Chapt 7. Worries

2335 Words
..**..             Dia sudah diberi izin cuti bekerja selama 7 hari ke depan. Sebenarnya, Syefa sudah menolak halus dan mengatakan kalau ia baik-baik saja.             Namun, tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah atasannya. Mungkin tidak masalah jika dia menerima surat cuti sakit itu selagi gajinya tidak terpotong dan uang makannya juga tetap utuh.             Sebagian orang mungkin sangat bahagia bila diperbolehkan untuk cuti bekerja, bahkan tidak jarang mereka berpura-pura sakit agar bisa mendapatkan izin cuti bekerja secara langsung. Tapi tidak untuk Syefa.             Dia tidak betah berada di dalam apartemennya seharian, karena itu bisa membuatnya bosan berkepanjangan. Mungkin lebih tepatnya, bisa membuatnya sedih tak berhujung.             Lebih baik baginya menghabiskan waktu karena bekerja dan membuat pikirannya sesibuk mungkin. Sebab itu bisa menetralisir pikiran negatif dan perasaan sedih di hatinya. …             Selama beberapa hari di apartemen, Syefa melakukan banyak hal. Ketika pekerjaan kantornya sudah selesai, ia mencari kesibukan lain.             Entah itu membongkar lemari pakaiannya, lalu menyusunnya kembali. Atau merubah posisi ruang tamu kecilnya.             Yah, Syefa selalu menyibukan pikirannya setiap hari. Atau terkadang dia mengajak teman kerjanya untuk bervideo call agar ia tidak merasa kesepian.             Hari-hari yang ia jalani memang penuh dengan rasa sepi. Pernah ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya.             Tapi saat ia mengingat kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah melawan orang tua, dia tidak mau lagi melakukan kesalahan yang sama hingga membuat Tuhan murka padanya. Yah, Syefa begitu takut jika menambah kesalahan dan beban untuk orang tuanya kelak.             Tiada hal yang bisa membangkitkan semangatnya saat ini selain bayi yang tengah ia kandung. Bahkan ia semakin semangat bekerja karena pikiran positifnya untuk menghidupi hadiah dari Tuhan.             Syefa akan mengelakan semua hal-hal negatif yang belum tentu terjadi di masa depan. Sebab ia percaya kalau Tuhan memiliki rencana indah lain untuknya dengan kehadiran nyawa mungil di rahimnya. ---**--- The Margara Apartment, New York, USA., Kamar., Siang hari.,             Dia baru saja selesai melipat mukenah dan menyusunnya rapi di rak khusus yang ada disana. Kakinya melangkah menuju cermin rias sederhana berbentuk panjang yang selalu menjadi sahabatnya sebelum berangkat bekerja. “Siang ini kita harus ke swalayan, Sayang. Kulkas kita hampir kosong. Jadi Mama harus beli beberapa sayur dan buah. s**u kamu juga hampir habis,” ujarnya seorang diri sambil menyisir rambutnya disana.             Syefa memperhatikan kerapian rambutnya lalu menggulungnya ke atas. Dia mengikat rambutnya dengan pita karet berwarna hitam.             Hanya memakai kemeja berwarna biru muda dengan lengan tiga suku. Lalu celana jeans hitam panjang. Cukup simple untuk seorang Syefa Yasmin yang tidak suka dengan penampilan yang terlalu rumit. “Sudah selesai. Mama pakai bedak sedikit saja,” ujarnya sambil mengambil bedak padat yang biasa ia gunakan sehari-hari. Tidak lupa ia mengoles bibirnya dengan pelembab bibir.             Yah, bila tidak bekerja, Syefa tidak pernah memakai make up tebal. Hanya riasan natural saja yang membuatnya nyaman.             Bahkan jika ia pergi ke taman atau berkumpul dengan temannya pun, Syefa tetap berpenampilan natural. Sebab ia sudah bosan memakai make up. Bagi Syefa, make up hanya diperlukan ketika ia bekerja dan pergi ke suatu acara penting saja. “Sudah selesai. Kita berangkat sekarang, Sayang.”             Dia berjalan menuju gantungan jas yang terletak di belakang pintu kamarnya. Syefa mengambil jas tebal hitam sepanjang lutut, lalu memakainya.             Tidak lupa ia membawa tas kecil berisikan ponsel dan dompet, lalu mengalungkannya di bahu. “Kita akan pergi berbelanja. Kamu baik-baik di dalam perut Mama ya, Sayang.” Syefa mengusap pelan perutnya yang masih rata.             Setelah merasa lengkap dengan semua yang ia bawa, Syefa langsung bergegas keluar dari apartemennya untuk pergi ke swalayan yang ia tuju. *** Dalam perjalanan.,             Mobil mewah hitam itu berhenti sebab lampu disana berwarna merah. Dia melirik ke arah luar sambil menunggu panggilan teleponnya terjawab. “Hallo … Assalamu’alaikum. Kau sudah menjemput mereka?” “Wa’alaikumsalam. Aku masih di jalan. Jalanan begitu macat. Kenapa kalian tidak menyuruh yang lain untuk menjemput mereka dengan helikopter?” “Astaga, Gaza! Kau tahu tiga Princess itu tidak akan mau dengan cara seperti itu! Sudahlah. Katakan pada mereka kalau aku dan Gamal sedang mengadakan rapat penting.” “Bukankah Gamal sedang berada di lapangan?” “Ya. Itu benar.” “Lalu kau, Mas?” “Ayolah, Gaza. Apa kau tidak mau membantuku? Aku ada urusan lain.” “Baiklah, Mas. Entah apa jadinya kalau mereka tahu ternyata kau lebih memilih Caca.” “Diamlah! Aku tidak bertemu dengannya! Aku memang sedang ada urusan lain. Aku bersumpah!”             Panggilan telepon dengan saudaranya, Aiyaz memang sedang berlangsung. Tapi ia masih bisa fokus melihat ke arah aspal berliris putih, dimana matanya menangkap seseorang yang ia kenal sedang menyeberang jalan dengan sangat terburu-buru. Keningnya berkerut. “Baiklah. Aku tutup.” “Jangan katakan yang lain pada mereka!” “Hmm …” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia memutuskan sambungan secara pihak, tapi pandangannya terus menatap ke arah wanita yang berjalan cepat seperti tengah dikejar oleh seseorang. Jari kirinya menekan tombol disana hingga kaca pintu mobil turun ke bawah. “Apa ada sesuatu, Tuan?” tanya pria yang duduk di kursi depan mobil, tepat di samping supir. “Tidak ada, Clave.”             Yah, sekretaris pribadi Gaza tahu jika Tuan Besarnya membuka kaca jendela mobil. Dia pikir kalau Tuan Besarnya itu tengah memperhatikan sesuatu yang aneh di luar sana.             Gaza kembali menutup kaca pintu mobil, sebab ia melihat kejadian yang ia tidak suka disana. ‘Apa dia pekerja Althafiance?’ bathinnya bertanya-tanya.             Yah, dia melihat sosok wanita yang ia kenal, yang waktu lalu tiba-tiba sakit setelah acara rapat selesai. Namun, ada satu hal yang ia tidak suka disana. Seorang pria ternyata mengejarnya dari belakang.             Pria itu tampak bersikap kasar dengan wanita itu. Bahkan ia merampas kasar belanjaan yang wanita itu bawa.             Rahangnya mengeras, dia menarik panjang napasnya. Dia membuang kasar pandangannya ke arah lain.             Sangat disayangkan ia harus melihat sikap kasar seorang pria terhadap seorang wanita, bahkan di depan umum seperti itu. Rasanya pemandangan itu sangat sial baginya. “Haahh … sedikit cepat. Sepertinya mereka sudah menunggu lama,” ujarnya memberi perintah. “Baik, Tuan. Masih lampu merah, Tuan.” Supir itu menjawab lugas.             Gaza memijit sisi kepalanya sambil mengendurkan dasi yang mulai mencekik lehernya. Entah apa yang terjadi padanya. Dia sungguh tidak bisa melihat seorang wanita diperlakukan kasar seperti itu.             Sangat penasaran, dia melirik sekilas ke arah tadi. Dia melihat wanita itu bertengkar hebat. Saat ia memperhatikan dengan baik wajah wanita itu. ‘Apa dia benar karyawan Desain?’ *** Central Market, New York, USA.,             Sudah hampir 2 jam Syefa berada di mall ini. Entah apa saja yang ia beli di swalayan ini, padahal barang di troli yang ia bawa tidak begitu banyak.             Namun, ia memang mengakui sangat selektif membeli sesuatu. Jika ada barang yang berdiskon, maka ia akan mempertimbangkan untuk membeli sesuai kebutuhan.             Barang-barang di troli sudah banyak. Dia tidak mungkin bisa membawa semuanya. “Sepertinya ini saja sudah cukup. Kalau banyak-banyak, Mama takut tidak akan bisa membawa sebanyak ini, Sayang.” Syefa mengajak bicara calon bayinya, dan mengusap pelan perutnya.             Dia terus mendorong troli miliknya berjalan menuju kasir. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berdering.             Syefa langsung mengambil ponselnya dari dalam tas. Saat ia melihat siapa yang menghubunginya. “Siapa ya?” gumamnya bertanya-tanya.             Sebab ada nomor yang tidak dikenal menghubunginya. Syefa tidak berniat untuk menjawab panggilan itu.             Dia masih terus melangkahkan kakinya menuju kasir yang tidak terlalu ramai. Dan lagi-lagi nomor tidak dikenal itu kembali menghubunginya. “Ini siapa sih?”             Syefa sangat penasaran dengan nomor yang tidak dikenal ini. Tapi ia juga tidak berniat untuk menjawabnya.             Kalau memang itu orang yang ia kenal, pasti akan mengirim pesan terlebih dulu padanya. Dan jika saja itu hal penting dari kantor, teman kerjanya pasti akan langsung menghubunginya, pikir Syefa.             Syefa berjalan cepat menuju kasir yang kosong. Dia langsung mendorong troli penuh barang itu, lalu membiarkan kasir menghitung semua barang belanjaannya. “Siapa sih yang nelpon?!”             Dia geram dan akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan yang tidak dikenal itu. “Hallo?” “Syefa, kita perlu bicara!” Deg!             Secara spontan, suara itu membuat degup jantungnya berdegup kencng. ‘Fa-farhat?’ “Hallo? Syefa? Kau masih disana?”             Syefa masih terus membungkam mulutnya, dia langsung memperhatikan sekitarnya seraya was-was. Entah kenapa dia mulai khawatir seandainya saja Farhat berada di sekitarnya. “Syefa! Aku tahu kau masih berada di dalam swalayan! Tunggu aku disana!” Deg!             Keringat jagung mulai bercucuran di kening Syefa. Tanpa berniat membalas ucapan beruntun Farhat, dia langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Tutt… Tutt… Tutt… “Tidak. Dia tidak mungkin tahu keberadaanku!” gumamnya sambil melirik ke arah lain.             Syefa melihat kasir yang masih menghitung semua barang belanjaannya. “Hallo? Bisa sedikit dipercepat? Taksi sudah menungguku.” “Baik. Beberapa menit lagi, Nyonya.” “Terima kasih.”             Syefa tersenyum ramah pada kasir wanita itu. Dia membereskan semua barang belanjaannya. Terdapat 2 kantung belanja berukuran besar.             Tidak masalah baginya, dia masih sanggup membawanya seorang diri dengan troli pribadinya yang berada di luar swalayan ini. Setelah ini dia harus segera menjauh dari swayalan ini dan mencari taksi secepatnya.             Dia tidak boleh bertemu dengan Farhat. Tidak boleh. Dia tidak mau Farhat menyakiti dan bermain fisik padanya. Sungguh, dia tidak mau sampai terjadi sesuatu dengan janin yang tengah ia kandung.             Setelah beberapa menit berlalu, kasir menyebutkan total belanjaannya. Syefa segera memberi satu kartu pribadinya ke arah kasir.             Dia masih menunggu disana, lalu entah kenapa dia merasa perutnya sedikit nyeri. ‘Sayang, tolong Mama. Jangan sakit ya. Mama janji akan menjauh dari Ayah kamu. Bersabarlah, sebentar lagi kita balik ke apartemen,’ bathin Syefa sembari mengusap pelan perut ratanya.             Setelah menyelesaikan transaksinya dengan kasir. Syefa langsung membawa dua tas itu dengan sekuat tenaganya.             Kakinya melangkah lebar menuju pintu utama swalayan. Namun, seorang pekerja kebersihan melihatnya sedikit keberatan. “Biar saya bantu, Nyonya.” “Ahh … iya, terima kasih. Troli saya ada diluar.” “Baik, Nyonya. Mari.” “Baiklah. Terima kasih.”             Syefa melangkah begitu cepat hingga membuat pekerja pria itu tampak bingung. Dia berjalan menuju troli atas namanya disana.             Pria itu meletakan dua tas belanjaan itu di dalam troli disana. “Terima kasih ya. Sebentar,” ujarnya sambil merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Karena tidak menemukan sesuatu, Syefa langsung mengambil dompetnya.             Dia melihat pria tadi berjalan masuk ke dalam swalayan lagi. “Hey, tunggu!” ujarnya sambil melangkah lebar, hendak memberi sesuatu kepada pria itu sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya.             Namun, saat langkah kakinya terburu-buru. Bughh! Braak! “Awww!” “Aahhkk!”             Dompetnya dan barang belanjaan milik orang lain berserakan di lantai. “Ah, maaf-maaf. Maafkan saya,” ujar Syefa berjongkok dan membantu membereskan semua belanjaan milik orang yang tidak sengaja ia tabrak. “Ah … aku juga minta maaf. Maaf merepotkanmu,” ujar wanita itu ikut membereskan barang belanjaannya sendiri.             Mereka berdua saling membereskan barang belanjaan yang berserakan di lantai. Lalu Syefa segera mengambil dompet dan beberapa benda yang berceceran disana.             Saat melihat satu kartu tanda pengenal disana, wanita itu mengerutkan keningnya. ‘Althafiance?’ bathinnya bertanya-tanya sambil berdiri kembali.             Syefa melihat pria tadi sudah tidak terlihat lagi. Jika dia mengejar pria itu hanya untuk memberi uang tips, mungkin Farhat bisa saja menemukannya disini.             Tidak, dia harus segera menghindar dan pergi dari sini. “Ah sekali lagi saya minta maaf. Saya permisi,” ujar Syefa berbalik badan dan menyimpan kembali dompetnya di dalam tas.             Dia mendorong trolinya, lalu segera melangkah cepat menuju jalan raya untuk menghindar dari swalayan itu. Dia tidak peduli jika ponselnya kembali berdering. Syefa yakin kalau yang menghubunginya pasti adalah Farhat.             Sampai Syefa menjauh dari swalayan dan berjalan ke arah jalan raya, wanita itu masih terus melihatnya. Walau langkah kakinya tetap berjalan menuju mobil mewah hitam yang ada disana. “Ternyata dia pekerja Althafiance. Tapi? Ini masih jam kerja, bukan? Kenapa dia bisa berkeliaran disini?” bathinnya bertanya-tanya. Tapi, dia memang tidak melihat wajahnya dengan jelas tadi. Jikapun ia melihat wanita itu, dia sendiri juga tidak mungkin mengenalnya.             Yah, sebab ia tahu sistem kerja di Althafiance. Sangat mustahil bagi pekerja Althafiance untuk pulang cepat di luar jam normal. Apalagi pekerja Althafiance terdiri dari jutaan orang. Mustahil dia bisa mengenal wajah mereka walau hanya sepersekian persennya saja. Dddrrrttt… Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia segera melihat ke layar ponsel yang ia genggam sejak tadi. Mas Aka is calling…             Dia memutar malas bola matanya. “Apa dia tidak bisa berhenti menghubungiku?! Sudah aku bilang kalau aku akan segera pulang!” gumamnya kesal lalu segera menjawab panggilan yang masuk di ponselnya. “Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa, Mas?” “Wa’alaikumsalam. Kau dimana, Ca?” “Swalayan.” “Cepatlah! Aku sudah di penthouse!” “Astaga, Mas! Aku sudah katakan padamu tadi kalau aku akan singgah ke swalayan! Apa kau tidak paham juga?!” “Oke-oke, aku minta maaf. Cepatlah. Aku menunggumu, Caca Cempaka.” “Iya!” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Sangat sebal, dia melangkah lebar menuju pria yang sudah membukakan pintu mobil untuknya. …             Syefa berjalan cepat menyeberangi jalan raya ketika lampu merah menyala. “Syefa! Syefa tunggu!” Deg!             Dia melirik ke belakang. “Farhat??”             Syefa semakin melangkahkan kakinya menyeberang jalan raya. Dia sangat terburu-buru dan tidak mau jika Farhat mendekatinya.             Saat ia sudah sampai di seberang jalan, lengan kirinya ditarik kuat. “Tunggu aku, Syefa! Apa kau tuli?!”             Syefa memejamkan erat matanya. Dia menatap tajam Farhat. “Ada apa lagi?? Kenapa kau terus mengganggu hidupku, Farhat! Pergilah! Aku sedang sibuk!” ketus Syefa hendak mendorong trolinya, tapi Farhat menahan gerakan troli. “Hey! Aku hanya mau bicara sebentar denganmu! Kenapa kau sangat sombong sekali, huh?!” gumamnya mengeraskan rahang, mencengkeram erat lengan kiri Syefa. “Ssshhh! Sakit, Farhat! Lepaskan tanganku!” ketusnya tidak suka.             Syefa terus mencoba untuk melepaskan diri dari jeratan Farhat. “Ikut aku! Kita harus bicara!” ketusnya menarik kasar Syefa. “Lepas, Farhat! Ini di depan umum!” “Jangan memberontak! “Lepaskan aku!” Tentu saja Syefa tidak mau. Dia melepas kasar lengannya dari cengkeraman kuat Farhat, hingga seseorang mencengkeram erat pergelangan tangan Farhat dan memaksanya untuk melepas tangan Syefa. “Jangan memaksanya,” ujar pria itu menekan kuat pergelangan tangan Farhat, hingga Farhat merasa kesakitan. “Sssh! Ada apa ini, b******k! Jangan ikut campur!”             Farhat menatap tajam pria itu. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD