Bab 12. Rumahsakit Dan Tawaran Bima

1303 Words
Ambulance melesat membelah jalanan kota pada malam itu, sementara perempuan yang berada di dalamnya berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Lina tak membiarkannya sendiri, dan bahkan perempuan itu yang bertahan menekan sebuah kain yang dilihat pada lukanya untuk menghentikan pendarahan. "Bertahan. Bertahanlah, Mel!" Lina mengguncangkan tubuhnya. Napas Camelia tersengal-sengal dan dia berusaha untuk tetap terjaga, meski rasa lelah mulai mendominasi dirinya. Darah terus mengalir dari pinggang yang terkena peluru tajam entah dari mana, dan kain yang Lina gunakan untuk menahannya malah semakin basah diikuti dengan bau anyir yang menyengat. "Mel, bertahan! Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit." Lina kembali mengguncangkan tubuhnya yang hampir kolaps. Lalu setelah menempuh perjalanan yang cukup menegangkan, akhirnya ambulance tersebut tiba di depan rumah sakit. Dua petugas yang berdiri di depan Unit Gawat Darurat segera bertundaknsetelahbmendsoatkan kabar jika ada pasien yang akan segera tiba saat itu. Mereka membawa Camelia langsung ke ruang oprasi, dan perempuan itu pun segera mendapat penanganan medis. *** "Hari ini kau tidak akan pulang lagi?" Delisa meminum jus jeruk yang dihidangkan oleh pelayan di rumah mereka, setelah melahap roti isi dengan selai coklat kesukaannya. Sementara Bima bersiap untuk pergi demi menjalankan profesinya di gedung pemerintahan, atau melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah pendukung partai yang diusungnya. "Tidak, aku di Jakarta." Pria itu melahap potongan terakhir sarapannya, lalu menyesal habis kopinya yang hampir dingin. "Aku juga ada kegiatan di di sekitar sini, jadi mungkin hari ini pulang lebih awal." Delisa bangkit saat Bima tengah mengenakan jasnya. Kemudian dia membantu suaminya tersebut untuk merapikannya. "Begitu? Baiklah." Pria itu memastikan jika penampilannya sudah rapi. "Tapi anak-anak ingin jalan-jalan sore ini." Delisa mengusap pundak dan d**a suaminya, sekedar untuk memastikan keadaannya baik. "Jalan-jalan saja, apa susahnya?" jawab Bima. "Ya, tapi mereka ingin bersama Papanya. Akhir-akhir ini kau tidak punya waktu untuk kami." "Hmm ...." Bima bergumam. "Bagaimana?" Delisa menatap wajah suaminya. "Mmm ... baiklah, akan aku usahakan untuk pulang lebih awal juga." Lalu pria itu menjawab. "Bagus sekali, kami akan menunggu." Delisa tersenyum senang. "Oh, kau tidak mau menunggu anak-anak dulu?" Dia sedikit menahan langkah Bima yang hampir saja pergi. "Waktuku tidak banyak, Sayang. Aku harus pergi sekarang juga." Pria itu menjawab, kemudian dia mengecup pipi istrinya sekilas. "Oh, baiklah." "Aku pergi ya?" ucap Bima lagi yang mengusap pipi perempuan itu dengan punggung tangannya. "Ya." Dan pasangan suami istri itu pun hampir berpisah di ruang tengah. Bima melenggang ke arah luar, sementara Delisa memindahkan saluran televisi yang sudah menyala sejak subuh, lalu berita utama pada pagi itu segera menarik perhatian mereka. "Artis sinetron yang juga merupakan model majalah pria dewasa, Camelia Abigai dilarikan ke rumah sakit akibat serangan orang tak dikenal ketika dia baru saja menyelesaikan reading naskah untuk project sinetron terbarunya semalam, setelah hampir tiga tahun vakum dari dunia seni peran. Saat ini Camelia masih berada di rumah sakit dan keadaannya belum diketahui setelah semalaman mengalami kritis." Seorang pembaca berita mengabarkan. Delisa menyimaknya dengan serius, sementara hal itu menyebabkan Bima yang baru saja tiba di ambang pintu menghentikan langkah. Pria itu berbalik seraya menatap televisi diruang tengah rumah besarnya. "Polisi telah memulai penyelidikan dan mengumpulkan barang bukti sejak semalam, namun pelaku belum juga ditemukan." Pembaca berita berbicara lagi. "Dan pemirsa, sesaat lagi pihak rumah sakit dan perwakilan agensi yang menaungi Camelia Abigai akan melakukan konferensi pers untuk mengkonfirmasi kabar tersebut, dan ...." "Jangan dipindahkan!" Bima berteriak ketika Delisa memindahkan chanel yang sedang ditontonnya. Membuat perempuan itu menoleh ke belakang tubuhnya. "Apa?" "Jangan kau pindahkan, sialan!" ucap pria itu lagi yang melesat ke arah sang istri dan segera merebut remot tivi untuk memindahkannya ke acara semula. Dan berita itu kembali dia simak dengan sungguh-sungguh dan tampak serius. "Ada apa kau ini?" Namun segera saja Bima tersadar ketika dia ingat dengan keberadaan istrinya. Kemudian pria itu cepat pergi setelah menjatuhkan remot terlebih dahulu. *** Camelia membuka matanya pelan-pelan. Lalu dia mendesis ketika rasa pening menyerang kepala, dan sakit di pinggangnya mendominasi. Perempuan itu terbangun dalam keadaan ruangan yang sepi dan sedikit temaram. Namun dia tahu jika itu adalah rumah sakit. Camelia mengingat-ingat apa yang terjadi kepadanya. Karena peristiwa itu terasa begitu cepat. Ketika dia hendak menuju ke tempat di mana Lina berada lalu tiba-tiba saja mendengar letusan seperti senjata api yang membuat semua orang menjerit dan berhamburan mencari perlindungan. Sementara dirinya malah tumbang ketika sesuatu bersarang di perut bagian kanannya. "Aahhhh, sakit sekali!" Camelia merintih sambil menyentuh perban yang menutupi lukanya. Dia ingin bangkit untuk mengambil minum di atas nakas tapi tak bisa, sementara tenggorokkannya terasa kering. "Mel?" Namun di saat yang bersamaan Lina masuk setelah mengurus beberapa hal di luar. "Aku ...." Perempuan itu segera mengambilkan apa yang Camelia inginkan. Lalu perhatian mereka beralih ketika pintu diketuk dari luar dan seseorang mendorongnya secara perlahan. Seorang pria berpakaian safari diikuti sesorang yang tentu saja mereka kenal. Yakni Bima yang tiba bersama orang kepercayaannya, setelah menunggu hingga keadaan rumah sakit padaalam hari itu cukup sepi. "Pak?" Lina mundur ke sampingsamping untuk memberi ruang bagi pria itu. "Apa yang terjadi?" Dia segera mendekat kepada Camelia untuk mengetahui keadaannya. "Aku dengar kau tertembak?" Bima duduk di tepi ranjang, sementara Camelia masih menetralisir rasa terkejutnya, namun perempuan itu segera mengangguk untuk memberi jawaban. "Bagaimana bisa? Kau sedang di mana? Apakah lokasi syutingnya dekat dengan arena menembak?" Lalu Bima menoleh kepada Lina. "Tidak, Pak. Kami di studio." Perempuan itu menjawab. "Lalu mengapa ini bisa terjadi?" tanya Bima lagi dengan raut khawatir. "Polisi sedang menyelidikinya, Pak. Mungkin kita akan menerima hasinya besok," jawab Lina lagi, sedikit meyakinkan. "Dan apakah kau baik-baik saja?" Kemudian Bima kembali pada Camelia. "Peluru mengenai pinggang, tapi menurut dokter tidak akan menimbulkan hal fatal. Hanya saja lukanya memang ada di area yang cukup rawan, jadi Camelia harus sangat berhati-hati selama masa oenyemnuhan." "Hmm ...." Pria itu mendengarkan. "Kau perlu sesuatu? Apakah aku harus menyediakan jasa pengawalan untukmu?" "Aaa ... tidak perlu, saya rasa ...." Camelia segera menolak. "Pelakunya mungkin saja berkeliaran diluar sana, dan jika polisi belum bisa mengungkapnya dalam waktu dekat, maka bisa membahayakan keselamatanmu." "Ada yang berjaga di depan, Pak." Lina mengintetupsi. "Sampai kapan? Mereka hanya sementara selama Camelia dirawat kan?" "Ya ... tapi ...." "Kita lihat saja nanti. Jika polisi masih belum menemukan pelakunya, maka aku akan mendapatkan beberapa orang untuk menjagamu." ucap Bima dengan tegas. Camelia hampir saja membuka mulutnya untuk menolak lagi, tetapi pria itu sudah terlebih dahulu bicara. "Sebentar lagi musim pemilu, dan aku khawatir ini ada hubungannya denganku." Bima berujar. "Kau tahu, musuh-musuh politik sedang bermanuver mencari celah untuk menjatuhkanku. Jadi bukan tidak mungkin kau menjadi target incarannya." "Kenapa? Camelia tidak tahu apa-apa, Pak." "Ini masih perkiraan. Tapi semua kemungkinan bisa saja terjadi. Aku hanya harus berjaga-jaga." Pria itu mengisyatkatkan kepada kepercayaannya, yang segera melakukan panggilan telpon kepada seseorang. "Tapi kenapa saya? Bagaimana dengan keluarga Bapak? Apakah mereka tidak dalam bahaya?" Camelia melayangkan protes. "Mereka ada dibawah penjagaanku dan negara, jadi tidak usah khawatir soal itu. Beberapa ajudan ada untuk memastikan semuanya ama, sedangkan kau?" "Tapi bukankah ...." "Percayalah, situasinya sekarang sedang genting." Bima meremat tangan Camelia. "Jadi biarkan aku memberikan penjagaan kepadamu, aku tidak ingin terjadi sesuatu yang membuat kau ada di situasi seperti ini lagi." Camelia terdiam menatap wajahnya. Dan sesuatu di dalam hatinya merasa sedikit tersentuh oleh perlakuan Bima. Namun bunyi ponsel yang berasal dari saku jas bagian dalam pria itu menjeda percakapan mereka, dan Delisa lah yang melakukan panggilan. Bima memejamkan mata. Dia baru ingat dengan janjinya kepada anak-anak tadi pagi yang terlupakan begitu saja setelah mendengar kabar tentang apa yang menimpa Camelia. "Ya?" Pria itu menjauh ke sisi lain kamar. "Ya, maafkan aku. Ada pertemuan mendadak dengan dewan daerah, dan aku harus menuntaskan masalah ini bersama mereka, jadi ...." Terdengar suara dari seberang sana. "Ya, aku tahu. Maaf." Pria itu meminit pelipisnya pelan-pelan sambil mencari alasan logis kalau-kalau istrinya bertanya lebih jauh. "Baik. Tolong sampaikan juga maafku kepada anak-anak. Aku janji setelah ini aku akan membawa mereka pergi." Dan panggilanpun diakhiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD