudah bisa dikatakan berpisah resmi karena Farhat tidak pernah memberinya nafkah lahiriah sejak mereka menikah. Bahkan tidak pernah memberinya nafkah bathiniah lagi sejak lebih dari 3 bulan terakhir.
Tapi ia juga tidak mau menyebut kalau ia mengenal Farhat. Sebab pria ini bisa saja lepas tangan dan tidak menolongnya.
Syefa melihat ke arah sekitar mereka yang ramai. Orang-orang terus menatap mereka, dan ia menjadi risih.
“Pergilah, Farhat! Aku sudah katakan jangan menggangguku lagi!” ketus Syefa beralih melihat pria yang masih berada disana.
“Tuan? Tolong usir dia. Dia benar-benar mengancamku! Aku merasa tidak nyaman!” sambungnya lagi sambil ketakutan.
Dia tidak berani menatap Farhat yang sepertinya sudah kesal. Ia tahu karakter pria itu. Sungguh, Syefa sangat trauma dipukul dan disiksa olehnya.
Pria yang merupakan orang suruhan dari pria bernama Gaza Abisatria Althaf, dia pikir harus mengambil sikap. Sebab ia tidak punya banyak waktu bila keadaan seperti ini terus menerus.
“Baiklah, Tuan. Nyonya ini tidak ingin bersamamu. Lebih baik kau pergi sebelum sesuatu yang tidak pantas terjadi disini,” ujarnya sedikit memberi ancaman.
Farhat mengeraskan rahangnya, menggepal kedua tangannya. Dia melirik pria itu lalu menatap tajam ke arah Syefa.
Tidak mungkin jika dia memaksa Syefa disaat seperti ini. Apalagi ada pria yang tidak dikenal, tiba-tiba menolong wanita yang pernah ia nikahi itu.
Di tempat umum seperti ini, Farhat yakin dia tidak akan bisa membujuk Syefa lebih banyak. Lebih baik jika ia segera pergi.
“Baiklah, Syefa. Maaf sudah menggangggu waktumu,” ujarnya lalu melangkahkan kakinya berjalan menjauhi mereka.
Syefa terus memperhatikan Farhat yang benar-benar menjauhinya. Sampai bayangan Farhat tidak tampak lagi, dia langsung mengawasi sekitarnya, memastikan jika tidak ada orang lain yang mungkin saja suruhan dari Farhat.
Yah, dia setakut ini bila berurusan dengan Farhat. Itu sebabnya ia ingin mengurus semuanya sesegera mungkin di pengadilan.
Walau mereka hanya menikah siri dan bisa berpisah kapanpun tanpa catatan resmi, tapi Syefa benar-benar tidak tenang bila Farhat terus datang mengganggunya dengan alasan kalau dia masih istri sirinya.
“Nyonya? Apa ada yang lain, yang mengganggumu?” tanya pria itu mulai menjaga jarak dari Syefa.
Dia langsung menatap pria yang lebih tinggi darinya. Kepalanya menggeleng pelan.
“Tidak, Tuan. Ah … terima kasih sudah menolong saya. Sekali lagi, terima kasih banyak. Saya tidak tahu harus membalasnya dengan cara apa,” ujarnya sambil tersenyum sambil melirik ke arah lain.
Pria itu mengangguk keccil.
“Sama-sama, Nyonya.”
Dia tidak tahu harus apa setelah ini. Jika saja ia meninggalkan wanita ini begitu saja, tidak menutup kemungkinan pria itu akan datang dan mengejar wanita ini lagi. Kalau itu benar terjadi, entah laporan apa yang harus ia katakan kepada Tuan Besarnya nanti.
Pria dingin itu tidak akan mau menerima laporan gantung.
“Nyonya?” sapanya lagi saat melihat wanita itu tersenyum dan hendak melanjutkan langkahnya.
“Ah, ya??” ujar Syefa menatapnya serius sambil memantau keadaan sekitarnya.
Pria itu melirik ke arah lain, lalu menatap Syefa lagi.
“Izinkan saya untuk mengantar Anda, Nyonya. Saya yakin pria itu bisa saja mengikuti Anda.”
Syefa tertegun mendengar ucapan pria baik ini. Tapi, dia tidak mau berhutang budi kepada pria asing yang tidak ia kenal. Apalagi perbuatan baik pria ini barusan, belum tentu ia bisa membalasnya.
“Ah … tidak, terima kasih. Saya bisa pulang sendiri. Lagi pula, jalanan di sekitar apartemen saya termasuk ramai dan tidak sepi,” ujarnya sambil tersenyum dan mengangguk kecil.
Pria itu hanya diam saja dan tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Syefa, dia tidak tahu harus melakukan apa lagi disini. Sebab yang ada di pikirannya adalah pulang.
“Eumh … saya permisi, Tuan. Sekali lagi terima kasih sudah membantu saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu,” ujar Syefa kembali mengangguk kecil pada pria itu. Tidak peduli jika ucapannya hanya dibalas dengan senyuman saja.
Syefa pergi dari sana dan melanjutkan langkah kakinya berbalik arah. Dia mendekati parkiran khusus taksi yang sedang menunggu para penumpang disana.
Tanpa berpikir dengan tawar menawar bayaran taksi, Syefa langsung menyewa salah satu taksi disana. Setelah ia memasukan rapi semua barang belanjaan serta strolinya di dalam taksi, dia menyuruh supir untuk segera melajukan mobil ke arah yang ia pinta.
Sedangkan pria itu, dia masih diam memperhatikan gerak-gerik Syefa dari kejauhan. Namun, ia sudah melihat sebuah mobil yang menunggu disana. Mobil itu adalah jemputannya.
Tentu saja ia tahu dan sangat mengenal mobil karakter Tuan Besarnya, Gaza Abisatria Althaf. Setelah melihat taksi itu pergi dari sana, dia segera berlari menuju mobil hitam disana.
Dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh supir satu sngkatan dengannya agar segera melaju dan mengejar taksi yang ia tunjuk.
***
Mansion Abraham Althaf, New York, USA.,
Halaman belakang mansion.,
Sore hari.,
Dia turun bersama ketiga gadis cantik dan salah satunya sangat ceria sekali. Tentu saja ia memaklumi itu sebab ketiga gadis itu telah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Mommy?? Grandma??”
Azathea dan Bening hanya menggelengkan kepala melihat sikap Embun yang benar-benar manja. Sedangkan mereka berdua memilih untuk berjalan santai sambil melihat beberapa orang pelayan mengambil semua barang belanjaan mereka dari dalam mobil pribadi milik sang Abang, Gaza.
Beberapa orang yang ada disana melihat ke arah mereka.
“Sayang? Kalian beli apa saja, cucu kesayangan Grandma.” Anta tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya, memberi isyarat kepada cucunya, Embun agar memeluknya terlebih dulu.
Ayra dan Chandly hanya melirik satu sama lain. Begitulah Mama mertua mereka. Sudah menjadi hal biasa bagi Ayra dan Chandly ketika putra dan putri mereka lebih dikuasai oleh mertua mereka, bahkan sejak kecil.
Embun berlari mendekati sang Grandma, Anta yang duduk di sofa panjang disana, dia lalu memeluknya.
“Tidak, Grandma. Kami baru saja mengambil pesanan kami langsung di tokonya sekalian mencobanya saja. Kami juga sudah menyiapkan hadiah khusus sebagai hadiah pernikahan Mas Ara dan Kak Eshal nanti,” jelasnya sambil tersenyum.
Dyrga dan Dyrta tersenyum melihat gadis kecil yang sudah tumbuh dewasa itu ceria seperti biasanya. Berbeda saat melihat pria bernama Gaza yang berjalan di belakang mereka.
Dia tampak lelah sekali, terlihat dari pakaiannya yang sudah tidak rapi lagi. Yah, mungkin itu sangat wajar sebab hari juga sudah sore.
“Kenapa mereka belum kembali, Mas?” tanya Zu melirik sang cucu yang sudah berwajah kusut.
Gaza berjalan mendakti sofa tunggal dan duduk disana. Sembari membuka kancing kemeja bagian pergelangan tangan, dia melirik ke arah sang Grandpa, Zu.
“Mas Aka sedang ada jadwal tambahan. Lalu Gamal masih berada di lapangan, Grandpa. Ada beberapa mobil yang akan dirilis bulan ini. Jadi mereka lumayan sibuk,” jawabnya memberitahu.
Dyrta mengangguk paham. Yah, sebab ia tahu kalau beberapa mobil akan segera diluncurkan oleh perusahaan mereka.
“Apa kalian sudah diberi informasi oleh Mas Ara?” tanya Dyrta seraya memberi isyarat.
Gaza melirik sang Daddy sekilas.
“Soal persiapan pernikahan di Dubai, Dad?” tanyanya balik.
Terlihat mereka semua mengangguk kecil. K ecuali ketiga gadis itu. Azathea dan Bening masih mengecek sebagian barang belanjaan mereka yang masih berada disana. Lalu sebagian lagi sudah dibawa masuk dan diletakan di kamar mereka.
Sedangkan Embun, dia masih berbicara kecil dengan sang Grandma, Anta. Tiada hal yang paling membuatnya semangat selain menceritakan segala kejadian lucu yang terjadi selama satu harian ia berada di kampus. Yah, dia memang hobi bercerita.
Gaza mengangguk kecil seakan paham dengan isyarat mereka yang ingin tahu sesuatu.
“Iya … Mas Ara sudah memberitahu itu pada kami. Dan yang lain sudah membantunya,” jawab Gaza memberitahu kalau semua persiapan pernikahan mengunduh mantu di Dubai sudah dibereskan oleh para sepupunya yang bermarga Alecjandro.
Ketika suara Embun terdengar lebih nyaring, mereka langsung melirik ke arah dua orang yang sedang bercengkerama. Saat Gaza masih menikmati posisinya yang lumayan nyaman, ponsel yang ia pegang berdering.
Dia segera beranjak dari duduknya.
“Mau kemana, Mas?” tanya wanita itu melihat putranya yang terburu-buru. Dia pikir pria itu hendak masuk ke dalam mansion.
Gaza melirik sang Mommy sekilas.
“Sebentar, Mom. Ada panggilan penting,” ujarnya dengan ekspresi datar.
Dia melangkahkan kakinya menuju halaman samping, menjauh dari mereka. Dia segera menjawab panggilan telepon dari supir pribadinya.
…
“Hallo …” sapa Gaza mulai masuk ke dalam mansion lewat pintu yang terbuka disana.
Dia sedikit melirik ke belakang, dan memastikan jika tidak ada dari mereka yang mengikuti dan mencurigai sikapnya. Yah, dia hanya tidak ingin jika suaranya terdengar oleh anggota keluarganya yang lain.
“Tuan, dia sudah sampai di apartemennya. Seseorang sudah memastikan dia aman karena dia sudah masuk ke dalam.”
Gaza terdiam sesaat. Rasanya tidak pantas bila ia ingin tahu lebih lanjut mengenai kejadian tadi siang.
Namun, entah kenapa dia sangat penasaran sekali. Bukan persoalan apakah benar wanita itu adalah pekerja Althafiance atau tidak, tetapi karena dia sempat melihat sikap kasar yang tidak terbiasa di pandangannya.
Perasaan bersalah teramat besar sebab ia hanya bisa diam dan terpaku melihat seorang wanita tengah dilecehkan.
“Lalu pria itu?”
“Pria itu sempat mengatakan kalau dia adalah suaminya, Tuan. Tapi wanita itu menyangkalnya seolah tidak mengenali pria itu dan menganggapnya orang asing.”
Kening Gaza berkerut. Sebentar, jadi wanita itu sudah bersuami. Kalau dia tidak salah ingat, saat itu Clave mengatakan jika wanita yang mendapatkan surat izin sakit itu masih single dan baru bekerja kurang dari 4 tahun.
Apakah ingatannya salah?
“Wanita itu tidak terluka?” tanya Gaza seiring dengan langkah kakinya berjalan menuju ruangan di sebelah sana. Sebab ia berniat untuk melepas lelahnya di kamar saja.
“Tidak, Tuan. Dia baik-baik saja. Tapi sepertinya pria itu memang sedikit memaksa. Saya tidak tahu apakah pria itu berniat baik atau jahat. Dan sepertinya, dia bisa saja mengganggunya lagi di kemudian hari.”
Gaza terdiam, langkah kakinya melambat. Kenapa dia jadi kepikiran seperti ini. Seharusnya itu bukan urusannya.
Tidak, dia tidak pernah ikut campur dengan urusan orang lain. Bahkan sesama saudaranya saja, mereka saling menjaga privasi.
Lebih baik jika ia memutuskan pembicaraan ini, pikirnya.
“Baiklah, terima kasih.”
“Sama-sama, Tuan.”
Tutt… Tutt… Tutt…
Dia memutuskan sambungan telepon, dan kembali melangkah lebar menuju ruangan sebelah sana. Dia memang sangat lelah sekali.
Mungkin berendam air hangat bisa membuat tubuhnya menjadi semakin rileks dan tidak mudah untuk memikirkan hal-hal yang bukan seharusnya. Yah, dia yakin otaknya sedikit lelah hingga ia mudah terpengaruh dengan hal-hal lain.
Seiring dengan langkah kakinya menuju undakan tangga, dia mengotak-atik ponselnya dan menghubungi seseorang. Hanya berselang beberapa detik saja, panggilannya langsung dijawab.
“…”
“Cari tahu identitas pria yang bersikap kasar tadi siang. Larang dia untuk masuk ke dalam apartemen yang ditempati wanita itu.”
“…”
“Ya.”
“…”
“Terima kasih, Clave. Maaf mengganggu waktu istirahatmu.”
“…”
“Baiklah. Terima kasih.”
“…”
Tutt… Tutt… Tutt…
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)